Jumat, 21 Agustus 2009

Sajaksajak Ahmad Nurullah

Di Dalam Sajak Ini akan Kau temukan Sebuah Sungai
Oleh :
Ahmad Nurullah

Di dalam sajak ini akan kautemukan
sebuah sungai - katamu.
Lalu kita pun berangkat
menjelajah makna yang menggeliat
di balik lapisan tanah yang padat -
Siang gerimis
Matahari bercampur hujan
Perjalanan begitu panjang
dan mendebarkan
Bagai syahwat yang terbakar
dan menebar bara apinya
ke luar waktu -
Angin berkincir
Ruang bugil
Detik-detik istirah
Sejarah tiarap
Pada sebuah gumam
Di atas semacam tanah lapang
Masa kanak kita berceceran:
saat kita asyik menganyam sebuah kapal
dengan sisa daun kering dan lokan
dan kita berdesak di dalamnya
berlayar menuju sebuah dunia yang jauh
sejauh kita ada
sejauh kaki kita berpijak
Tidak. Di tikungan sajak ini tak kutemukan
sebuah sungai. Yang ada adalah sebentang lautan
luas tak bertepi;
makna berdebar seperti ombak
bergeriung seperti angin
berkecipak seperti kawanan ikan
dan kita tercebur
dan kita tenggelam di dalamnya. Di dalam sajak kita
Jakarta, 1999
Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)


Di Tebing Waktu: Meditasi
Oleh :
Ahmad Nurullah

1
Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi. Di teras: waktu merayap. Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang. Dan di
jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku. Mungkin juga
di hatimu
Dan aku ingat Stephen. Ia muncul dari bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda. Merogoh lubang hitam.
Menggemari lagi bangkai bintang-bintang yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.
"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Membangun Surga? Merancang Neraka? Jauh sebelum
ayah dan ibumu berpengantin, di mana kau ada?"
Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi. "Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila," katanya.
2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang; melompat dari bintang
ke bintang. Berguling-guling dari galaksi ke galaksi. Mengintip
lubang cacing. Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di bawah telapak kaki ku berhambur bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai yang terburai. Seperti pecahan biji gunduk yang membercaki ruang. Seperti kepingan biji mutiara yang bersemai di sudut-sudut waktu.
"Lihat," katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. "Apa arti kau ada?"
Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada sebuah pertengkaran:
di dekat Tanah Nod, jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum Pizarro
menemukan Inca. Sebelum Bolivar menyembul di Tanah Caracas.
3
Menginjak sebutir detik yang nanar, aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu: ke bumi. Ada bom meledak
di masjid-masjid. Menggelegar di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah-menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang suatu pertengkaran, jauh di sebuah bumi yang tua.
"Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Merakit algojo? Merancang pendeta? Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba, besok, di negeri saya?"
Ia, dituntun oleh wataknya, kembali menyeringai. Lalu kembali
mengajakku berputar. Berdiri di tebing waktu, menyapu
kemahaluasan ruang: Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
"Stephen, di manakah Tanah Air saya?"
Jakarta, 1999

Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)

1 komentar:

  1. masih merangkak dalam sajak untuk menemu sekeping makna yang robek oleh ribuan tanda tanya ya mas?.^^. salam kenal, nama saya wawan.

    BalasHapus