Jumat, 21 Agustus 2009

Sajak-Sajak Toto Sudarto Bachtiar

GADIS PEMINTA-MINTA
Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar

Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda

Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten

KEMERDEKAAN
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara

Jangalahn takut padanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara

Janganlah takut padaku

Kemerdekaan ialaha cintaku berkepanjangan jiwa

Bawalah daku kepadanya

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

ODE I

Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

katanya, kalau sekarang aku harus berangkat
kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
aku besok bisa mati, kemudian diam-diam
aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam

malam begini beku, dimanakah tempat terindah
buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
tanahku yang baru terjaga

malam begini sepi dimanakah tempat yang terbaik
buat peluru pistol di balik baju cabik
0, tanah di mana mesra terpendm rindu
kemerdekaan yang mengembara kemana saja

ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
engkau pada pilar derita, megah napasku di gang tua
menuju kubu musuh di kota sana
aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak

mungkin pacarku kan berpaling
dari wajahku yang terpaku pada dinding
tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
di tengah malam yang begini beku

teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
coretan-coretan merah pada tembok tua
betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
membesarkan hatimu yang baru terjaga

Kalau serang aku harus ergi, aku hanya tahu
kawan-kawanku akan terus maju
tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah dimana tempat yang terbaik buat hati dan hidupku

Kisah,
Th IV, No. 10
Oktober 1956
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

ODE II
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan derap langkah yang berat maju ke satu tempat
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan kegairahan hidup yang harus jadi dekat

berhenti menangis, air mata kali ini hanya buat si tua renta
atau menangis sedikit saja
buat sumpah yangtergores pada dinding-dinding
yang sudah jadi kuning dan jiwa-jiwa yang sudah mati

atau buat apa saja yang dicintai dan gagal
atau buat apa saja
yang sampai kepadamu waktu kau tak merenung
dan menampak jalan yang masih panjang

dengar, hari ini ialah hari hatiku yangmemanggil
mata-mata yang berat mengandung suasana
membersit tanya pada omong-omong orang lalu
mengenangkan segenap janji yang dengan diri kita menyatu

dengarlah, o, tanah di mana segala cinta merekamkan dirinya
tempat terbaik buat dia
ialah hatimu yang kian merah memagutnya
kala hdia terbaring di makam senyap pangkuanmu *

*kenangan buat matinya seorang pejuang

Kisah
Th IV, No. 10
Oktober 1956
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air


TENTANG KEMERDEKAAN
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
janganlah takut padanya

Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya

Zaman Baru,
No. 11- 12
20 - 30 Agustus 1957
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Oyon Sofyan, Editor, 1995

IBU KOTA SENJA
Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar

Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan

Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengarungi dan layung-layung membara di langit barat daya
0, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu

Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia
Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut

Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta keabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan


Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layung-layung senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa

Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas
0, kota kekasih setelah senja
Kota kediamanku, kota kerinduanku

Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten

PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
(1955)

Siasat,
Th IX, No. 442
1955
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Sajaksajak Ahmad Nurullah

Di Dalam Sajak Ini akan Kau temukan Sebuah Sungai
Oleh :
Ahmad Nurullah

Di dalam sajak ini akan kautemukan
sebuah sungai - katamu.
Lalu kita pun berangkat
menjelajah makna yang menggeliat
di balik lapisan tanah yang padat -
Siang gerimis
Matahari bercampur hujan
Perjalanan begitu panjang
dan mendebarkan
Bagai syahwat yang terbakar
dan menebar bara apinya
ke luar waktu -
Angin berkincir
Ruang bugil
Detik-detik istirah
Sejarah tiarap
Pada sebuah gumam
Di atas semacam tanah lapang
Masa kanak kita berceceran:
saat kita asyik menganyam sebuah kapal
dengan sisa daun kering dan lokan
dan kita berdesak di dalamnya
berlayar menuju sebuah dunia yang jauh
sejauh kita ada
sejauh kaki kita berpijak
Tidak. Di tikungan sajak ini tak kutemukan
sebuah sungai. Yang ada adalah sebentang lautan
luas tak bertepi;
makna berdebar seperti ombak
bergeriung seperti angin
berkecipak seperti kawanan ikan
dan kita tercebur
dan kita tenggelam di dalamnya. Di dalam sajak kita
Jakarta, 1999
Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)


Di Tebing Waktu: Meditasi
Oleh :
Ahmad Nurullah

1
Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi. Di teras: waktu merayap. Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang. Dan di
jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku. Mungkin juga
di hatimu
Dan aku ingat Stephen. Ia muncul dari bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda. Merogoh lubang hitam.
Menggemari lagi bangkai bintang-bintang yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.
"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Membangun Surga? Merancang Neraka? Jauh sebelum
ayah dan ibumu berpengantin, di mana kau ada?"
Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi. "Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila," katanya.
2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang; melompat dari bintang
ke bintang. Berguling-guling dari galaksi ke galaksi. Mengintip
lubang cacing. Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di bawah telapak kaki ku berhambur bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai yang terburai. Seperti pecahan biji gunduk yang membercaki ruang. Seperti kepingan biji mutiara yang bersemai di sudut-sudut waktu.
"Lihat," katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. "Apa arti kau ada?"
Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada sebuah pertengkaran:
di dekat Tanah Nod, jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum Pizarro
menemukan Inca. Sebelum Bolivar menyembul di Tanah Caracas.
3
Menginjak sebutir detik yang nanar, aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu: ke bumi. Ada bom meledak
di masjid-masjid. Menggelegar di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah-menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang suatu pertengkaran, jauh di sebuah bumi yang tua.
"Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Merakit algojo? Merancang pendeta? Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba, besok, di negeri saya?"
Ia, dituntun oleh wataknya, kembali menyeringai. Lalu kembali
mengajakku berputar. Berdiri di tebing waktu, menyapu
kemahaluasan ruang: Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
"Stephen, di manakah Tanah Air saya?"
Jakarta, 1999

Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)

Sajaksajak Badarudin Amir

AKU MENJELMA ADAM
Oleh :
Badarudin Amir

siapakah adam yang selalu dilambangkan itu
siapakah hawa yang selalu diagungkan itu
aku berdiri di tepi bumi
kini menjelma adam tidak di firdaus,
tetapi di tengah-tengah gersang antara kota sodom dan gomorrah
aku tidak tahu kemana siti hawa tiba-tiba menghilang
aku berteriak
dan gaung suaraku kuharap kini telah sampai di suatu tempat
dimana siti hawa yang kurindukan
mungkin bersembunyi karena malu,
karena tak pernah meyakini dirinya
sebagai perempuan suci
setelah terlontar dari rongga sorga-Mu
tapi siapakah yang paling berdosa kini
dan sorga manakah yang paling firdausi
kalau kini aku,
si adam yang telah lama kesepian di sini
berteriak seperti dulu: ''Tuhan, beri aku perempuan lagi!''
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober १९९९



AUBADE BURUNG-BURUNG
Oleh :
Badarudin Amir

pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu bernyanyi riang gembira setiap pagi bahagianya membangunkan tidur bunga
hingga kelopak-kelopak mekar sebelum matahari sempurna bersinar
pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu melantunkan siulnya
padahal udara di luar sangat dinginnya
lihatlah betapa lincah
mereka menari dari dahan ke ranting
lalu melompat ke batu-batu
menjalin percintaan dengan Sang Waktu
pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu
bernyanyi setiap waktu
dan terus bernyanyi seperti semuanya abadi
Ah, cemburuku mengawetkan cinta bagi hidup dengan puisi !
Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



KELAHIRAN PENYAIR
Oleh :
Badarudin Amir

tak ada seorang ibu yang bisa melahirkan seorang penyair
tetapi ia lahir setelah erangan terakhir seorang ibu
kemudian menjadi kanak sebentar
lalu remaja
lalu dewasa
semuanya berjalan sangat biasa menjadi penyair
setelah kehidupan melahirkannya lagi
ia sayang pada kehidupan
seperti sayang ia pada ibu yang melahirkannya dahulu

Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



KUKENAL MIMPIMU
Oleh :
Badarudin Amir


Kukenal mimpimu:
adalah burung-burung cahaya
beterbangan senja hari pulang dari kembaranya
di balik cakrawala yang jauh
namun tak membawa kabar apa-apa tentang dirimu
Kukenal mimpimu:
adalah awan yang berarak di senja hari
yang kau lukis di atas kanvas kuning dan cat merah hati
hingga menjelma jadi panorama senja padang kerbala
Kukenal mimpimu:
adalah pohon-pohon purba yang kau tanam di pandang tandus
kanam sendiri
menciptakan sunyi dan keasingan
jadi sahabatnya adalah doa-doa malam yang tak sempurna aksaranya
tak sanggup mencapai gerbang langit
tapi kutahu akan sampai kepada-Nya.

Barru 1995
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999


KENANGAN KEPADA LI PO
Oleh :
Badarudin Amir

ingin kulihat Li Po mabuk sekali lagi
melipat-lipat abad dalam kenangan dan sajak-sajaknya
ingin kulihat ia memuja rembulan di pintu gapura
dengan nyanyian yang menjuntai awan di atasnya
ingin kudengar lagi desah nafasnya
yang meleguh menjelma
dari untaian bait-bait haiku
 
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



MEMBACA LAUTMU
Oleh :
Badarudin Amir

berdiri membaca hamparan biru laut-Mu
kulihat ayat-ayat As-Sajdah di hadapanku
sujudku tak henti-henti
seperti sujud para nabi
kubaca ikan-ikan berkejaran di terumbu karang
kuhayati makna sebuah kehidupan yang garang
kubaca kerang dan umang-umang bertaburan
kuhayati makna gerak dan keterbatasan
kubaca gelombang arus air yang lancar mengalir
kuhayati roda kehidupan yang terus bergulir
kubaca buih ombak burung camar yang terbang rendah
kusimak pesona kehidupan laut yang mahaindah
berdiri memandang hamparan biru laut-Mu
diam-diam kubayangkan kemahasempurnaan wajah-Mu

Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999



NINA BOBO BAGI MADAME SRIE
Oleh :
Badarudin Amir

masuklah ke dalam negeri batinku, madame srie
di sana akan kutunjukkan sebuah rumah cinta tak berpintu,
tak berjendela,
yang kubangun dari puing-puing masa laluku yang sederhana
jadilah penghuni setia,
karena telah lama rumah itu tak ada yang punya. malam hari jika kau mengantuk,
tidurlah nyenyak,
akan kusenandungkan lagu cinta anak bugis ''iyabe lale'' untukmu selamanya.
tapi jangan biarkan air mata membasahi tilam dan seprai
yang kusulam dari benang kasih itu
pejamkan matamu pelan-pelan
dan lupakan masa lalumu yang gerhana,
agar dapat bermimpi jadi sang putri
dan sepatu kaca yang sebelah masih kusimpan dalam hatiku.
usaplah wajahmu dengan sapu tangan yang kuberikan itu,
karena kulihat masih ada sisa keletihan
sehabis mengurai seluruh riwayatmu yang panjang itu kepadaku
di sudut kamar biarkan aku menjaga
sambil melihat senyummu yang aneh mekar dalam mimpi,
sedetik sebelum pagi datang mengubah segala cerita.

Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999


SEBUAH HADIAH
Oleh :
Badarudin Amir

Kudengar ada yang memanggil-manggil namaku waktu berdiri di simpang jalan
menatap cakrawala tapi entah siapa
karena galau angin mengaburkan suara
seperti ingin menyebut sesuatu yang harus kusimpan sebagai rahasia
waktu angin reda kulihat ia melambai mengajakku ke sana
tergesa ia menyeberang cakrawala lalu menghilang di baliknya
akupun terpacak ke sana
merenungi tanda-tanda yang menunjuk arah ke entah
tapi bumi berputar tidak pada porosnya
maka aku terpaksa membalik tanda-tanda
semuanya kini menunjuk arah ke sorga
dalam mimpi aku melihat orang yang sama jenggot
dan jubahnya masih yang kemarin juga
kali ini ia datang
membawa bulan dan matahari yang kemarin gerhana
katanya sebagai hadiah
tapi kutolak
lantaran rumahku tak kuasa menampungnya
lagi pula sebagai apa aku harus menerimanya

Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999

Sajak-Sajak Basuki Gunawan

KISAH SEORANG PEJUANG
oleh :
Basuki Gunawan

tidak terang bagi kawan-kawannya
mengapa Rusli memutuskan
tali yang mengikat
bahagia
kurnia dewa-dewa
buat teman bersenda dan
menyelam ke dalam lengang antara
sangsi dan harapan



rumah tua
di desa Kranji bercerita
rusli disana menimang bayi
dan bernyanyi
bahwa hidup bukan sunyi
jika tak menyusur tepi
mencari titi
kebahagia yang
melolong di seberang mati

apakah rusli
meminta diri membiarkan
dada dikoyak baja
agar padi
muaskan dahaga dengan
darahnya ?



angin malam
mendesau resah membawa
kisah tentang rusli
terbaring di tengah padang
berkamit pamitan dari
satuannya dan berbisik
angsa undan
kan melayang turun
angin akan mengumumkan
perkawinan burung dan bulan



lama sudah
rusli tak kembali
alang-alang tumbuh di dada
anak kampung menginjak kepala
dan tambah tak terang bagi
kawan-kawannya
mengapa rusli memutuskan tali
yang mengikat kebahagiaanya

Konfrontasi,
No. 8
Juli - Agustus 1955

Sajak-Sajak Abdul Hadi W. M.

BARAT DAN TIMUR
Oleh :
Abdul Hadi WM

Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha, Pengikut Zen dan Tao Semua adalah guruku Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya Ya, semua adalah guruku Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah Tapi hanya di masjid aku berkhidmat Walau jejak-Nya Kujumpai di mana-mana.

Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)
Republika Online edisi : 05 Dec 1999


DALAM PASANG

Oleh :
Abdul Hadi WM
Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi? Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian, ketakutan dan perang saudara Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya
Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan Menunggu ketakpastian
Telah mereka hancurkan rumah harapan kita Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi
Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini yang bisa menghanguskan kota ini lagi - Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin Kita....

Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)

Republika Online edisi : 05 Dec 1999
DO’A UNTUK INDONESIA

Oleh :
Abdul Hadi WM

Tidakkah sakal, negeriku ? Muram dan liar
Negeri ombak
Laut yang diacuhkan musafir
karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman
Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri
Negeri burung-burung gagak
Yang bertelur dan bersarang di muara sungai
Unggas-unggas sebagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
Aku impikan sebuah tambang laogam
Langit di atasnya menyemburkan asap
Dan menciptakan awan yang jenaka
Bagai di badut dalam sandiwara
Dengan cangklong besar dan ocehan
Batuk-batuk keras
Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia
Adalahberita-berita yang ditulis
Dalam bahasa yang kacau
Dalam huruf-huruf yang coklat muda
Dan undur dari bacaan mata
Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ?
Kincir-kincir angin itu
Seperti sayap-sayap merpati yang penyap
Dan menyebarkan lelap ke mana-mana
Sebagai pupuk bagi udaranya
Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya
Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin
Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia
Negeri ular sawah
Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur
Tumpukan jerami basah
Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk
Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun
Untuk persta-pesta barbar
Indonesia adalah buku yang sedang dikarang
Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan
Di kantor penerimaan tenaga kerja
Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta
Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya
Dan mulutnya ternganga
Tatkala bencana mendamprat perutnya
Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ?
Di dekat jembatantua
malaikat-malaikat yang celaka
Melagu panjang
Dan lagunya tidak berarti apa-apa
Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh
Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ?
Ratusan gagak berisik menuju kota
Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan
Puluhan orang bergembira
Di atas bayangan mayat yang berjalan
Memasuki toko dan pasar
Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak
Dan emas tiruan
Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur
yang atapnya bocor dan administrasinya kacau
Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk
Indonesia adalah sebuah kamus
Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet
Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik
Sampai mata menjadi bengkak
Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang,
kata sifat
Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu
Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ?
Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ?
Berisik lagi, berisiklagi :
Gerbong-gerbong kereta
membawa penumpang yang penuh sesak
dan orang-orang itu pada memandang ke sorga
Dengan matanya yang putus asa dan berkilat :
Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini
Melata di bumi merusaki hutan-hutan
Dan kebun-kebunmu yang indah permai
Mengapa kaubiarkan mereka ……….

Negeri ombak
Badai mengeram di teluk
Unggas-unggas bagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu

1971
Anak Laut Anak Angin
Kumpulan Puisi
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air




KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA
Oleh :
Abdul Hadi WM



Kembali tak ada sahutan di sana Ruang itu bisu sejak lama dan kami gedor terus pintu-pintunya Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun penuh kebohongan dan teror yang tak henti-hentinya
Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana memerah keputusasaan dan cuaca
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan mulai bercerai-berai Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada Dari generasi ke generasi
Menenggelamkan rumah sendiri ribut tak henti-henti
Hingga kautanyakan lagi padaku Penduduk negeri damai macam apa kami ini raja-raja datang dan pergi seperti sambaran kilat dan api Dan kami bangun kota kami dari beribu mati. Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang dan tumpukan belulang Dan yang takut mendirikan menara sendiri membusuk bersama sepi
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan matahari 'kan lama terbit lagi

Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)

Republika Online edisi : 05 Dec 1999



KETIKA MASIH BOCAH
Oleh :
Abdul Hadi WM


Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali Kulihat matahari menghamburkan sinarnya Seraya menertawakan gelombang Yang hilir mudik di antara kekosongan
Sebab itu aku selalu riang Bermendung atau berawan, udara tetap terang Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku Kusaksikan semesta di dalam Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu
Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya Duri dan kepedihan kukenal Melalui kakiku sendiri yang telanjang
Arus begitu akrab denganku Selalu ada tempat bernaung jika udara panas Dan angin bertiup kencang Tak banyak yang mesti dicemaskan Oleh hati yang selalu terjaga Pulau begitu luas dan jalan lebar Seperti kepercayaan Dan kukenal tangan pengasih Tuhan Seperti kukenal getaran yang bangkit Di hatiku sendiri
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)


Republika Online edisi : 05 Dec 1999



MIMPI
Oleh :
Abdul Hadi WM



Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi yang lain, berlapis-lapis mimpi, tiada dinding dan tirai akhir, hingga kau semakin jauh dan semakin dalam tersembunyi dalam ratusan tirai rahasia membiarkan aku asing pada wujud hampa dan wajah sendiri. Kudatangi kemudian pintu-pintu awan, nadi-nadi cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian -- di jalan-jalannya, di gedung-gedungnya kucari sosok bayangku yang hilang dalam kegaduhan. Tetap, yang fana mengulangi kesombongan dan keangkuhannya dan berkemas pergi entah ke mana gelisah, asing memasuki rumah sendiri menjejakkan kaki, bergumul benda-benda ganjil yang tak pernah dikenal, menulis sajak, menemukan mimpi yang lain lagi berlapis-lapis mimpi, tiada dinding akhir sebelum menjumpai-Mu.
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)

Republika Online edisi : 05 Dec 1999

Senin, 20 April 2009

Sajak-sajak Mardi Luhung

Sajak-sajak Mardi Luhung

Kompas Minggu, 5 April 2009 | 02:47 WIB

Kamar Penganten

Sebelum aku meminum minuman itu, cangkirnya bergetar. Dan apa yang diwadahinya juga bergetar. Seperti ingin memisahkan campuran serbuk tuba dari manis gula. Tapi, mukaku yang terkacakan di dalamnya, mengapa selalu seperti muka mayat. Muka mayat yang pucat. Muka mayat yang melengos, saat liang lahat dibukakan bagi dirinya. Liang lahat dengan dinding sedingin bentangan mori. Dan di depan kalian, muka mayatku ini tak lagi meminta apa-apa. Kecuali tanya: Apa yang telah kalian janjikan pada jalan keong milik muka mayatku itu? Jalan keong yang telah menyeberang dari kepala sampai dada. Dari dada sampai kaki. Dan dari kaki sampai bayangan si patung asing yang telah kalian tanam di sembilu bulan. Sembilu tempat burung-burung terguling. Burung- burung yang dicintai oleh setiap yang telah kehilangan kerahasiaannya. Dan oleh setiap yang mukanya juga seperti muka mayatku. Muka yang selalu ingin merapat dan memasuki kedalaman kuping kalian. Terus menjilati relung pendengarannya. Pendengaran yang telah dirias. Seperti riasan kamar penganten di nazak subuh!

(Gresik, 2009)

Pintu

varian usiran

Punggung malam menyala. Menyala seperti pantat bulat kunang-kunang. Menyala terang dan menerangi ketika aku pergi. Pergi ke mana? Barangkali ke remang. Barangkali ke sembab. Barangkali juga ke derap. Derap yang entah. Hanya pantun yang berkata: Potonglah dua roti, jadikan kari ketupat. Jangan tanya dia pergi, sebab kalian tak memberi tempat. Dan sepasang kupu-kupu melintas. Menaburkan serbuk sari. Jatuh di kepalaku. Pasti nanti akan tumbuh kembang di situ. Kembang besar yang berbinar. Kembang besar yang berdetak. Berdetak dengan perlahan. Kata pantun lagi: Pahatan kapur barus, lengan kemamang sering tak letup. Biarkan dia lurus terus, dengan kembang yang tak redup. Ya, aku akan terus. Terus bersama kembang. Bersama malam. Bersama kenangan. Kenangan tentang kalian. Kalian yang telah memalang semua pintu. Agar aku tak mengetuk dan menyapa. Agar cuma menyelipkan puisi. Puisi di lubang kunci. Sesudah meracau dan mengigau. Sesudah mengerap dan mengudang. Mengudang seperti anak kucing. Anak kucing yang licin. Dan kata pantun berikutnya: Ambil sedikit milik tahun, biarlah tumbuh si delima. Dia tak berpenyakit sedikit pun, mengapa tetap saja tak diterima? Memang, memang, tak ada lagi tempatku di tempat kalian. Maka dengan suka atau duka, duka atau luka, akan aku lupakan kalian. Dan lupakanlah aku. Dan biarlah puisi yang aku selipkan itu sebagai tanda. Jika aku pernah kalian kenal. Kalian kenal dengan begitu tak genap. Begitu tak jamak. Akh, kata penutup pantun: Nangka limau berujung paku, senja pesisir di perigi penuh tanya. Ayo, buka semua palang pintu, dia penyair telah pergi dengan segalanya.

(Gresik, 2009)

Lidah Mertua

kenangan berkebun

Sebelas lidah aku tanam di tanah. Sebelas lidah belirik hijau dengan warna dasar kelabu. Sebelas lidah yang pintar meragi debar. Juga merancang angan. Dan sebelas lidah yang pernah dimiliki sebelas lelaki. Sebelas lelaki yang seabad dulu pergi ke utara. Untuk meminta balik matahari yang telah direbut kabut. Lalu sebelas lidah itu terus tumbuh dan membesar. Belirik hijau dan warna dasar kelabunya demikian meruah. Seperti kecemerlangan yang selang-seling. Kadang hijau. Kadang kelabu. Kadang juga menjadi campuran keduanya. Campuran yang membuat aku teringat pada warna kulit sebelas lelaki pemiliknya itu. Sebelas lelaki yang kini mungkin telah mati. Mati dijebak kabut. Mati sambil berpelukan. Seperti pelukan sebelas daging. Untuk kemudian menjelma sebelas arah jalan. Jalan yang terbentang. Dan kini, lihatlah, sebelas lidah yang terus tumbuh dan membesar itu sudah seperti sebelas pilar raksasa. Sebelas pilar raksasa yang tiba-tiba ambrol dari tanah. Terus menggoser dan beringsut. Ke mana? Tak menjawab. Cuma jika dilihat dari ketinggian, arah utaralah yang dituju. Arah jalan dari jelmaan sebelas lelaki yang pernah memilikinya itu. Hoi, betapa indah selang- seling belirik hijau dan warna dasar kelabu yang ditinggalnya. Ditinggalnya untukku saja…

(Gresik, 2009)

Beranda

Di beranda kau mengiris dadamu. Membukanya. Dan merogoh hatimu yang begitu tersembunyi. Begitu seperti permainan dadu yang mesti ditebak. Permainan yang membuatmu segera meletakkan hatimu itu di depanku. Di depan orang yang selalu kau anggap mengelak. Mengelak terus darimu. (Di luar, sepasang kelelawar terbang, mau menangkup ke mana?)

Hatimu itu pun tampak menggigil. Rasanya, seperti sudah lama ingin menjadi berudu. Berudu bening yang berenang di sela sulur ganggang. Juga di antara kecipak ikan yang berulang. Kecipak bulat yang menggema seperti genta. Bagaimana kau nanti akan hidup tanpa hati? (Sepasang kelelawar itu pun merendah, hilang di kelebat tandan pisang.)

Lalu kau menyergah: “Jangan, jangan mengelak terus dariku!” sambil menunjuk-nunjukkan hatimu seperti ingin memberikan. Memberikan pada siapa? Pada aku ataukah pada impianmu sendiri? Aku pun melihatmu tak ubahnya sebagai mayat yang kecut. Mayat yang lecut. (Lalu seekor kelelawar yang lain menerobos ke dalam, menabrak-nabrak jendela.)

“Tuan, apa kau tak mengerti pintaku?” sambungmu. Dan hatimu yang telah kau letakkan itu pun bergerak-gerak. Apa di dalamnya telah ada ulatnya? Seperti ulat yang ada di dalam sekepal daging yang tak lagi segar. Sekepal daging yang begitu merindukan sepercik air. Sepercik air yang tak menggusarkan. (Dan pada tabrakan yang kesekian, kelelawar itu pun terbanting.)

Memang, aku bukan mau mengelak. Hanya aku rasa, dalam satu putaran 360 hari, warnaku dan warnamu akan aus. Aus seperti bianglala yang koyak. Dan dari koyakan itu, apa ada yang bersedia untuk saling menambal. Apalagi sampai menukar kepedihan yang menyembul. Yang tak mungkin untuk berjalan terbalik. (Lihat, kelelawar yang terbanting itu pun mencoba bangkit, tapi sayang satu sayapnya remuk.)

(Gresik, 2009)

Genesis

buat riyadi ngasiran

Aku menitipkan mataku di matamu. Sebab setiap warna yang
kau lihat, juga ingin aku lihat. Warna yang selalu berkelebat
seperti kelebat ladam kuda. Atau yang tak oleng seperti
keliatan sepeda-tinggi milik lelaki-bukit. Lelaki-bukit yang
gemar bersiul. Lelaki-bukit yang sering kau datangi ketika
memahat di tepi tebing. Sambil menyalurkan gumpilan daging
dan darah yang dipahatnya agar sampai ke laut. Agar bertemu
dengan setiap warna yang kau lihat, juga yang ingin aku lihat.

Dan di laut (di tengah setiap warna yang kau lihat, dan juga
yang ingin aku lihat itu), kau tampak berenangan. Meluncur
dan selurupan. Sambil melempar-lemparkannya
ke angkasa. Jadinya, angkasa pun dibuar warna. Seperti
buaran bentangan bianglala. Bianglala yang akan balik
mewarnai matamu. Dan matamu pun terus mewarnai apa saja
yang dilihatnya. Mewarnai dengan sesukanya. Dan mewarnai dengan cara yang berbeda.

Gunung merah, pohon biru, tawon jingga, orang hijau,
bayangan putih, gurita kuning, mata ungu, gigi coklat,
rumah bening, matahari hitam, padi kelabu, rumput nila.

“Dan apa warna-warna semacam itu tak terbalik?” Aku
bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja
mewarnai dengan cara yang berbeda. Sampai kemudian, aku
merasa (dan juga melihatnya), semesta jadi berganti warna.
Berganti dalam warna-warna yang tak terduga. (Apa kita juga
mesti mengganti nama-namanya?)
Di antara semuanya, aku pun meminta balik mataku yang telah
aku titipkan di matamu. Dan saat kau akan memberikannya,
aku merasa itu bukan mataku. Sebab mata itu terlalu muskil
bagi diriku.

Dan aku menolaknya. Terus melaporkan dirimu pada
lelaki-bukit. Yang masih memahat di tepi tebing sana!

(Gresik, 2009)

Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur. Buku puisinya adalah Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Ia pendiri komunitas De Nagari Gresik.

Sajak sajak Hasan Aspahani

Sajak sajak Hasan aspahaani

Kompas Minggu, 12 April 2009 | 02:57 WIB

Klinik Sakit Hati

AKU dan kamu sama terbaring

getah darah belum kering pada sepasang mataluka yang juling

Kalau ada pembezuk datang kita usir dengan maki hamuk dan kutuk, “Enyah kamu, busuk!”

Berseberang ranjang, cuma sepelemparan parang jalang, sesekali kita saling tebas, putus selang infus!

Lalu, entah kamu entah aku yang lebih dahulu menjeritkan nama siapa saja sebab yang datang pasti dia juga perawat tua berlidah belah, tak bosan-bosannya dia mengucap nasihat bercabang arah!

Di klinik tak bersubsidi ini hanya ada dia, untuk kita sepasang pasien sakit hati nyaris mati

Perawat tua, hitam-hitam-hitam seragamnya ia suntikkan ekstrak sariluka dari seekor hewan besar dan lapar yang akhirnya takluk pada perburuan mereka yang kabur dari penjara negara setelah mencuri senjata dan selembar atlas rahasia

Setiap malam, kita bertaruh:

Kau bilang, perawat tua itu adalah malaikat sabar yang masih betah menyamar, kalau tiba waktunya diam-diam ia gunting putus kabel nafas kita.

Aku bilang, tidak, nyawa kita itu, Tuhan sendiri yang akan datang mencabut, sekaligus ia mengajari kita hakikatulmaut!

Hasan Aspahani

Permohonan

KECUPKAN saja lagi pada pedih lidahku serat sari dari daging mangga bibirmu

agar tak sesaat aku sesati sepi mimpi, ragi pagi, sisa sayat ragu semalam tadi

Hasan Aspahani

Ruang-ruang Kuliah Kampus Lama

AKU sering tertidur di deretan kursi belakang. Melewatkan kuliah profesor tentang bagaimana membedakan jenis-jenis tanah dari warnanya.

Dan sekali waktu aku pernah bermimpi di tidurku itu: pada-Nya, aku bertanya, “Aku, Kau tempa dari tanah apa?” Dia menjawab, “Kenapa kau tanya aku? Tanyalah itu profesor ahli tanahmu....”

Ah, Engkau! Padahal aku masih ingin tahu cara membedakan Cahaya dan Api dari juga warnanya, aku masih ingin bertanya di mimpi sesingkat itu.

Hasan Aspahani

Suatu Hari di Graha Widya Wisuda

PADANG mahsyar kami kelak pasti tak begini, kan? Tak ada toga-sewaan-dasi-pinjaman yang harus cepat dipulangkan,tak ada kartu bebas perpustakaan, tak ada tukang fotoyang mengabadikan senyum keharuan (atau ketakutan?), tak ada paduan suara menyanyikan lagu himne almamater

DAN nama-nama kami dipanggil juga, seorang per seorang,yang menggantung di hadapan muka disingkirkan ke tepian,di luar Graha Widya Wisuda menunggu segala kemungkinan:seperti disambut sebuah baliho besar lowongan pekerjaan

“Berapa lembar Engkau bolehkan kami memfotokopi ijazah?Tolong beri lebih, kami harus mengirim banyak lamaran....”


Hasan Aspahani lahir tahun 1971 di Kalimantan Timur, dan kini bermukim di Batam. Wartawan, penyair, dan blogger. Sedang menyiapkan penerbitan buku puisi terbarunya, Telimpuh, yang dalam bentuk e-book sudah beredar lewat blognya www.sejuta-puisi.blogspot.com

Sajak sajak Esha Tegar Putra

Sajak sajak Esha Tegar Putra

Kompas, Minggu, 12 April 2009 | 02:57 WIB

Seretan Suara

suara siapakah yang menyeretmu hingga tergelepar di tepian pesisir

dengungnya tak seperti bunyi lebah, gaungnya tak seperti desiran angin

yang beradu kian-kemari di punggung lembah. suara siapakah

yang telah menelantarkan tubuhmu hingga tak sanggup lagi merapal

isyarat kerang pecah, tak sanggup membau amisnya lendir ikan

dan seperti menemu lubang dalam, kau tak sanggup menyuarakan

sakit pada badan yang diregang oleh jarak. di tepian pesisir tanganmu

digelipatkan, dan di lain jarak (mungkin di tengah laut) kakimu

diapungkan. seakan dijadikan umpan bagi ikan-ikan bergigi tajam

suara siapakah itu, yang menghelamu jadi makhluk pendiam yang

tak sanggup mengusap jejak pasir yang melekat di kening beningmu

Kandangpadati, 2009


Pohon Agung

1

kuamati sebatang tubuhmu

seperti mengamati sebatang pohon agung

di hari yang mendung

bola matamu kelihatan cekung

seakan menenung dan menghisapku

ke dalam tempurung yang mengapung

rambut yang terjalin dan berpilin

membayangkanku akan sumbulan akar

sehabis menusuk bebatuan lapuk dengan garangnya

dan di rengkah bibirmu itu

kayu-kayu belah di kemarau yang tak sudah

kemarau yang tak memberi pertukaran pada warna sungai

punggungmu entah berwarna apa

terlihat belang-belang dengan serat menebal

seperti bekas batang terpanggang

2

tubuhmu yang sebatang pohon agung

dengan buah lebat yang begitu nikmat dulunya

sering kali aku salah duga memaknai itu. ingatanku tak cukup kuat

menerjemahkan isyarat yang kau buat di kali kesekian hujan merambat

di suatu ketika aku hanya bisa berharap

tubuhmu yang sebatang pohon agung

dijadikan tempat bergelantung. dan akan melambungkan

keinginan beburung; mengarung langit lapang yang kini murung

cuma di kerisik daun jatuh

(barangkali itu tangismu turun) dapat kusaksikan

persetubuhan nikmatmu dengan badan angin. semacam

permainan, dan hanya lenguh burukmu yang bisa kutangkap

3

aku ingin mendekat dengan penuh harap

lalu mendekap tubuhmu yang sebatang pohon agung

sembari merapal doa-doa lama yang temurun diajarkan para tetua

agar senantiasa kau bisa memahami kesakitanku, kesakitan penebang

pohon rimba—sesekali aku merupa penggetah burung

siasat apakah yang bisa merubuhkanmu

sebatang pohon agung dalam mendung

aku begitu takjub pada tangkai dan surai lebatmu

yang mengucurkan getah mentah. harapku berjaga di antara patahan

ranting, di antara runtuhan lapuk dan terbangan gabukmu

4

agar di hari yang mendung

ketuban awan segera pecah dan tempias air dapat

berburu di kedudukan tanah

hingga tubuhmu, oh, yang sebatang pohon agung

menjadi pertanda dimulainya musim berpinak

bagi sepasukan semak

Kandangpadati, 2009

Esha Tegar Putra adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Pinangan Orang Ladang merupakan kumpulan puisi perdananya yang akan terbit.

Sajak-sajak Ags Arya Dipayana

Sajak-sajak Ags Arya Dipayana

Kompas, Minggu, 19 April 2009 | 02:42 WIB

Sambal Seruit, di Sore Berhujan

: Iswadi

Sekiranya tujuh orang teman bertandang di suatu sore

berhujan. Beberapa ekor ikan yang kau pancing di sungai

sewaktu kau kecil dulu – baung, belida atau layis, akan sangat

membantu: melahirkan tawa, canda, mungkin satu puisi.

Selayaknya enam orang teman mampu menyiapkan

pesta bersahaja dalam satu jam. Memotong dan menyiangi

ikan, membakarnya di atas perapian. Sementara kau memilih

siapa yang akan menjadi korban.

Sepantasnya lima orang teman memahami segala yang

diperlukan. Merajang tempe, memotong-motong sayur lalapan,

mengiris mangga – jika tempoyak tak ada. Juga memanggang

terungnya. Senyum dikulum, hati berdebar, bukan hal besar.

Sebaiknya tak lebih dari empat orang teman tahu rahasia sambal itu.

Terasi udang, garam dan gula pasir sekedarnya. Rampai juga.

Jumlah cabe merah itu menentukan jalannya upacara makan.

Rasa pedas, air mata dan gelak tawa tanpa rasa berdosa.

Semestinya tiga orang teman menggoreng telur ceplok, ikan asin,

menanak nasi dan menyiapkan arena pesta. Sementara kau

tenggelam dalam tawa tertahan, dalam mimpi perihal

bagaimana persahabatan harus dinikmati.

Seharusnya dua orang teman pergi membeli serbat dan jus kwini,

minuman sedap sehabis makan-makan. Kau bayangkan menghirup

kembali kenangan, menyimak kembali catatan tercecer seraya

melanjutkan percakapan.

Setidaknya dapat kalian seruit satu orang teman, kalau saja tidak kau

lupakan Sayur Asam itu. Makanan penutup yang akan meredakan

rasa kesal itu. Bukan yang terpenting, namun tanpanya akan

batal seluruh rencana. Sayangnya

Menu Rumah Makan Seafood

: Isbedy

#1

Gurame Asam Manis. Bersihkan ikan dan buang isi perutnya.

Lumuri dengan campuran tepung kanji dan garam. Goreng dalam

minyak sepanas hatimu yang marah itu. Angkat bila matang.

Siapkan saus: matangkan tomat dalam rindu yang mendidih,

Lumatkan dan saring. Ampasnya tak berguna.

Panaskan margarine di atas wajan, tumis irisan bawang merah,

bawang putih, cabe merah dan jahe sampai kau dapati

keharuman yang menerbitkan haru. Lalu masukkan lokio dan

air tomat. Masukkan gula, cuka, tuangkan cairan tepung kanji.

Angkat setelah mengental.

Bubuhkan atasnya beberapa ujaran yang kau pungut dari

puisimu. Tuangkan ke atas gurame goreng. Lalu ingatlah

kembali pertemuan-pertemuan itu. Jika kau mau, tambahkan

beberapa kerat dendam. Bersantaplah sepuasmu. Tapi jangan

berharap kau nikmati kearifan itu.

#2

Cumi Goreng Tepung. Bersihkan kulit cumi dan potong-potong

Hingga terbentuk gelang-gelang kecil, sebesar igauan. Masukkan

ke dalam tepung terigu, yang telah kau bubuhi merica dan garam.

Celupkan ke dalam kocokan telur, sebelum kau gulingkan ke atas

tepung roti. Jangan kenangkan hari-hari penuh sangsi itu.

Sepuluh menit berikut adalah menunggu, setelah kau satukan

mayonnaise dan saus tomat itu. Kemudian yang kau perlukan

adalah minyak panas di atas wajan, lalu goreng cumi hingga

matang. Tapi setiap orang punya pendapat berbeda dalam

ihwal kematangan.

Meski demikian, tiriskan sesudahnya. Kau pun bisa segera

mencicipinya, sambil sekilas menyentuhkannya ke saus

yang mampu membawaku dalam tamasya ke negeri-negeri

dongeng itu. Kau tentu boleh menghabiskannya, tapi berhentilah

bergumam tentang Kepiting Saus Tiram itu.

Menu Rumah Makan Seafood

: Inggit

#1

Makan malam belum dimulai. Di atas meja

hanya piring-piring, masih sepi dari isi.

Tapi minyak goreng yang meletik-letik di atas perapian

menggoda irisan bawang merah dan bawang putih

untuk segera matang di dalamnya, dan melepas aroma

yang memang mereka siapkan, seperti umpan.

Kau amati udara yang serta-merta sibuk

menyergap dan membagikannya kepada ruang-ruang

yang tak sabar menunggu sejak semula. Sementara cengkih,

biji pala, pekak dan kapulaga bersipandang. Cabai giling

dan bumbu gulai berjuang untung tetap bergeming.

Ingin percaya, semua punya gilirannya.

Telah kau haluskan jahe, kunyit, lengkuas. Sebagaimana

bawang merah dan bawang putih pula – yang seperti

katamu, menuntut keterlibatan lebih dari lainnya. Lalu

sedikit garam, tentunya. Lapar yang duduk mencangkung

di atas kursi gelisah oleh gurauan jam dinding di

ruang makan itu, “Tunggu sampai besok pagi. Kalau jadi…”

#2

“Satu kilogram daging kambing atau sapi dibutuhkan dalam

perjamuan ini,” begitu katamu. Kau pun menyulapnya

menjadi potongan-potongan sebelum memasukkannya

ke dalam wajan. Mengaduknya dalam tumisan hingga

matang kecoklatan. Kau tuangi air secukup yang kau taksir.

Sejak sore telah kau parut kelapa, telah kau peras

berulang-ulang agar kau dapatkan santan yang kau

harapkan. Warna putihnya yang kental selalu

memuaskanmu. “Ini bukan perkara yang seketika menjadi.

Sudah harus sejak lama diawali.” Lalu kau duduk

di sudut dapur, menghitung waktu.

Kau tutup wajan dan mengecilkan api. Menuang santan

sewaktu air semakin tiris. Di meja makan masih

piring-piring yang sama. Tapi semerbak Gulai Balak

telah sampai. Lapar itu semakin tak sabar, tapi belajar

bersikap bijak. “Harapan adalah kenyataan yang dalam

perjalanan. Ia memang memabukkan.”

#3

Alangkah rumitnya kelezatan. Mula-mula ia berujud apa pun

dan berasal dari mana pun. Merica, lada, dan sederet nama

lainnya. Lalu sebuah upaya menyatukan, mengulek, menumbuk,

mengiris dan sebutan yang berbeda. Tapi tanpa api, segalanya

tidak akan sampai menjelma arti. Segalanya harus puas

menjadi sekedar rencana.

Di pinggan tersaji masakan dengan kuah kuning kemerahan.

Kepulan uapnya menebar harum yang nyata disiapkan

penuh perhitungan, cermat dan seksama. Rasanya telah

mencapai lidah, bahkan sebelum mencicipinya. Boleh jadi,

inilah malam di Tanjungkarang yang boleh didamba. “Apakah

kau masih lapar yang sama?” tanyamu.

Lapar yang agak terlalu itu tersenyum. Malu-malu.

Memilih untuk tetap membisu. Melirik penunjuk waktu,

mengira bahwa ia berhasil mengatasinya. Kau pun

meletakkan sewadah nasi putih, mengangsurkan segelas

air putih. “Malam masih akan panjang. Kusiapkan sajian

untuk delapan orang. Nikmatilah. Sendirian…”

Ags Arya Dipayana menulis puisi, prosa, dan lakon. Ia adalah sutradara Teater Tetas; tinggal di Jakarta.

Minggu, 29 Maret 2009

Sajak-Sajak Goenawan Mohamad

Sajak-Sajak Goenawan Mohamad

Koran Tempo, MInggu, 22 Februari 2009

HOLOGRAM

Dari berkas cahaya
yang mungkin tak ada,
kulihat kau:
sebuah hologram,

srimpi tak berjejak,
dari laser yang lelah
dan lantai
separuh ilusi.

Di lorong itu dinding-dinding
kuning gading,
kebun basah hijau,
dan kautaburkan biru

dari kainmu. Bangsal kraton memelukmu.
Waktu itu sore jadi sedikit dingin
karena tak putih lagi
matahari.

Aku tahu kau tak akan
menatapku. Mimpi tiga dimensi
akan cepat hilang,
juga sebaris kalimat yang kulihat

di almari yang gelap:
"Aku tari terakhir yang diberikan,
aku déjà vu
sebelum malam dari Selatan."

Aku tahu kau tak akan
menyentuhku.
Seperti pakis purba di taman itu
kau tawarkan teduh,

juga sedih. Tapi aku merasa
kaupegang tanganku,
seperti dalam kehidupan kita dahulu,
sebelum kau ingatkan

bahwa aku juga
mungkin pergi.
"Bukankah itu yang selamanya terjadi.
Aku seperti waktu, karunia itu."

2009

DI MEJA ITU

Jangan-jangan hijau teh
telah meyakinkan aku: aku melihatmu
di sebuah adegan remeh
di kafe kosong itu.

Rambutmu hitam terlepas,
dan karet gelang itu kaupasangkan
untuk kacamataku.
Dan aku pun baca huruf itu,

"Lihat, hari bisa juga jadi.
di kota yang mustahil ini."
Mungkin aku telah lama menunggumu
dan tak percaya diri. Karena

pada tiap jeda hujan,
ketika kamar dan kakilangit segaris,
yang mencinta bersembunyi
dan Maut seperti Saat: tak pernah ingin kembali.

2009
SEBENARNYA

Sebenarnya apa yang terjadi:
telah kautuliskan
sajakku dalam sajakmu
sajakmu dalam sajakku?

Atau kata-kata kita
saling selingkuh,
sejak zaman
yang tak kita tahu?

Mungkin Ritme itu pernah satu
melahirkan aku melahirkan kamu
melahirkan nasib, melahirkan apa
yang tak pernah tentu.

2008

PADA LAPTOP ITU

Di sebuah kamar yang hambar
mereka tatap laptop
yang nyaris kosong
dengan hanya satu gambar:

Sebuah desain hari
dengan sudut terpotong.
Sebatang mistar
dengan sentimeter yang samar.

Dan ketika kulit mereka
bersentuhan,
mereka arahkan kursor
ke angka jam.

Tapi yang terhapus hanya malam.
Dan mereka pun tetap diam
di kamar yang hambar
layar yang hanya sebentar.

2008

DI SETASIUN SENTRAL

Sekian ratus gram remah roti pikan
terbang dari gerbong kereta
Amsterdam. Rel lurus
dan lapar. Tak ada waktu.

Hanya 12 sinyal.
Seseorang pun pergi dengan hitam kopi
yang tumpah. Seseorang pun lekas,
seseorang lelah:

ini hari putih terakhir,
hari seorang migran,
ketika dingin jadi pelan
dan salju mungkin palsu.

2009

PADA SEBUAH PANGGUNG

Mukjizat adalah air kanal
yang bangkit
mengusung sajak yang terjebak,
tak terbaca.

Sebab sore ini, teater tak menerima kata lagi.
Tak menerima kita lagi. Hanya ada sebuah mimbar,
sepasang kursi hitam, lampu-lampu
yang ingin menjelaskan,

tapi kau tolak, "Terima kasih, terima kasih.
Sajak adalah lorong yang rentan."
Dan tiap fonem adalah liang
di mana harap tak jadi ada

Aku ingin memelukmu. Persis di pentas itu
--tapi ragu. Sajakmu pun lepas
lewat tingkap. Di luar pintu
tampak jembatan,

palang-palang logam yang memanggilnya
menyeberang, ke utara kanal...
Kubayangkan
trotoar itu kekal.

2008

15 TAHUN LAGI

15 tahun lagi ia tak akan di kamar ini.
Seperti warna biru pada gordin
yang dihisap
matahari

Tapi ia mungkin akan bisa menyisakan
merah meja
dengan bekas nikotin
pada amplop terakhir

jam yang bersembunyi
dari Tuhan
yang tak membuat
ia yakin.

Salahkah ia,
yang tak begitu percaya
pada salam, atau sekedar suara
di atap kamar itu,

kalimat pelan-pelan
yang akhirnya
hanya hujan?
Mungkin hujan?

Apa yang diharapkannya?
Tentu bukan hujan!
Ia hanya tak ingin terpisah
dari nyanyi murung

sebuah lagu Brazil,
pada cello
yang setengah serak
yang terapung-apung, sentimentil,

di luar, pada pucuk pohon
dan gerak awal
sejumlah mendung:
Sem voce, sem voce.

Mungkin ia kangen, sebenarnya,
tapi "Aku malu," katanya, pesimistis
pada telegram
yang mungkin mengetuk

dari luar itu, dari gerimis
yang berkata: 15 tahun lagi
akan ada seseorang
di kamar ini.
2008-9

Goenawan Mohamad kini giat di Komunitas Salihara, sebuah kantong kesenian di Jakarta Selatan. Buku-buku puisinya adalah, antara lain, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (2001) dan Selected Poems (2004).

Puisi Puisi Isbedy Stiawan ZS

Puisi Puisi Isbedy Stiawan ZS
Jurnal Nasional, Jakarta | Minggu, 22 Feb 2009




Tentang Setangkai Bunga

ia bawakan untukmu serangkai bunga, tapi saat kau terima duri bunga itu
melukai telapak tanganmu. “Aku luka, ini darahnya,” katamu sambil menahan
perih. kau biarkan darah di tanganmu hingga mengering: warnanya tak merah tapi
kecoklatan. apakah ada darah berwarna lain? tak ada pertikaian soal
darah. seperti para pasien yang tak pernah berteriak ketika ingin membeli darah
beharga mahal, atau para pendonor akan ikhlas jika diganti uang: “bagaimana mungkin
gratis, aku perlu sate kambing dan vitamin?” kata para pendonor, setelah sepakat harga ia pun memberi darahnya.

“bahkan untuk sepetak kematian, kau harus bayar…”


05.10.2008




Tentang Kabar Rindu

aku makin mencintaimu. kau yang imut makin menggodaku saat cemberut. setiap
hari kaukabarkan rindu hingga ingin selalu temu. menulis getar waktu. mengukur
luas sepi yang dititipmu jika aku pergi. “esok bawa kembali apa yang kutitip
padamu agar tak layu,” katamu saat aku pamit pulang. kemudian bibirmu melambai,
dan hatiku jadi helai demi helai

1028




Tentang Setahun Pertemuan

setahun usia pertemuan ini, sayang, sudah berapa waktu kita lepas rindu? aku datangi
hari-hari sendirimu. kugambar pantai karena kau meminta. kutulis setiap gerak
ombak sebab rindumu pada laut. kukisahkan padamu indahnya pegunungan dan
mekarnya bakau agar kau setia datang ke tepi pantai

jika aku lupa—tapi aku tak akan pernah alpa—kau akan ingatkan dengan suara
dari mulutmu serupa gemuruh ombak. aku akan datang dan membawamu untuk
menikmati pantai: mengenang ketika pertama kali angin pantai membelai
rambutmu, pipimu, bibirmu…

“aku mau hidup layaknya anak pantai, bersamamu,” bisikmu

tapi prahara dan bencana, tak bisa ikhlas aku mengabulkan mimpimu
hidup di tepi pantai

2007-2008





Tentang Perkawinan

segudang sudah cintaku, tapi belum juga aku dipindahkan ke pelaminan. tinggal
sepi mengiris raguku.

jika setiap pertemuan tak pernah ada akhir, apakah cintaku tak akan beralamat
pada pelaminan?

kau selalu janji, aku terus-terusan menanti!


2008




Tentang Perjamuan

alasan apa aku akan melupakanmu lalu buru persinggahan lain; rumah-rumah
baru, bedeng-bedeng biru. alasan apa aku dapat meninggalkanmu, dan cari lain
paling rindu; tempat-tempat persinggahan yang haru

perjamuan demi perjamuan membuatku tak mampu melupakanmu. setiap yang
tersaji akan selalu membayang wajahmu. telah kucecap lidahmu, tubuhmu yang
daging sudah kugulai sebagai sarden, sate, sop, ataupun gule. “paling tak kusuka
rendang, jadi jangan tanya padaku cara memasaknya,” tukasmu.

lalu alasan apa aku akan meninggalkanmu? kau sudah saji mimpi-mimpiku
pada setiap perjamuan. lalu apa alasanku bisa melupakanmu?

- kau tersaji di setiap perjamuan—pagi, siang, senja, dan malam—yang
kusantap sepenuh lapar


08.10.२००८



by : Arie MP Tamba

Sajak-sajak A. Muttaqin

Puisi Puisi A. Muttaqin

Jurnal Nasional, Jakarta | Minggu, 01 Mar 2009



Sepuluh Lanturan Tentang Hutan


i
Malam adalah telur yang menetas,
dan aku ingin kau tak menetaskanku.

Begitu berwarni perangai mimpi,
sedang pagi tinggal kuning tai

dan kau tak akan kembali.
Tapi, aku tetap memimpikanmu,

keluar dari kuntum bunga dan
berkata, larilah, kejarlah…

ii
Darahku membeku.
Sepasang kakiku jadi batu.
Dan, jika ada yang terbang dari ubunku,
itulah yang menumbuhi malam-
malamku.

Kau tahu?

Duh, bagaimana aku tanya itu padamu,
sementara tak ada angin puyuh
yang sanggup menerbangkan kunang-
kunang dari matamu?

iii
Rusukku pun berbulu.
Malam bergemuruh.
dan aku ingin angan jadi ungu,
setenang subuh.

Biar kuda-kuda merah meringkik.
Biar langit yang masih punya banyak kerdip itu
memekik.

Aku tak ingin seperti kumbang
dan singgah dari kembang ke tembang.
Aku tak ingin jadi jalang dan mengerang
di padang panjang.

Sayangku, datanglah kau bagai subuh.
Beri aku pagi dan kupu-kupu

iv
Aku sebut namamu,
tapi separuh lidahku jadi batu.

Menyebut namamu dengan batu?
Ah, bukankah dengan lidah dan seluruh pun
aku hanya gagu?

v
Rambutku mengeras
dan mataku terlepas,
seperti kelereng menggelindingi sepi.

Sepinya basah. Oh,
apa mataku sedang menangis sendiri?
Seperti dulu, ketika ia sering
kupakai mencuci bajuku.

Ketika
tanganku masih bisa
rasakan air dan dingin.
Ketika
masih ada ledakan-ledakan kecil
di balik dadaku.
Ketika
kuku belum merambat
ke sekujur dagingku

vi
Kau tak usah jadi ibu dan mengutukku.
Kini, aku telah sempurna jadi batu,
lebih hening dari spinx
menghikmati sepasang mawar
yang memekari dagingmu.

Dan aku pun tak mungkin lagi menikammu,
seperti bayi ranum yang mengasah
segenap taring dan purbaku?

Tubuhmu lebih luas timbang waktu.
Dadamu lebih bebas timbang kupu-kupu.
Dan farjimu seganas giras sungai
yang menabrak dan melemparku
ke gunung,
ke kembaranku yang setia
menunggu terjun

vii
Kau tahu,
sungai dan batu tak pernah bersekutu?

Maksudku, aku tak mungkin
mencumbumu. Aku selalu gagal
mencecap getah perdumu, seperti dulu,
ketika mula belajar tidur.

Sebagaimana keinginan kembali
ke gua gaib, di mana tuhan pernah mengintip,

membisikkan tiga suku kata
yang memekarkan jantungku:

tiga suku kata yang mirip panggilanmu.

Hingga,
rusukku yang berbulu itu terbang,
layaknya kupu-kupu lugu yang hinggap
di lengkung alismu,
di kelopak matamu
yang dungu

viii
Tapi dungu bukanlah milikmu.
Kau lebih beku dari batu.
Kau lebih ungu timbang masa lalu.
Kau juga melebihi keruh ibuku.

Hingga,
aku tak bisa menemukan perutmu.
menyusup ke rahim,
atau mengalir
di arus nadimu.
Menjadi terumbu di laut darahmu,
dan bukan jadi batu yang sendiri,

di sini,
di bugil pagi yang menggigil
di bawah kuntum matahari

ix
Ini tentu sudah ngelantur, bukan?
tapi tidak. Tidak, Sayangku.
Prihal cinta memang sering tampak ganjil.
Dan mungkin, 1001 pangkur,
1001 mazmur tak akan manjur bertutur.


Sebelum kita benar tidur,
baiklah, kulengkapkan cerita ini:

Kamu tahu, apa yang diminta Hawa
ketika Adam mulai tergoda?

Waktu itu, sorga serupa bunga raksasa
dengan bulu dan sepasang-pasang
penuh warna.

Dia meminta itu. Maksudku,
lubang itu. Dan seperti Adam yang merajuk
ceruk hitam, aku terkenang
lubang batang kayu yang
persis milikmu.
Milikmu.
Dan milikmu.

Di lubang itu, bersembunyi
ular bermahkota mawar yang membuat
jantung keduanya jadi nanar.
Hingga tanpa sadar
mereka bareng berujar,

ajari kami, ajari kami terbang
menuju hulu dan kupu-kupu…

Dan mereka pun diajar.
Mula-mula mereka dianjur menjuluri tidur.
Dan tidur mereka jadi ular yang saling membelit,
seperti sepasang kutuk yang melingkari pohon.

Pohon yang di tengahnya,
lubang yang tak pernah habis terbakar itu,
tiba-tiba menyala dan menjatuhkan mereka
ke kedalaman panas dan bergetah.

Sebutir apel pun pecah.
Sepuluh kupu di pucuk tangan adam terbang,
seperti luput pertama yang berteriak dan meminta:
Bapa! Bapa!

:sejak itu, manusia punya kuku
untuk mencakar dan berdoa.

x
Pagi jadi bangka.
Waktu seperti lelaki tua
yang diam tak bersuara.

Dan, seperti Adam yang kembali terjaga,
aku hanya duka yang menatapmu,

menatap dedaun yang tumbuh dan gugur
di wajahmu, seperti jari-jari gaib, melambai
hari-hari yang pucat pergi, tanpa berahi...

(2008)




Bunga Batu

Duh, bunga batu yang tumbuh di badanku,
aku ingin mencucupmu sekeras batu:
batu yang melahir dan mengutukku.
Lalu, kita sama pergi,
seperti mimpimu,
seperti mimpi batu yang tak mati-mati
dan berkedipan
sepanjang pantai.
Aku tahu,
(seperti yang juga kau tahu),
pantai hanya pantai.
Pantai bukan ibu yang membuat kau dan aku
lebih batu.
Dan aku juga tak mencintaimu seperti cinta batu.
Ketahuilah,
cintaku bukan gelang atau cincin,
cintaku hanya pasang saat aku bimbang
dan tuhan menghilang.
Jangan katakan cintaku bulan, sebab
cintaku hanya bunga api yang menyala pergi.
Jamur-jamur di tubuhku meninggi,
lebih tinggi dari mulutmu,
mulut batu
juga mulut nujum
yang tak pandai
menyebut mati.
Lalu,
aku pun mencucupmu
seperti menciumi selingkar batu
dalam kitaran pantai,
seperti mengitari hari-hari
yang pulang-
pergi
dengan ciuman batu
yang membunuh sang ibu
dan melubangi perahuku…


(2008)



A। Muttaqin, dilahirkan di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore. Puisinya merambah berbagai media, lokal pun nasional, seperti: majalah sastra Horison, Kompas, Koran Tempo, Surya, Suara Merdeka, Suara Indonesia, dan Surabaya Post॥ Selain itu, terhimpun juga dalam beberapa antologi bersama, yakni: Album Tanah Logam 2006, Pelayaran Bunga (Festival Cak Durasim 2007), Rumah Pasir (Festival Seni Surabaya 2008), dan 100 Puisi Indonesia Terbaik (Anugerah Sastra Pena Kencana) 2008. Kini bekerja sebagai editor.


by : Arie MP Tamba

sajak-sajak Esha Tegar Putra

sajak-sajak Esha Tegar पुत्र

Koran Tempo, 15 Maret 2009

MENGUKUR JARAK

Esha Tegar Putra

akhirnya aku tahu, antara singgalang dan buahbatu
ada yang terentang serupa benang, yakni matamu; mata perdu

meski sesekali aku tersesat di jalan panjang dan tubuh jalang
bayangmu tumbang di antara serak bunyi puput batang padi

kiranya siapa yang lebih mengerti selain sunyi yang kian mati
matamu menyiratkan lubuk dalam, bayangan di dasarnya terkurung

terbenam juga angan, pantai panjang dikulum pasir bergaram
matamu menyiratkan sesuatu yang padam, sesuatu yang geram

antara singgalang dan buahbatu adalah rindu, begitulah seruku
teramat lapang ini langit, teramat sulit buat digigit

aku kian bergairah; di sini lembu, kuda, tempua, kecebong
segala binatang ikut berseru dari hunianku, ikut berseru sepi

jarak tak merupa benang pintalan biasa (bukan pintalan si tua yang
dengan gemetar menenun kenangan lama di helaian kain satin)

bilamana rindu ini padu menjadi bau gaharu, siapa yang bakal
sanggup menenun makna cinta yang berubah jadi perca?

isyarat mata perdumu, sekumparan kabut lembut penggenap kalut
tapi siapa yang sanggup menelungkupkan tanjungku ke arah lautmu?

kali saja pasir susut, singgalang merupa gundukan tanah biasa
tak bersuara tak berseru, dan buahbatu menghela itu rindu

di ini tahun pucuk cinta menumbuh baru, sesuatu yang padu
digenapkan tubuhmu, dengan bau lokan rebus dan amis susu lembu

akhirnya sajak jadi himpunan bahasa yang tak perlu diberi tahu
dan aku akan berucap mengenai jalang malam menjelma tubuhmu

kiranya kau tak mengerti, sajak tumbuh di dagumu, punggungmu
dadamu, di segala yang ada padamu menumbuhkan gairah sajak

Kandangpadati, 2008

SEPINGGAN SAJAK SEPI

tentunya kita tak bakal saling melupa, sekarang aku sepinggan
sajak sepi, sedangkan kau sebentuk kata hati

tentunya kau tak akan pernah mengira bahwasanya aku akan
mempunyai sepasang mata berbahaya, mata yang bisa memandang
tembus lewat sesela angin (maka dari jauh, dari jarak yang tak bisa
kau tebak, pastinya aku akan menatapmu dengan penuh malu)

aku juga seorang penujum yang tahu di tempat mana kau
sembunyikan rasa sakit, ke sudut mana kau benamkan kenangan geli
yang selalu ingin kau nikmati sendiri

pastinya aku tak akan banyak berucap dan bergumam lagi
tapi piuhan mantra dan jimat penghela akan kudedahkan
(bagi siapa saja yang menyembunyikan kenangan
ke pucuk paling rahasia)

aku juga akan mengobati kau, jika dalam sakit
aku akan menyajikan sepunggung tulang
agar kau kuat dalam mengingat dan sigap berucap

tetap saja aku akan kau maknai sepinggan sajak sepi
sebab kau sebentuk kata hati
dan kita pastinya akan cepat bertemu jika sakit melibatkan diri

Jalantunggang, 2008/09


Esha Tegar Putra sedang belajar di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas, Padang.

Sajak-Sajak Budhi Setyawan

Puisi Puisi Budhi Setyawan
Jurnal Nasional Jakarta | Minggu, 08 Mar 2009



Ada Yang Tertinggal Oleh Larimu
: sumantri

tak kau dengarkah roman rona masa silam
dengan teriak parau memanggilmu:
”pulanglah sebentar, aku mau cerita. tapi riuh kemilau
gerak zaman menindih sepimu bertubi tubi.”

tak pernahkah terlintas di kanvas jalanmu
waktu lalu yang dulu pernah dekatmu
kautinggalkan sendirian di sebuah halaman
meradang merana ditimpa kepanasan kehujanan

dirinya kian asing
memanggil dan terus memanggil:
”temui aku sebentar, sebentar saja, sungguh aku mau cerita.”

memang dirimu telah lesat jauh
dari langkah kecil yang merunut setapak
berganti jalanan lebar berpacu bising

jendela kamar tak lagi terbuka setengah
seperti dulu menangkap rembulan keperakan
kini rapat katup takut lembab malam

sumantri tak lagi lugu bocah dusun
telah menjelma punggawa kerajaan
yang bermain main di pendar dunia awang awang

menggebu menderu genggam putaran dunia
menegak menjelajah panggilan satria
ada selangkah yang belum tergapai nuju ksatria

sukasrana tak boleh terlihat
dan kemunculannya terhapus hunjam runcing
panah jumawa terpisah damai cinta

sukasrana
masa silam

menemanimu dalam membuka pintu
oleh ketukan terakhir pada nafasmu

Jakarta, 2008



Dedaun Yang Akan Terbakar

di ruang ini
mesin mesin menggeletar mencuri sunyi dan menggantikannya dengan riuh gemuruh
meniti rute yang telah disediakan oleh cuaca
sambung menyambung seperti membariskan kampung
yang mengirimkan tampias tanya di ringkih jendela

jalanan dan pipa pipa menarikan gerak aroma tembakau dengan irama musim panen
wajah berselimut kibaran asap tersembur
dari bibir yang galau mengeja samar
hunjaman waktu
tiada letih
tiada jemu
tlah dibuang segala keluh
di lembah yang jauh

meski ada yang menyelinap
seperti bayangan kucing yang lewat
sesak pengap
atau semacam perangkap yang menyimpan jawab
meski begitu lambat keong merayap

Cirebon, 2008


Kejap Lesat

ah waktu mengapa kau bergegas terburu
menyerobot kuntum puisi berembun
yang lagi kukunyah, belum juga sebait
tidak bisakah sejenak bersama
kita mengurai riwayat rasa
di kedalaman lubuk lubuk lengang
lepaskan segala hitungan dan angka angka
lukis sepenggal sejarah
tentang makna yang kian terbenam
di alunan gersang peradaban

ah waktu mengapa kau bergegas terburu
seperti dikejar kejar seribu hantu
yang menjelma sosok tuhan
sedang gores gores luka masih basah
mengucurkan ratap di anyaman malam
bentang layar yang memendam letih

ah waktu mengapa kau bergegas terburu
masih menghampar duri tanya meruncing
di lantai dinding dan langit kamar percakapan
menunggu rapat jawaban yang suka sembunyi
di sebalik dedaun redup perjalanan

ah waktu
kau kaku!

Jakarta, 2008


Malam Tanpa Sapa

senja membimbing patung patung itu
kembali ke alamnya sendiri
tanpa merdu lagu dan simponi syahdu

setelah berkelana jauh diajak terbang angin
bersua wajah wajah berdebu
kian didekati kian menjauh
kian diamati kian asing

terbirit menuju samar
mengais sisa purnama
yang dulu bersarang di pucuk kelapa

waktu gagap menatap warna
tak ada beda di tiap ruas
lepas genggam jejak cerita

keliaran kelam menyimpan bayang
sapa kawan lama
menyergap mendadak asing

gamang menyeruak menyerang
menerjang dengan senjata garang
kelam menempel rapat di serpih ruang

meraba raba relief langit
mencari tali cakrawala
yang tergerai di bilah doa

segala ucap terendap di letihnya
semua teriak terkurung di kamarnya
tak ada celah seberangkan kata

malam begitu batu

Bekasi, 2008


Pahatkan Waktu Pada Pencarian

kepakkan segenap tarianmu
kecup segala pucuk gelombang
di antara bayang perdu wajah merindang
desau angin berebutan
pada celah kisah yang masih saja merayapi
ceruk desa panjang kota
yang menyimpan kumparan kumparan cahaya

ragu yang bertingkat tingkat
muram yang berpangkat pangkat
desingan permintaan dan dinding kesanggupan
tawar menawar dalam degup gemetar lirih nyanyian

malam adalah selimut tebal yang penuh rayuan, juga
tirai yang terpasang di gerbang perpindahan usia
siapa siapa yang cerdik memainkan kitab rahasia

suara musim meringkas segala sadarku
sejarah perburuan usahlah usai

Bekasi, 2008



Di Sini Kucari Atlas Kenangan

mendung membuat langit miring dan limbung
aku ikut terhuyung mengingat ada yang tak tertampung
dari sebuah gaung igauan yang memanggil kursi taman
juga pepohonan bercabang rendah yang begitu mengerti
sediakan tubuhnya buat teduhkan kata kata yang nyeri

hujan yang tersimpan di pojok pojok kota
kadang begitu beringas memprotes cuaca dan suasana
memainkan lagu yang sarat improvisasi nada
engkau dan aku tertegun di semenanjung jeda
pintu pintu membentur di hidung dan kening kita

ada kalanya mesti diletakkan
keranjang penuh muatan di punggung zaman

kupanggil puisi puisimu yang kelebat bercuap di depan kaca
terus saja bersuara tanpa menolehku
berjingkat akan kutangkapi untai elok kata itu
namun ia begitu lihai menghindar
lalu bersekutu dengan tarianmu
bersama mulut angin menekuni tengkukku
mengirimkan gigil yang meluruhkan hijab mimpi
rontaku mengalir di bawah tawanya
yang memecahkan bentang dinding kamar, tawar

jarum jam merayu gedung gedung tinggi berbaring
melemaskan otot otot setelah bekerja seharian
kepenatan yang mengisi pembuluh peradaban
juga endapkan debu debu yang tadi beterbangan
tiang tiang lampu jalan saling pagut berpelukan
mengisi ruang ruang kemuraman
yang saling berkelindan menafsir beku percakapan
suara gamelan yang semakin lirih dan rintih
belum sempat kita perbincangkan dan terjemahkan

ada kalanya nyeri ditahan
simpan di balik jeruji kesah dan teriakan

ketika pucuk malam mulai melelapkan gang dan jalanan
masih saja kausimpan misteri keindahan tak tergantikan

Semarang, 2008


Di Sarang Urban

di sarang urban
kata kata tiarap
sembunyi takut ada razia
keluar bila ada teman
aroma senja
kelam malam
temaram bulan
girang bintang
meliuk dalam jinaknya

di sarang urban
percakapan kian diam
tak mudah untuk mendapat jeda
nyaman masa disekap gaduh
mesin bernyanyi
beton menari
sepi terusik
asing terpetik
nurani terisak menyesak

di sarang urban
waktu melesat kilat
tak sempat mengangkut jerit
panggilan yang datang terlambat
rintih ratap
kelam musim
pekat mimpi
tatap duri
guratan jawab menguap

Jakarta, 2008


Kerajinan Jiwa

karena hujan memanggilmu pulang
ada atap yang bocor serambut
meneteskan elegi di sebuah kamar di rumah kenangan
diiring badai kata kata menyodorkan kecamuk
menghunus hiruk pikuk
terburu segera menemu peluk
puisi yang lama tersimpan di lambaian pantai
memerah jingga diperam senja
ada yang mesti diurai lagi
lalu dirajut kembali
juga diberi sulaman warna yang lebih berani
karena percakapan dengan hening kedalaman
memberikan titik runcing cahaya
dan sayapnya mengepakkan damai
ke dalam setiap rindu yang tercipta

Jakarta, 2008




by : Arie MP Tamba

Sajak-sajak Bernando J. Sujibto

Puisi Puisi Bernando J. Sujibto
Koran Tempo Jakarta | Minggu, 15 Mar 2009




Katedral Batu 1

sebuah kitab di tanganku
menuliskan salju baris putih
kepingannya akan pecah
di kotamu
sebagai hujan
yang mengetuk

dan pintu-pintu akan terbuka....

(2008-2009)


Katedral Batu 2

1/
tersepuhlah tuah
bagi masa silamnya
yang hilang
yang mengingatnya
luka-luka akan gemeretap
tiap dinding tergurat
sepanjang ruas baca
musim-musim payau
luruh ke geraian

ingatakan!
yang retak tak kan terberai
demi selembar daun
yang tumbuh dari akarnya
akar-akar yang menyulamnya
menjadi tembaga senja
di lembaran doa

ia akan menyapamu
selekas kedipan petir
yang telah merubuhkannya

2/
setiap mengingatnya
aku akan meniupkan pasir
dari sesap keminyan ke wajahmu
hingga bersekutulah waktu
menjadi sumbu
getar yang biru

biarlah tumbuh
untuk rubuh
bangunkan mereka
di atas tatal yang beda


(2008)


Nokturna Hujan
Atawa Batu Ajaib?
-(sms dari Cak Rushdie Anwar)-

”dalam hujan
kurasakan tuhan begitu dingin
dan menyurukku menggigil”

”dalam hujan
tak ada yang kepanasan
saat tubuh mereka terbakar”

”dalam hujan
lahir batu
menjadi riuh yang aneh
bagi kota dan orang-orangnya”

”ada yang menusuk ke dalam ingatanku. Menyaksikan mereka kembali kepada sunyi muasal dan keminyan yang terkubur di sebuah pusara menghantarkan mereka tersilap dalam kepingan senja yang tembaga. Di sana tubuh mereka telah menjadi rel kereta bagi perburuan yang hilang, bagi pencarian yang tenggelam”

”dalam hujan kini aku beku
dalam batu kini mereka menggigil”

(2009)


Jalan Sungai
ke payakumbuh

setiap ujung daun
selalu mengucur air
seperti kesetiaan sungai
kepada setiap jalan di sini
sungai untuk semua, bisikmu
menerbangkan mimpi ke awan
mengembalikan hujan ke tanah
dan
mereka pun lahir
dari jantung tanjung
dari kelokan maninjau
dari tepian sungai-sungai
menjadi kilap batu di langit
menjadi tuah pusaka semesta
dari bukit
langit begitu dekat
merapat ke segenap sudut
jalan-jalan seperti berlepasan
menuju tubuh yang siap dilahirkan
menuliskan seribu peta keberangkatan
matahari dari balik kedipan siap bersambut
merajam sangsai sungai di laut, kisah masalalu ditenggelamkan
aku datang seperti sepasang insan bertemu dalam pelukan tuan
leluhur kata-kata yang telah merajut pelangi dari semua musim
merangkumnya di sini, di jalan sungai yang terus mengucur air


Ihwal Serpihan Musim

hujan

ia mendiamkan ombak di lorong mataku
menuju tujuh lapis kepada satu langit
kelak ia akan menjejak di pipimu
menjadi peta anak-anakku

kemarau

ke tepi bukit, ke sawah bawah sana
petani menaksir buah simalakama

kabut

engkau lebih awal menghapus ingatan
adalah bayang-bayang di balik hujan

jejak

yang dihapus akan acap datang
lantaran angin menyeka beranda


(2008)




Setelah dari Rumah Atas Bukit
Kepada Bang Raudal Tanjung Banua

jika ke pesisir selatan, terbayanglah ombak
menjahit langit dengan tungkai bukit taratak
ada kuda yang berkelebat di balik saga senja
“tabik bagi orang-orang rantau!” kata mereka

dari atas bukit itu, si koto, mengurai kisah
jarak pandang antara laut dan beranda rumah
tergerai pelangi, bersambut warna-warna sisik
ikan di langit, sketsa kapal-kapal perantauan
yang tak pernah bisa ditambatkan

laut, di sini, lebih setia menyimpannya
sebagai rahasia yang tak tersebut namanya

di ujung april sebelum ke payakumbuh
kelahiran itu kutemukan seperti selendang subuh
mengakrabi daun yang uratnya kini menjadi pohon
dan di tengah pagi ia akan pecah menjadi awan
terbanglah ke semua sudut langit, yang begitu dekat
dari atas bukit bekas rumah dan rehat kisah kesah

dan, jalan ke bukit itu setiap hari berubah
sukma tertusuk duri hingga berkali-kali
seperti tak sanggup melayat kembali

setelah dari rumah atas bukit itu
jarak bukit dan laut begitu dekat

jika orang memanggul rotan, ia
pasti baru saja berlayar di laut
jika mereka membakar ikan, ia
pasti baru saja berburu di bukit

(Padang, April 2008)

by : Arie MP Tamba

Sajak-Sajak Tia Setiadi

Puisi Puisi Tia Setiadi
Jurnal Nasional, Jakarta | Minggu, 22 Mar 2009



JEMBATAN BAMBU KE ARAH HATIMU


i
Jembatan bambu ke arah hatimu,
air kali dibawahnya, mengilau.
Ada wajah langit disitu,
juga wajahmu
wajahku
memecah menyatu
memecah menyatu
dalam riak dan arus yang khusuk.


ii
Seruntun lagu
terulur
dari ufuk
kalb.

terulur
dari ufuk
murung.

terulur
dari ufuk
jauh

terulur…




iii
Hanya kelopak-kelopak bunga baobab
yang tahu kenapa tiba-tiba mataku sembab.


iv
Tapi burung-burung rengganis
kerap singgah dan berhinggapan
di dahan-dahan albasiyah
menggusah gundah
bersiul tentang hidup
yang nikmat dan khidmat
nikmat dan khidmat
bagai senyumanmu.


v
Mendadak buah-buah campedak berjatuhan
suaranya berdeburan, berdebaran seperti mimpiku.


vi
Aku ingin menjadi tupai
yang lincah berloncatan
di gerai-gerai rambutmu
yang hitam bergelombang
bersibakan kerna angin.

Lalu istirah
di kebun anggrek yang bergerumbul
dan semerbak dikeningmu
sembari mengeja harapan
yang berbaris geulis di lengkung alismu

atau terbaring saja
di bulu-bulu halus leher kencanamu
yang gemetaran.


vii
Sepasang bukit
yang padat melancip
adalah keindahan lain lagi
mendakinya mesti dengan kesabaran.
Dan kelak, ‘pabila sampai ditikungan itu
akan kupanjati ramping pohon pinang
dari atasnya bakal nampak tamasya:
parit kecil yang ditepi-tepinya
merimbun semak dan rumpun
gelagah dan perdu

Hm, bolehkah aku mandi disitu?


viii
Seseorang memetik kecapi
setelah melepas capingnya
awan-awan datang lalu hilang
cahya lembayung hibar dikejauhan
ilalang bergoyangan:

Ah! Ah! Ah!

Berapakah jarak
antara bimbang
dan harapan?
antara mimpi
dan kehadiran?

antara kau antara ku?



ix
Nanti, ke dangau ini
bakal ada yang datang
menjemputku.
Barangkali gairah
atau
mungkin maut.
Tapi
di dinding kayu itu
telah kupahat nama
dan lekuk bibirmu
biar kekal
seperti kesepian.


x
Sebab sudah saatnya
aku takjub
pada setandan pisang
yang kuning mengkilap
seperti emas.

Sudah saatnya
aku takjub
pada unggas-unggas
yang girang berenang
di luas telaga.


Sudah saatnya
aku takjub
pada tangan
yang melambai-lambai
sederhana.

Sudah saatnya
aku takluk.


xi
Jembatan bambu ke arah hatimu
akan kusebrangi walau
akankah sampai kesana
akhirnya?
Aku tak tahu.
Aku tak tahu.



: yogya, 2005-२००९



by : Arie MP Tamba

Sajak-Sajak Gus tf

Sajak-Sajak Gus टफ

Koran Tempo, 29 Maret 2009

LUBUK KABUT

Gus tf

kaukatakan engkau mampu, memangkas rimbun kabut

di matamu. Cuaca berubah-ubah tak menentu. Segala

bisa tumbuh atau ranggas di dadamu. Segala bisa

hijau atau kemarau di ladangmu. Diam-diam

diam-diam, kukenali ia, sang kabut, yang saban waktu

datang menjumput. Kulihat engkau, entah kapan, riang

menyambut. Seperti tubuh di dasar malam menggigil

butuh selimut. Selimut kabut? Ah, kaukatakan

kaukatakan engkau mampu, melepas jubah kabut dari

tubuhmu. Cuaca berubah-ubah tak menentu. Gerimis

di lain ladang bisa jadi hujan di dadamu. Panas hari

ini bisa jadi kemarau di lain waktu. Diam-diam

diam-diam, kukenali ia, sang kabut, yang saban waktu

datang menjumput. Kulihat engkau, entah kapan, lekas

tengadah. Meninggikan pundak, menaikkan wajah

seperti kubah. Kubah kabut? Ah, kaukatakan

kaukatakan aku mampu, menggantang kabut dari lubukku.

Surabaya, 2006

PETANI

Jika kautanya mauku kini, kujawab: jadi petani. Membalik,

menggembur, mencangkul tanah dalam diri. Kata-kata sudah usai,

rindu dendam telah lerai. Tinggal kini umur, yang ingin kulumur

dengan hijau sayur. Anakku bilang, “Klorofil, Papi. Serat yang

kaya zat antiradang, antioksidan, dan antibakteri.” Hmm,

anakku suka aku jadi petani. Apa lagi? Di kekendoran urat,

sering kurasakan geliat ulat. Di kedalaman daging, acap kudengar

dengkuran cacing. Maka urat-urat harus dibikin liat. Dan daging,

kukira, harus sedikit lebih hening. “Jangan cuma tanam bayam,

Papi, tapi juga alfalfa, brokoli, selada, dan seledri.” Hmm,

anakku kenal banyak jenis sayur. Namun, tahukah ia sayur

yang paling sayur? Sayur yang kumau, anakku, yang bikin doyan

primata dalam diriku, yang bikin tenang serigala dalam lolongku.

“Dan, asam folat, Papi, sangat dibutuhkan buat mencegah cacat

pada susunan syaraf pusat.” Eh, cacat? Hmm, tahu apa

anakku tentang cacat? Dan, asam folat, zat apa pulakah itu

asam folat? Anakku, agaknya, memang lebih tahu ketimbang aku.

“Selain cacat, asam folat juga menekan risiko kanker, mencegah

anemia, penyakit kardiovaskuler. Dan, yang juga penting, Papi,

klorofil membantu fungsi hati. Ha, hati? Cukup, cukup,

kukira, memang, tak penting bagiku yang lain--kecuali hati.

Payakumbuh, 2007

HASRAT

Tubuhmu ditumbuhi ilalang, usia menyibak dan memanjang.

Matamu mencangkul malam, gundah gemilat menolak padam.

Kenanganmu jeruk melisut, lebat pertemuan menyemaki sahut.

Himbaumu sesal tertahan, sayup samar suara menunggu kapan.

Lenganmu menjulur belum, peluk bergelayutan menahan cium.

Igaumu debar meronta, bibir berdenyut ke ujung gemigil kata.

Langkahmu merahang batu, jejak tertumpu tempurung ragu.

Ingatanmu naik gerincing, silam merinding di buluh daging.

Lepas. Lepas saja. Hasratmu lepas hanya bila dahaga.

Yogyakarta, 2007

EMPAT SEJARAH ORDE LUPA

1

Kami orang-orang alpa, berkali-kali lupa, di mana kami berada. Kami juga tak tahu ada benda bernama peta dan tempat tinggal kami bisa dikenali dengan semacam tanda. Tentu kami punya nama, tentu juga punya bahasa, tetapi Anda tahu, nama atau bahasa, kini, satu sama lain cenderung serupa, dan cara mengejanya kadang mirip belaka. Apa yang Anda andalkan bila Anda tak punya cukup ingatan?

2

“Belajarlah membuat catatan,” kaubilang. Tetapi kami juga telah tak paham cara mencatat. Seorang dari kami pernah mencatat, tapi yang ia catat hanya tempat-tempat, alamat-alamat, yang ia salin dari sampul sejumlah surat. Surat yang, Anda tahu, hampir seluruhnya salah alamat. Dan jika pun ada yang benar, selalu kami tak yakin, dan buru-buru berpikir jangan-jangan surat kesasar. Apa yang bisa Anda andalkan, bila Anda, pada kenyataan, tak lagi punya keyakinan?

3

“Soal keyakinan,” kaubilang, “mari kukatakan: justru itu bukanlah soal. Keyakinan tak tumbuh dari kenyataan.” Lalu kau bawa pikiran kami ke gua-gua, undur, surut kembali ke liang-liang purba. Saat kami bilang, Kelam, cepat engkau menukas, Tak semua yang kelam adalah malam. Saat kami bilang, Terang, cepat engkau menukas, Tak semua yang terang adalah siang. Saat kami bilang, Biru, cepat engkau menukas, Tak semua yang biru adalah langit. Tak semua yang kuning adalah kunyit. Tak semua yang warna adalah nama, bukan?

4

Baik. Kami paham kini. Soalnya cuma nama. Dan kami pun memberi nama-nama baru untuk segala yang alpa, segala yang lupa. Dan ya, Anda tahu, dari sinilah kami mulai mencatat, dan sebenarnya, mulai melihat. Betapa benda dan barang-barang lama, setelah dicatat, jadi tampak persis seperti yang kami lihat. Betapa masalah dan halhal lama, setelah betul-betul dilihat, kadang tak lagi perlu dicatat. Betapa kini, Anda bisa ingat, cukup hanya dari cara melihat? Alangkah ganjil, juga sederhana, sejarah lupa menjadi ada. Sejarah yang, beratus-ratus tahun kemudian, seperti hari ini, cucu-cucu kami kembali alpa, kembali lupa.

Payakumbuh, 2007

Gus tf lahir 13 Agustus 1965 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku puisinya adalah Sangkar Daging (1997) dan Daging Akar (2005).

Sajak-Sajak Endang Supriadi

Puisi Endang Supriadi

Jurnal Nasional, Minggu 29 Maret 2009




AKU SATU DI ANTARA

berlapis-lapis kata bertumpuk
di meja seminar. berlapis-lapis kabut
menumpuk jadi kalimat di benak
para penyair. berlapis-lapis kalut
membalut di hati para pemabuk

akulah satu diantara pemabuk itu, tuhan
mabuk oleh rasa asing ini, mabuk oleh
peradaban bumi, mabuk oleh moleknya
luka, mabuk oleh anyir belerang kawah
mabuk oleh waktu yang berpohon empedu

berlapis-lapis angin merangsek
ke dalam kamar. berlapis-lapis ingin
mendesak batin. berlapis-lapis angan
berpegangan di kerongkongan jalan
berlapis-lapis tepis, gagal membatas deras

akulah satu diantara yang engkau beri gigil itu
meringkuk di dalam kalimat pucat
kata-kata tak tuntas selesaikan makna
dingin ini terus membekukan sendi-sendi
pikiran, aku terhuyung di negeri bualan!


Lembang, November 2008



KALUT YANG BERKABUT

jalan meliuk seperti rambutmu yang
diporak angin. garis lidah lahar
mengurai tebing ke titik paling dalam
itu kabut menyerupai kalut hatimu
yang memar oleh lilitan akar soal

engkau lempar rasa pedih ke dasar kawah
siapa peduli dirimu jadi kabut di gunung ini
sebab setiap kaki punya langkah sendiri
setiap hati punya rumah pribadi

batu cadas yang kaududuki
tak lebih sebagai tonggak peradaban
yang rapuh. ia akan surut oleh waktu
seperti kita yang menganggungkan kata
sebentar saja dibuat jadi si perkasa

si lelaki tua itu berharap dirimu jadi kupu-kupu
di kamarnya. membawa pulang sepotong hatinya
yang patah di tikungan jalan. ia meminta kau
melekatkan kembali patahan hatinya itu dengan
liur kerindungannya yang tak henti menetes
dan kau harus pasrah ketika tempat peraduan
jadi medan pertempuran!


G.T. Parahu, November 2008


SEORANG PENARI YANG BERNYANYI

di sini, laskar dingin menguasaimu
namun letupan api di matamu tak terjangkau
oleh gigilnya. kau menari di atas lapisan kabut
mengurai kehangatan ke pucuk-pucuk cemara

lelaki adalah seekor buaya berlidah mawar,
katamu. tumbuh dari selangkangan bumi
dia tak sadar sudah kalah sebelum fajar
dan jadi undur-undur dibalik punggungnya sendiri

di sini, purnama hanya sekeping kancing
di kerah baju. jarang keluar dari peradabannya
namun seribu matahari telah engkau gantungkan
disudut-sudut malam, di rimbun kegelapan

kau bernyanyi dan tertawa
menangis dalam dahaga. lalu kau berteriak,
“kalian kenal aku? aku adalah sebuah kegelapan
yang kalian ciptakan di setiap malam!”

Lembang, November 2008


GADIS LEMBANG

bernyanyilah irene bagi kegundahan pagi
dimana bunyi gelas yang beradu telah
membuat kian jauhnya angin ke dingin

bernyanyilah irene sebelum meja peradaban
digerakan oleh otak yang liar, dicabik-cabik
oleh keheningan gerimis yang menenun sunyi
jadi gelang-gelang sepi

leher ini telah dililit oleh rasa jenuh yang
amat dahsyat. kabut telah merangkai lembar
kegelapan sampai ke tiang iman
jiwa lebam dalam kelam

embun tak jadi api, namun kilaunya
telah menyileti rasa gugup ini. penyair
bukan penyihir, irene. ia tercipta dari kata-kata
jika kau suka, kata-katanya akan jadi legenda
jika kau tak suka, kata-katanya akan cepat binasa

bernyanyilah irene bagi kegundahan hati
bebukit tak lekang oleh kabut, tapi sirip embun
telah memasang sayap dinginnya diseluruh tubuhku

bernyanyilah irene, agar udara yang keluar dari
napasmu dapat menghangatkan seluruh isi
peradaban ini. aku; orang pertama yang akan
menguak kabut bagi kegelapan langkahmu.

Lembang, November 2008



DI BALIK CADAS

dibalik cadas kau simpan kelembutan. namun
lelaki yang menanam mawar di tangkai melati
tak tahu kalau hatimu ikut tergores. angin sejuk,
bersisik belerang. kau tetap tersenyum tatkala
hujan menanam kembang paku di kakimu

lembang telah mengalunkan tembang kerinduan
pohon-pohon cemara luruh di setiap pagi
tapi bukan engkau irene. bukan engkau

engkau adalah segumpal kapas yang terapung
di ujung mendung. dan lelaki itulah yang telah
jadi lumut disela batu kali yang terbelah. ia kalah
tatkala engkau mengelak di saat ia hendak menapak

baiklah irene. jakarta takkan kubawa ke dalam
pikiranmu. biarlah kota itu hanya akan jadi bayang-bayang
di kolam, atau menjelma seekor kunang-kunang
yang melintas di malam-malammu. bukan sebuah kota
yang harus kaupercayai seperti kasih ibu

aku akan berkata bahwa jakarta,
sebentar akan jadi pacuan kuda. dimana para
penunggangnya akan berpacu dengan polusi dan polisi
dan semuanya akan jerah dan kalah.

Lembang, Nopember 2008


ANAK ANAK YANG BERJARAK

anak-anak yang berjarak dengan asap
perlu tahu dimana rumah bunga, juga
taman bermain yang kerap menjelma
busa sabun mandi di dalam mimpinya
bukan dibawa ke sarang api atau ke
rumah debu bagi kebutuhan hidupnya

anak-anak adalah pemilik keindahan
keceriaan dan gelak tawa. anak-anak
yang berjarak dengan batu, wajar masuk
ke dalam wilayah pelangi. bukan berada
di simpang jalan, menghitung panjang
trotoar, dan berlama-lama jadi sapi perah
dijalanan

anak-anak adalah sumber energi sehat
roda yang menggerakan kaki kita
ia kelewang bagi kejenuhan. mereka
pion yang seharusnya ada dibelakang kita
sebagai pendorong semangat. mereka
bukan tameng bagi kelemahan kita
mereka adalah air di dalam api kita

anak-anak yang berjarak dengan pengalaman
dunianya adalah bermain. bukan pengumpul
kulit kacang, bukan pula pelebar sesak jalan
mereka adalah pencipta simfoni hidup kita
tembang-tembang indah saat kita lelah.


Citayam, November २००८


by : Arie MP Tamba