Sabtu, 04 Juli 2015

Sajak-sajak Abdul Hadi WM

BARAT DAN TIMUR Oleh : Abdul Hadi WM Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha, Pengikut Zen dan Tao Semua adalah guruku Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya Ya, semua adalah guruku Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah Tapi hanya di masjid aku berkhidmat Walau jejak-Nya Kujumpai di mana-mana. Pembawa Matahari Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992) Republika Online edisi : 05 Dec 1999 DALAM PASANG Oleh : Abdul Hadi WM Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi? Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian, ketakutan dan perang saudara Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan Menunggu ketakpastian Telah mereka hancurkan rumah harapan kita Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini yang bisa menghanguskan kota ini lagi - Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin Kita.... Pembawa Matahari Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992) Republika Online edisi : 05 Dec 1999 DO’A UNTUK INDONESIA Oleh : Abdul Hadi WM Tidakkah sakal, negeriku ? Muram dan liar Negeri ombak Laut yang diacuhkan musafir karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri Negeri burung-burung gagak Yang bertelur dan bersarang di muara sungai Unggas-unggas sebagai datang dan pergi Tapi entah untuk apa Nelayan-nelayan tak tahu Aku impikan sebuah tambang laogam Langit di atasnya menyemburkan asap Dan menciptakan awan yang jenaka Bagai di badut dalam sandiwara Dengan cangklong besar dan ocehan Batuk-batuk keras Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia Adalahberita-berita yang ditulis Dalam bahasa yang kacau Dalam huruf-huruf yang coklat muda Dan undur dari bacaan mata Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ? Kincir-kincir angin itu Seperti sayap-sayap merpati yang penyap Dan menyebarkan lelap ke mana-mana Sebagai pupuk bagi udaranya Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia Negeri ular sawah Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur Tumpukan jerami basah Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun Untuk persta-pesta barbar Indonesia adalah buku yang sedang dikarang Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan Di kantor penerimaan tenaga kerja Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya Dan mulutnya ternganga Tatkala bencana mendamprat perutnya Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ? Di dekat jembatantua malaikat-malaikat yang celaka Melagu panjang Dan lagunya tidak berarti apa-apa Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ? Ratusan gagak berisik menuju kota Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan Puluhan orang bergembira Di atas bayangan mayat yang berjalan Memasuki toko dan pasar Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak Dan emas tiruan Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur yang atapnya bocor dan administrasinya kacau Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk Indonesia adalah sebuah kamus Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik Sampai mata menjadi bengkak Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang, kata sifat Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ? Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ? Berisik lagi, berisiklagi : Gerbong-gerbong kereta membawa penumpang yang penuh sesak dan orang-orang itu pada memandang ke sorga Dengan matanya yang putus asa dan berkilat : Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini Melata di bumi merusaki hutan-hutan Dan kebun-kebunmu yang indah permai Mengapa kaubiarkan mereka ………. Negeri ombak Badai mengeram di teluk Unggas-unggas bagai datang dan pergi Tapi entah untuk apa Nelayan-nelayan tak tahu 1971 Anak Laut Anak Angin Kumpulan Puisi Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA Oleh : Abdul Hadi WM Kembali tak ada sahutan di sana Ruang itu bisu sejak lama dan kami gedor terus pintu-pintunya Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun penuh kebohongan dan teror yang tak henti-hentinya Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana memerah keputusasaan dan cuaca Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan mulai bercerai-berai Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada Dari generasi ke generasi Menenggelamkan rumah sendiri ribut tak henti-henti Hingga kautanyakan lagi padaku Penduduk negeri damai macam apa kami ini raja-raja datang dan pergi seperti sambaran kilat dan api Dan kami bangun kota kami dari beribu mati. Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang dan tumpukan belulang Dan yang takut mendirikan menara sendiri membusuk bersama sepi Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan matahari 'kan lama terbit lagi Pembawa Matahari Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992) Republika Online edisi : 05 Dec 1999 KETIKA MASIH BOCAH Oleh : Abdul Hadi WM Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali Kulihat matahari menghamburkan sinarnya Seraya menertawakan gelombang Yang hilir mudik di antara kekosongan Sebab itu aku selalu riang Bermendung atau berawan, udara tetap terang Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku Kusaksikan semesta di dalam Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya Duri dan kepedihan kukenal Melalui kakiku sendiri yang telanjang Arus begitu akrab denganku Selalu ada tempat bernaung jika udara panas Dan angin bertiup kencang Tak banyak yang mesti dicemaskan Oleh hati yang selalu terjaga Pulau begitu luas dan jalan lebar Seperti kepercayaan Dan kukenal tangan pengasih Tuhan Seperti kukenal getaran yang bangkit Di hatiku sendiri Pembawa Matahari Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992) Republika Online edisi : 05 Dec 1999 MIMPI Oleh : Abdul Hadi WM Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi yang lain, berlapis-lapis mimpi, tiada dinding dan tirai akhir, hingga kau semakin jauh dan semakin dalam tersembunyi dalam ratusan tirai rahasia membiarkan aku asing pada wujud hampa dan wajah sendiri. Kudatangi kemudian pintu-pintu awan, nadi-nadi cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian -- di jalan-jalannya, di gedung-gedungnya kucari sosok bayangku yang hilang dalam kegaduhan. Tetap, yang fana mengulangi kesombongan dan keangkuhannya dan berkemas pergi entah ke mana gelisah, asing memasuki rumah sendiri menjejakkan kaki, bergumul benda-benda ganjil yang tak pernah dikenal, menulis sajak, menemukan mimpi yang lain lagi berlapis-lapis mimpi, tiada dinding akhir sebelum menjumpai-Mu. Pembawa Matahari Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992) Republika Online edisi : 05 Dec 1999

Jumat, 21 Agustus 2009

Sajak-Sajak Toto Sudarto Bachtiar

GADIS PEMINTA-MINTA
Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar

Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten

KEMERDEKAAN
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara

Jangalahn takut padanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara

Janganlah takut padaku

Kemerdekaan ialaha cintaku berkepanjangan jiwa

Bawalah daku kepadanya

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

ODE I

Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

katanya, kalau sekarang aku harus berangkat
kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
aku besok bisa mati, kemudian diam-diam
aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam

malam begini beku, dimanakah tempat terindah
buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
tanahku yang baru terjaga

malam begini sepi dimanakah tempat yang terbaik
buat peluru pistol di balik baju cabik
0, tanah di mana mesra terpendm rindu
kemerdekaan yang mengembara kemana saja

ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
engkau pada pilar derita, megah napasku di gang tua
menuju kubu musuh di kota sana
aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak

mungkin pacarku kan berpaling
dari wajahku yang terpaku pada dinding
tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
di tengah malam yang begini beku

teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
coretan-coretan merah pada tembok tua
betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
membesarkan hatimu yang baru terjaga

Kalau serang aku harus ergi, aku hanya tahu
kawan-kawanku akan terus maju
tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah dimana tempat yang terbaik buat hati dan hidupku

Kisah,
Th IV, No. 10
Oktober 1956
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

ODE II
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan derap langkah yang berat maju ke satu tempat
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan kegairahan hidup yang harus jadi dekat

berhenti menangis, air mata kali ini hanya buat si tua renta
atau menangis sedikit saja
buat sumpah yangtergores pada dinding-dinding
yang sudah jadi kuning dan jiwa-jiwa yang sudah mati

atau buat apa saja yang dicintai dan gagal
atau buat apa saja
yang sampai kepadamu waktu kau tak merenung
dan menampak jalan yang masih panjang

dengar, hari ini ialah hari hatiku yangmemanggil
mata-mata yang berat mengandung suasana
membersit tanya pada omong-omong orang lalu
mengenangkan segenap janji yang dengan diri kita menyatu

dengarlah, o, tanah di mana segala cinta merekamkan dirinya
tempat terbaik buat dia
ialah hatimu yang kian merah memagutnya
kala hdia terbaring di makam senyap pangkuanmu *

*kenangan buat matinya seorang pejuang

Kisah
Th IV, No. 10
Oktober 1956
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air


TENTANG KEMERDEKAAN
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
janganlah takut padanya

Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya

Zaman Baru,
No. 11- 12
20 - 30 Agustus 1957
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Oyon Sofyan, Editor, 1995

IBU KOTA SENJA
Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengarungi dan layung-layung membara di langit barat daya
0, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia
Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta keabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan


Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layung-layung senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas
0, kota kekasih setelah senja
Kota kediamanku, kota kerinduanku

Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten

PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
(1955)

Siasat,
Th IX, No. 442
1955
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Sajaksajak Ahmad Nurullah

Di Dalam Sajak Ini akan Kau temukan Sebuah Sungai
Oleh :
Ahmad Nurullah

Di dalam sajak ini akan kautemukan
sebuah sungai - katamu.
Lalu kita pun berangkat
menjelajah makna yang menggeliat
di balik lapisan tanah yang padat -
Siang gerimis
Matahari bercampur hujan
Perjalanan begitu panjang
dan mendebarkan
Bagai syahwat yang terbakar
dan menebar bara apinya
ke luar waktu -
Angin berkincir
Ruang bugil
Detik-detik istirah
Sejarah tiarap
Pada sebuah gumam
Di atas semacam tanah lapang
Masa kanak kita berceceran:
saat kita asyik menganyam sebuah kapal
dengan sisa daun kering dan lokan
dan kita berdesak di dalamnya
berlayar menuju sebuah dunia yang jauh
sejauh kita ada
sejauh kaki kita berpijak
Tidak. Di tikungan sajak ini tak kutemukan
sebuah sungai. Yang ada adalah sebentang lautan
luas tak bertepi;
makna berdebar seperti ombak
bergeriung seperti angin
berkecipak seperti kawanan ikan
dan kita tercebur
dan kita tenggelam di dalamnya. Di dalam sajak kita
Jakarta, 1999
Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)


Di Tebing Waktu: Meditasi
Oleh :
Ahmad Nurullah

1
Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi. Di teras: waktu merayap. Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang. Dan di
jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku. Mungkin juga
di hatimu
Dan aku ingat Stephen. Ia muncul dari bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda. Merogoh lubang hitam.
Menggemari lagi bangkai bintang-bintang yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.
"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Membangun Surga? Merancang Neraka? Jauh sebelum
ayah dan ibumu berpengantin, di mana kau ada?"
Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi. "Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila," katanya.
2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang; melompat dari bintang
ke bintang. Berguling-guling dari galaksi ke galaksi. Mengintip
lubang cacing. Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di bawah telapak kaki ku berhambur bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai yang terburai. Seperti pecahan biji gunduk yang membercaki ruang. Seperti kepingan biji mutiara yang bersemai di sudut-sudut waktu.
"Lihat," katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. "Apa arti kau ada?"
Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada sebuah pertengkaran:
di dekat Tanah Nod, jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum Pizarro
menemukan Inca. Sebelum Bolivar menyembul di Tanah Caracas.
3
Menginjak sebutir detik yang nanar, aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu: ke bumi. Ada bom meledak
di masjid-masjid. Menggelegar di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah-menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang suatu pertengkaran, jauh di sebuah bumi yang tua.
"Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Merakit algojo? Merancang pendeta? Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba, besok, di negeri saya?"
Ia, dituntun oleh wataknya, kembali menyeringai. Lalu kembali
mengajakku berputar. Berdiri di tebing waktu, menyapu
kemahaluasan ruang: Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
"Stephen, di manakah Tanah Air saya?"
Jakarta, 1999

Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)

Sajaksajak Badarudin Amir

AKU MENJELMA ADAM
Oleh :
Badarudin Amir

siapakah adam yang selalu dilambangkan itu
siapakah hawa yang selalu diagungkan itu
aku berdiri di tepi bumi
kini menjelma adam tidak di firdaus,
tetapi di tengah-tengah gersang antara kota sodom dan gomorrah
aku tidak tahu kemana siti hawa tiba-tiba menghilang
aku berteriak
dan gaung suaraku kuharap kini telah sampai di suatu tempat
dimana siti hawa yang kurindukan
mungkin bersembunyi karena malu,
karena tak pernah meyakini dirinya
sebagai perempuan suci
setelah terlontar dari rongga sorga-Mu
tapi siapakah yang paling berdosa kini
dan sorga manakah yang paling firdausi
kalau kini aku,
si adam yang telah lama kesepian di sini
berteriak seperti dulu: ''Tuhan, beri aku perempuan lagi!''
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober резрепрепреп



AUBADE BURUNG-BURUNG
Oleh :
Badarudin Amir

pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu bernyanyi riang gembira setiap pagi bahagianya membangunkan tidur bunga
hingga kelopak-kelopak mekar sebelum matahari sempurna bersinar
pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu melantunkan siulnya
padahal udara di luar sangat dinginnya
lihatlah betapa lincah
mereka menari dari dahan ke ranting
lalu melompat ke batu-batu
menjalin percintaan dengan Sang Waktu
pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu
bernyanyi setiap waktu
dan terus bernyanyi seperti semuanya abadi
Ah, cemburuku mengawetkan cinta bagi hidup dengan puisi !
Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



KELAHIRAN PENYAIR
Oleh :
Badarudin Amir

tak ada seorang ibu yang bisa melahirkan seorang penyair
tetapi ia lahir setelah erangan terakhir seorang ibu
kemudian menjadi kanak sebentar
lalu remaja
lalu dewasa
semuanya berjalan sangat biasa menjadi penyair
setelah kehidupan melahirkannya lagi
ia sayang pada kehidupan
seperti sayang ia pada ibu yang melahirkannya dahulu

Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



KUKENAL MIMPIMU
Oleh :
Badarudin Amir


Kukenal mimpimu:
adalah burung-burung cahaya
beterbangan senja hari pulang dari kembaranya
di balik cakrawala yang jauh
namun tak membawa kabar apa-apa tentang dirimu
Kukenal mimpimu:
adalah awan yang berarak di senja hari
yang kau lukis di atas kanvas kuning dan cat merah hati
hingga menjelma jadi panorama senja padang kerbala
Kukenal mimpimu:
adalah pohon-pohon purba yang kau tanam di pandang tandus
kanam sendiri
menciptakan sunyi dan keasingan
jadi sahabatnya adalah doa-doa malam yang tak sempurna aksaranya
tak sanggup mencapai gerbang langit
tapi kutahu akan sampai kepada-Nya.

Barru 1995
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999


KENANGAN KEPADA LI PO
Oleh :
Badarudin Amir

ingin kulihat Li Po mabuk sekali lagi
melipat-lipat abad dalam kenangan dan sajak-sajaknya
ingin kulihat ia memuja rembulan di pintu gapura
dengan nyanyian yang menjuntai awan di atasnya
ingin kudengar lagi desah nafasnya
yang meleguh menjelma
dari untaian bait-bait haiku
 
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



MEMBACA LAUTMU
Oleh :
Badarudin Amir

berdiri membaca hamparan biru laut-Mu
kulihat ayat-ayat As-Sajdah di hadapanku
sujudku tak henti-henti
seperti sujud para nabi
kubaca ikan-ikan berkejaran di terumbu karang
kuhayati makna sebuah kehidupan yang garang
kubaca kerang dan umang-umang bertaburan
kuhayati makna gerak dan keterbatasan
kubaca gelombang arus air yang lancar mengalir
kuhayati roda kehidupan yang terus bergulir
kubaca buih ombak burung camar yang terbang rendah
kusimak pesona kehidupan laut yang mahaindah
berdiri memandang hamparan biru laut-Mu
diam-diam kubayangkan kemahasempurnaan wajah-Mu

Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



NINA BOBO BAGI MADAME SRIE
Oleh :
Badarudin Amir

masuklah ke dalam negeri batinku, madame srie
di sana akan kutunjukkan sebuah rumah cinta tak berpintu,
tak berjendela,
yang kubangun dari puing-puing masa laluku yang sederhana
jadilah penghuni setia,
karena telah lama rumah itu tak ada yang punya. malam hari jika kau mengantuk,
tidurlah nyenyak,
akan kusenandungkan lagu cinta anak bugis ''iyabe lale'' untukmu selamanya.
tapi jangan biarkan air mata membasahi tilam dan seprai
yang kusulam dari benang kasih itu
pejamkan matamu pelan-pelan
dan lupakan masa lalumu yang gerhana,
agar dapat bermimpi jadi sang putri
dan sepatu kaca yang sebelah masih kusimpan dalam hatiku.
usaplah wajahmu dengan sapu tangan yang kuberikan itu,
karena kulihat masih ada sisa keletihan
sehabis mengurai seluruh riwayatmu yang panjang itu kepadaku
di sudut kamar biarkan aku menjaga
sambil melihat senyummu yang aneh mekar dalam mimpi,
sedetik sebelum pagi datang mengubah segala cerita.

Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999


SEBUAH HADIAH
Oleh :
Badarudin Amir

Kudengar ada yang memanggil-manggil namaku waktu berdiri di simpang jalan
menatap cakrawala tapi entah siapa
karena galau angin mengaburkan suara
seperti ingin menyebut sesuatu yang harus kusimpan sebagai rahasia
waktu angin reda kulihat ia melambai mengajakku ke sana
tergesa ia menyeberang cakrawala lalu menghilang di baliknya
akupun terpacak ke sana
merenungi tanda-tanda yang menunjuk arah ke entah
tapi bumi berputar tidak pada porosnya
maka aku terpaksa membalik tanda-tanda
semuanya kini menunjuk arah ke sorga
dalam mimpi aku melihat orang yang sama jenggot
dan jubahnya masih yang kemarin juga
kali ini ia datang
membawa bulan dan matahari yang kemarin gerhana
katanya sebagai hadiah
tapi kutolak
lantaran rumahku tak kuasa menampungnya
lagi pula sebagai apa aku harus menerimanya

Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999

Sajak-Sajak Basuki Gunawan

KISAH SEORANG PEJUANG
oleh :
Basuki Gunawan

tidak terang bagi kawan-kawannya
mengapa Rusli memutuskan
tali yang mengikat
bahagia
kurnia dewa-dewa
buat teman bersenda dan
menyelam ke dalam lengang antara
sangsi dan harapan



rumah tua
di desa Kranji bercerita
rusli disana menimang bayi
dan bernyanyi
bahwa hidup bukan sunyi
jika tak menyusur tepi
mencari titi
kebahagia yang
melolong di seberang mati

apakah rusli
meminta diri membiarkan
dada dikoyak baja
agar padi
muaskan dahaga dengan
darahnya ?



angin malam
mendesau resah membawa
kisah tentang rusli
terbaring di tengah padang
berkamit pamitan dari
satuannya dan berbisik
angsa undan
kan melayang turun
angin akan mengumumkan
perkawinan burung dan bulan



lama sudah
rusli tak kembali
alang-alang tumbuh di dada
anak kampung menginjak kepala
dan tambah tak terang bagi
kawan-kawannya
mengapa rusli memutuskan tali
yang mengikat kebahagiaanya

Konfrontasi,
No. 8
Juli - Agustus 1955

Sajak-Sajak Abdul Hadi W. M.

BARAT DAN TIMUR
Oleh :
Abdul Hadi WM

Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha, Pengikut Zen dan Tao Semua adalah guruku Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya Ya, semua adalah guruku Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah Tapi hanya di masjid aku berkhidmat Walau jejak-Nya Kujumpai di mana-mana.

Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)
Republika Online edisi : 05 Dec 1999


DALAM PASANG

Oleh :
Abdul Hadi WM
Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi? Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian, ketakutan dan perang saudara Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya
Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan Menunggu ketakpastian
Telah mereka hancurkan rumah harapan kita Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi
Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini yang bisa menghanguskan kota ini lagi - Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin Kita....

Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)

Republika Online edisi : 05 Dec 1999
DO’A UNTUK INDONESIA

Oleh :
Abdul Hadi WM

Tidakkah sakal, negeriku ? Muram dan liar
Negeri ombak
Laut yang diacuhkan musafir
karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman
Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri
Negeri burung-burung gagak
Yang bertelur dan bersarang di muara sungai
Unggas-unggas sebagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
Aku impikan sebuah tambang laogam
Langit di atasnya menyemburkan asap
Dan menciptakan awan yang jenaka
Bagai di badut dalam sandiwara
Dengan cangklong besar dan ocehan
Batuk-batuk keras
Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia
Adalahberita-berita yang ditulis
Dalam bahasa yang kacau
Dalam huruf-huruf yang coklat muda
Dan undur dari bacaan mata
Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ?
Kincir-kincir angin itu
Seperti sayap-sayap merpati yang penyap
Dan menyebarkan lelap ke mana-mana
Sebagai pupuk bagi udaranya
Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya
Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin
Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia
Negeri ular sawah
Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur
Tumpukan jerami basah
Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk
Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun
Untuk persta-pesta barbar
Indonesia adalah buku yang sedang dikarang
Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan
Di kantor penerimaan tenaga kerja
Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta
Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya
Dan mulutnya ternganga
Tatkala bencana mendamprat perutnya
Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ?
Di dekat jembatantua
malaikat-malaikat yang celaka
Melagu panjang
Dan lagunya tidak berarti apa-apa
Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh
Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ?
Ratusan gagak berisik menuju kota
Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan
Puluhan orang bergembira
Di atas bayangan mayat yang berjalan
Memasuki toko dan pasar
Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak
Dan emas tiruan
Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur
yang atapnya bocor dan administrasinya kacau
Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk
Indonesia adalah sebuah kamus
Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet
Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik
Sampai mata menjadi bengkak
Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang,
kata sifat
Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu
Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ?
Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ?
Berisik lagi, berisiklagi :
Gerbong-gerbong kereta
membawa penumpang yang penuh sesak
dan orang-orang itu pada memandang ke sorga
Dengan matanya yang putus asa dan berkilat :
Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini
Melata di bumi merusaki hutan-hutan
Dan kebun-kebunmu yang indah permai
Mengapa kaubiarkan mereka ……….

Negeri ombak
Badai mengeram di teluk
Unggas-unggas bagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu

1971
Anak Laut Anak Angin
Kumpulan Puisi
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air




KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA
Oleh :
Abdul Hadi WM



Kembali tak ada sahutan di sana Ruang itu bisu sejak lama dan kami gedor terus pintu-pintunya Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun penuh kebohongan dan teror yang tak henti-hentinya
Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana memerah keputusasaan dan cuaca
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan mulai bercerai-berai Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada Dari generasi ke generasi
Menenggelamkan rumah sendiri ribut tak henti-henti
Hingga kautanyakan lagi padaku Penduduk negeri damai macam apa kami ini raja-raja datang dan pergi seperti sambaran kilat dan api Dan kami bangun kota kami dari beribu mati. Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang dan tumpukan belulang Dan yang takut mendirikan menara sendiri membusuk bersama sepi
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan matahari 'kan lama terbit lagi

Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)

Republika Online edisi : 05 Dec 1999



KETIKA MASIH BOCAH
Oleh :
Abdul Hadi WM


Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali Kulihat matahari menghamburkan sinarnya Seraya menertawakan gelombang Yang hilir mudik di antara kekosongan
Sebab itu aku selalu riang Bermendung atau berawan, udara tetap terang Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku Kusaksikan semesta di dalam Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu
Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya Duri dan kepedihan kukenal Melalui kakiku sendiri yang telanjang
Arus begitu akrab denganku Selalu ada tempat bernaung jika udara panas Dan angin bertiup kencang Tak banyak yang mesti dicemaskan Oleh hati yang selalu terjaga Pulau begitu luas dan jalan lebar Seperti kepercayaan Dan kukenal tangan pengasih Tuhan Seperti kukenal getaran yang bangkit Di hatiku sendiri
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)


Republika Online edisi : 05 Dec 1999



MIMPI
Oleh :
Abdul Hadi WM



Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi yang lain, berlapis-lapis mimpi, tiada dinding dan tirai akhir, hingga kau semakin jauh dan semakin dalam tersembunyi dalam ratusan tirai rahasia membiarkan aku asing pada wujud hampa dan wajah sendiri. Kudatangi kemudian pintu-pintu awan, nadi-nadi cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian -- di jalan-jalannya, di gedung-gedungnya kucari sosok bayangku yang hilang dalam kegaduhan. Tetap, yang fana mengulangi kesombongan dan keangkuhannya dan berkemas pergi entah ke mana gelisah, asing memasuki rumah sendiri menjejakkan kaki, bergumul benda-benda ganjil yang tak pernah dikenal, menulis sajak, menemukan mimpi yang lain lagi berlapis-lapis mimpi, tiada dinding akhir sebelum menjumpai-Mu.
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)

Republika Online edisi : 05 Dec 1999

Senin, 20 April 2009

Sajak-sajak Mardi Luhung

Sajak-sajak Mardi Luhung

Kompas Minggu, 5 April 2009 | 02:47 WIB

Kamar Penganten

Sebelum aku meminum minuman itu, cangkirnya bergetar. Dan apa yang diwadahinya juga bergetar. Seperti ingin memisahkan campuran serbuk tuba dari manis gula. Tapi, mukaku yang terkacakan di dalamnya, mengapa selalu seperti muka mayat. Muka mayat yang pucat. Muka mayat yang melengos, saat liang lahat dibukakan bagi dirinya. Liang lahat dengan dinding sedingin bentangan mori. Dan di depan kalian, muka mayatku ini tak lagi meminta apa-apa. Kecuali tanya: Apa yang telah kalian janjikan pada jalan keong milik muka mayatku itu? Jalan keong yang telah menyeberang dari kepala sampai dada. Dari dada sampai kaki. Dan dari kaki sampai bayangan si patung asing yang telah kalian tanam di sembilu bulan. Sembilu tempat burung-burung terguling. Burung- burung yang dicintai oleh setiap yang telah kehilangan kerahasiaannya. Dan oleh setiap yang mukanya juga seperti muka mayatku. Muka yang selalu ingin merapat dan memasuki kedalaman kuping kalian. Terus menjilati relung pendengarannya. Pendengaran yang telah dirias. Seperti riasan kamar penganten di nazak subuh!

(Gresik, 2009)

Pintu

varian usiran

Punggung malam menyala. Menyala seperti pantat bulat kunang-kunang. Menyala terang dan menerangi ketika aku pergi. Pergi ke mana? Barangkali ke remang. Barangkali ke sembab. Barangkali juga ke derap. Derap yang entah. Hanya pantun yang berkata: Potonglah dua roti, jadikan kari ketupat. Jangan tanya dia pergi, sebab kalian tak memberi tempat. Dan sepasang kupu-kupu melintas. Menaburkan serbuk sari. Jatuh di kepalaku. Pasti nanti akan tumbuh kembang di situ. Kembang besar yang berbinar. Kembang besar yang berdetak. Berdetak dengan perlahan. Kata pantun lagi: Pahatan kapur barus, lengan kemamang sering tak letup. Biarkan dia lurus terus, dengan kembang yang tak redup. Ya, aku akan terus. Terus bersama kembang. Bersama malam. Bersama kenangan. Kenangan tentang kalian. Kalian yang telah memalang semua pintu. Agar aku tak mengetuk dan menyapa. Agar cuma menyelipkan puisi. Puisi di lubang kunci. Sesudah meracau dan mengigau. Sesudah mengerap dan mengudang. Mengudang seperti anak kucing. Anak kucing yang licin. Dan kata pantun berikutnya: Ambil sedikit milik tahun, biarlah tumbuh si delima. Dia tak berpenyakit sedikit pun, mengapa tetap saja tak diterima? Memang, memang, tak ada lagi tempatku di tempat kalian. Maka dengan suka atau duka, duka atau luka, akan aku lupakan kalian. Dan lupakanlah aku. Dan biarlah puisi yang aku selipkan itu sebagai tanda. Jika aku pernah kalian kenal. Kalian kenal dengan begitu tak genap. Begitu tak jamak. Akh, kata penutup pantun: Nangka limau berujung paku, senja pesisir di perigi penuh tanya. Ayo, buka semua palang pintu, dia penyair telah pergi dengan segalanya.

(Gresik, 2009)

Lidah Mertua

kenangan berkebun

Sebelas lidah aku tanam di tanah. Sebelas lidah belirik hijau dengan warna dasar kelabu. Sebelas lidah yang pintar meragi debar. Juga merancang angan. Dan sebelas lidah yang pernah dimiliki sebelas lelaki. Sebelas lelaki yang seabad dulu pergi ke utara. Untuk meminta balik matahari yang telah direbut kabut. Lalu sebelas lidah itu terus tumbuh dan membesar. Belirik hijau dan warna dasar kelabunya demikian meruah. Seperti kecemerlangan yang selang-seling. Kadang hijau. Kadang kelabu. Kadang juga menjadi campuran keduanya. Campuran yang membuat aku teringat pada warna kulit sebelas lelaki pemiliknya itu. Sebelas lelaki yang kini mungkin telah mati. Mati dijebak kabut. Mati sambil berpelukan. Seperti pelukan sebelas daging. Untuk kemudian menjelma sebelas arah jalan. Jalan yang terbentang. Dan kini, lihatlah, sebelas lidah yang terus tumbuh dan membesar itu sudah seperti sebelas pilar raksasa. Sebelas pilar raksasa yang tiba-tiba ambrol dari tanah. Terus menggoser dan beringsut. Ke mana? Tak menjawab. Cuma jika dilihat dari ketinggian, arah utaralah yang dituju. Arah jalan dari jelmaan sebelas lelaki yang pernah memilikinya itu. Hoi, betapa indah selang- seling belirik hijau dan warna dasar kelabu yang ditinggalnya. Ditinggalnya untukku saja…

(Gresik, 2009)

Beranda

Di beranda kau mengiris dadamu. Membukanya. Dan merogoh hatimu yang begitu tersembunyi. Begitu seperti permainan dadu yang mesti ditebak. Permainan yang membuatmu segera meletakkan hatimu itu di depanku. Di depan orang yang selalu kau anggap mengelak. Mengelak terus darimu. (Di luar, sepasang kelelawar terbang, mau menangkup ke mana?)

Hatimu itu pun tampak menggigil. Rasanya, seperti sudah lama ingin menjadi berudu. Berudu bening yang berenang di sela sulur ganggang. Juga di antara kecipak ikan yang berulang. Kecipak bulat yang menggema seperti genta. Bagaimana kau nanti akan hidup tanpa hati? (Sepasang kelelawar itu pun merendah, hilang di kelebat tandan pisang.)

Lalu kau menyergah: “Jangan, jangan mengelak terus dariku!” sambil menunjuk-nunjukkan hatimu seperti ingin memberikan. Memberikan pada siapa? Pada aku ataukah pada impianmu sendiri? Aku pun melihatmu tak ubahnya sebagai mayat yang kecut. Mayat yang lecut. (Lalu seekor kelelawar yang lain menerobos ke dalam, menabrak-nabrak jendela.)

“Tuan, apa kau tak mengerti pintaku?” sambungmu. Dan hatimu yang telah kau letakkan itu pun bergerak-gerak. Apa di dalamnya telah ada ulatnya? Seperti ulat yang ada di dalam sekepal daging yang tak lagi segar. Sekepal daging yang begitu merindukan sepercik air. Sepercik air yang tak menggusarkan. (Dan pada tabrakan yang kesekian, kelelawar itu pun terbanting.)

Memang, aku bukan mau mengelak. Hanya aku rasa, dalam satu putaran 360 hari, warnaku dan warnamu akan aus. Aus seperti bianglala yang koyak. Dan dari koyakan itu, apa ada yang bersedia untuk saling menambal. Apalagi sampai menukar kepedihan yang menyembul. Yang tak mungkin untuk berjalan terbalik. (Lihat, kelelawar yang terbanting itu pun mencoba bangkit, tapi sayang satu sayapnya remuk.)

(Gresik, 2009)

Genesis

buat riyadi ngasiran

Aku menitipkan mataku di matamu. Sebab setiap warna yang
kau lihat, juga ingin aku lihat. Warna yang selalu berkelebat
seperti kelebat ladam kuda. Atau yang tak oleng seperti
keliatan sepeda-tinggi milik lelaki-bukit. Lelaki-bukit yang
gemar bersiul. Lelaki-bukit yang sering kau datangi ketika
memahat di tepi tebing. Sambil menyalurkan gumpilan daging
dan darah yang dipahatnya agar sampai ke laut. Agar bertemu
dengan setiap warna yang kau lihat, juga yang ingin aku lihat.

Dan di laut (di tengah setiap warna yang kau lihat, dan juga
yang ingin aku lihat itu), kau tampak berenangan. Meluncur
dan selurupan. Sambil melempar-lemparkannya
ke angkasa. Jadinya, angkasa pun dibuar warna. Seperti
buaran bentangan bianglala. Bianglala yang akan balik
mewarnai matamu. Dan matamu pun terus mewarnai apa saja
yang dilihatnya. Mewarnai dengan sesukanya. Dan mewarnai dengan cara yang berbeda.

Gunung merah, pohon biru, tawon jingga, orang hijau,
bayangan putih, gurita kuning, mata ungu, gigi coklat,
rumah bening, matahari hitam, padi kelabu, rumput nila.

“Dan apa warna-warna semacam itu tak terbalik?” Aku
bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja
mewarnai dengan cara yang berbeda. Sampai kemudian, aku
merasa (dan juga melihatnya), semesta jadi berganti warna.
Berganti dalam warna-warna yang tak terduga. (Apa kita juga
mesti mengganti nama-namanya?)
Di antara semuanya, aku pun meminta balik mataku yang telah
aku titipkan di matamu. Dan saat kau akan memberikannya,
aku merasa itu bukan mataku. Sebab mata itu terlalu muskil
bagi diriku.

Dan aku menolaknya. Terus melaporkan dirimu pada
lelaki-bukit. Yang masih memahat di tepi tebing sana!

(Gresik, 2009)

Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur. Buku puisinya adalah Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Ia pendiri komunitas De Nagari Gresik.