Selasa, 27 Januari 2009

Sajak-sajak Triyanto Triwikromo

Sajak-sajak Triyanto Triwikromo
Kompas, Minggu, 25 Januari 2009 | 01:37 WIB

Tiga Kisah Pertempuran Kumbakarna

1

aku ingin tidur tanpa selimut anggur tanpa kipas dayang tanpa kelambu wangi, Paman Prahasta. Kumbakarna, raksasa lembut itu, seperti sedang mengelus-elus bulu-bulu harum sayap kuda sembrani. Gerimis bunga kenanga, hujan cahaya, dan denting gamelan Lokananta menyusup pelan-pelan ke seluruh telinga rakyat Alengka. Aku akan pulang ke Panglebur Gangsa, Paman, aku akan bertapa memasuki gua suwung tanpa cericit burung tanpa genderang perang yang ditabuh para hantu. Ia, pertapa yang menjelma gunung mendengkur itu, kemudian memasuki keajaiban hijau malam, terbang menembus kelopak- kelopak langit dan akhirnya mengigau tentang pintu surga yang tidak pernah terbuka tentang dewa dewi yang tak pernah berhenti memetik harpa. Jika saatnya tiba, Paman, jika Alengka telah terbakar dan segala ingatan tentang keindahan kepak kelelawar hangus, bangunkan aku dari rahim mimpi yang asing dan teduh. Akan kulawan Ramawijaya meskipun...

2

kau tahu panah sakti seteru Rahwana itu memang memenggal leherku, Wibisana. Kau juga tahu Laksamana melumpuhkan tangan, kaki, dan keberanianku. Tetapi mengertilah, aku tak bertempur untuk istana dan keindahan gua pertapaanku. Aku hanya ingin Alengka tak lampus dan kematianku menjadi rahasia kekalahan siapa pun menghadapi keraguan. Kumbakarna lalu pamit mati kepada angin dan semua kuda jantan. Ia berharap tak ada lagi yang bertikai untuk sesuatu yang hampa untuk sesuatu yang tak layak dipertengkarkan. Bukankah kematian kera-kera itu akhirnya tak membuat Rama percaya pada kesucian Sinta? Bukankah...

3

kematianku tak membuat surga membuka pintu untuk pertobatan seekor raksasa, Indrajit. Kematianku hanya melahirkan arwah harum yang mengendarai ular jantan. Bersama tujuh bidadari dan sepasang genderuwa kembar, turunlah dari kereta kencana perangmu. Tak ada gunanya kau membunuh kera-kera itu. Tak ada gunanya kau membunuh Rama yang telah kalah sebelum kaulesatkan panah api pertamamu. Tapi tetap saja Indrajit berangkat berperang dan binasa. Tetap saja Rahwana murka dan binasa. Tetap saja aku tak bisa menghentikan pertempuran melawan kegelapan yang sia-sia.

2008

Kwatrin Kali Mati Kunti

akhirnya setelah ia lahir kembali sebagai sungai, setelah tak lagi mendengarkan dentang tombak dan perisai beradu, setelah dada-dada para petarung Kurawa terbelah dan tak terembus anyir darah, ia—kekasih para dewa itu—menjulurkan hikayat tentang Basukarna, lelaki rupawan yang diabaikan oleh Pandawa.

"Akulah yang kaudengar telah melahirkan lelaki perkasa serupa Arjuna dari telingaku yang tuli. Akulah yang menghanyutkan bayi kemilau itu di sungai penuh tinja hanya agar rakyat menganggapku sebagai perempuan kencana, suci dari amis dosa, sunyi dari gunjingan busuk para dayang dan mambang istana."

ia tahu kusir istana yang sedang memandikan kuda kelak akan mengajari putra dewa itu mengasah pedang, membuncahkan amarah kepada musuh, dan karena itu ia kenakan anting-anting bergambar matahari di telinganya. Kau tahu, di hiasan emas 24 karat itu, terukir kebanggaan ibu pada ksatria yang berseteru dengan Arjuna, putra surga.

"Aku menangis saat ia mulai meludahi wajah Arjuna. Aku pingsan saat mereka mulai menghunus pedang. O betapa Duryudana telah memberi zirah indah untuknya. Betapa mahkota Awangga telah membuat putra yang tak kulahirkan dari gua garba itu tak mengerti debu-debu akan segera mengembuskan maklumat keajalannya."

ia paham akhirnya kedua ksatria memang kemudian bertempur. Karna membela Kurawa dan Arjuna berperang demi kejayaan Pandawa. Ia pingsan saat Krepa bilang, "Jangan berperang Anak Lanang. Tak perlu berseteru antara sepasang rembulan. Tak perlu saling menghajar antara sepasang cinta di kegelapan."

tapi Nyanyian Tuhan tak menyusup ke telinga putra Pandawa

panah Arjuna memenggal kepala Karna

tawa Kresna menggelegak

dalam didih darah Kurusetra

"Aku tidak tahu apa yang segera akan kulakukan waktu itu. Yang jelas, aku menyesal mengapa tak menyusui Karna di keharuman taman. Aku menyesal karena tak mengajaknya bermain-main gundu, meminta Durna mengajari memanah kijang, dan sesekali membujuk dia mencium kekasih pujaan di antara hening gong dan sunyi gamelan."

dan kini setelah segalanya mengabur dan menjelma sungai, darah yang mengalir sampai jauh, ia, Kunti yang sedih itu, tak pernah merasa punya laut. "Tentu saja aku juga tak akan pernah menatap surga atau apa pun yang menyerupai ketenteraman. Tentu saja aku hanya memandang hutan terbakar sepanjang zaman dan nanah busuk selalu mengucur dari akar."

ia tak bisa kembali menjadi tanah asal segala cinta dan doa getir

"ya aku hanya bisa mengenang pernah menjadi mata air."

ia tak bisa kembali menjadi hujan yang menghentikan perseteruan terakhir

"ya aku hanya bisa melupakan keindahan tanpa amis senja dan cakrawala anyir."

"ia menghilang ke telinga Karna," kata kabut

"ia menjelma busur Arjuna," kata batu

"ia menjadi tangis Kresna," kata maut

"ia sudah muksa, melesap dalam kematian anak cucu Pandu," kata debu

"Ya, mengertilah, anakku, akulah sungai gelap

yang tak hendak mengalir ke laut yang gelap. Akulah kisah gelap

yang tak hendak mencari alur yang juga gelap. Aku hanyalah ibu yang ragu melahirkanmu dalam kemilau cahaya bulan."

ia hanya bulan

berlumur lumpur

ia hanya lumpur

dalam hening kuburan

"Aku hanyalah firman yang salah

Aku hanyalah nubuat busuk

yang abai pada kutuk

dan sengat sejarah."

"tidak, bunda, kau tetap saja panah butaku," kata Arjuna.

"kau tetap saja api amarahku," kata Karna

"kau tetap saja tipu muslihatku," kata Kresna

"kau tetap saja...."

"Debu najis

asal muasal perseteruan

Akhir amis

siasat bengis peperangan."

ia gong tanpa bunyi

gerak tanpa tari

ia lorong tanpa tepi

doa tanpa arti

"Aku gong tanpa bunyi

gerak tanpa tari

Aku lorong tanpa tepi

doa tanpa arti."

maka sungai mati hanya berhikayat tentang sungai mati

tak ada denting kecapi

tak ada lenguh sapi. Tak ada kanak-kanak berteriak, "Ibu, Ibu, lahirkan kami kembali sebagai dewa dewi..."

ia, sungai dan semesta tanpa telinga, itu menangis

ia tahu tak mungkin melahirkan lagi Karna dari batu atau ganggang

ia tak mungkin mengulang kenangan yang telah terbuang

ia hanya bisa mengutuk kealpaan

maka sungai mati hanya berhikayat tentang sungai mati

tak ada denting kecapi

dalam zirah pertempuran abadi Kunti. Dalam gong terakhir

sebelum Mati

2008

Triyanto Triwikromo, selain menulis puisi, banyak menganggit cerita pendek. Ia bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suara Merdeka dan mengajar penulisan kreatif di Universitas Diponegoro, Semarang.

Sajak-sajak Mujibur Rohman

SUARA PEMBARUAN DAILY, minggu, 25 jan 2009

Sajak-sajak Mujibur Rohman

Di Batas Sungai

di batas sungai

orang-orang melarung

tubuhku. meleburkan

mimpi dalam riak air

orang-orang mengangkut dosa

dan doa yang serupa gelombang

di laut juga segalanya bermuara

segala yang sunyi

hiduplah dalam tubuhku

sebab aku adalah lumut

bagi ikan-ikan kecil

kelak,

pada purnama

yang entah

ke berapa

mungkin

aku kembali manusia.

Jogja, 2008

*

Hujan Pertama

a-

hujan,

malaikat turun bersama rintik

pertamanya

mengantarkan pesan bagi

pucuk-pucuk daun

dan tanah basah

di taman itu

hujan mempertemukan kita

lalu bersama hujan kita menari

dengan separuh tubuh

yang mulai meleleh

b-

rinduku pun mulai mengapung

sebab mencintaimu adalah

kemalangan yang lain

seperti air hujan itu

engkau terlampau dingin

untuk kusentuh

namun, terlampau sulit pula

mengembalikan semua

pada langit

aku tak pernah menyadari

telah memilihmu

seperti juga tak pernah tahu

kapan hujan pertama turun

musim ini

Jogja, 2008

*

Jarak ke Pemakaman

berapakah jarak rumah

ke pemakaman

november,

basah oleh aroma bunga

langit menjadi sepenuhnya

bayang-bayang

sepanjang jalan, tanah dan batu-batu

diam dalam kesunyian mereka

tak ada jejak kaki para pengiring

yang tertinggal

hanya para pengusung keranda

hanya pengusung keranda

berapa lama lagi kutempuh

ini perjalanan

hidup, hanya sepenggal kisah

selebihnya menelusuri

sendiri jalan sunyi

Jogja, 2008

*

Sebab Aku Mencintaimu

di antara sunyi yang kusadap

dari patahan waktu

adakah satu jendela terbuka

hingga padam jejakku dari langit

sebab aku penyair,

mencintaimu adalah puisi

merangkai bait dan kata

dari liuk tubuhmu

karena aku mencintaimu

debar ini serasa lain

antara gigil dan gemas

mabuk oleh rindu

yang kau ciptakan

Salatiga, 2008


Last modified: 23/1/09

Kamis, 22 Januari 2009

Sesal

mata yang menelanjangimu
menguliti lidahmu
menghempaskannya jauh ke tengah laut
perasaan yang tenggelam
menyeret kehinaan yang hitam
melukai irama kelahiran
memetakan noktahnoktah
menanduskan penyamaran
berselimut hujan
dikabut taubat dan doa

Jakarta, 23 Januari 2009

Menyesal

membelanjakan hati dengan darah dagingmu
menggairahkamu pada kesemuan
sisa sepi yang mengikatikat kedua tanganmu
menerbitkan kenangan
menguapkan anganangan tersisa
air mata yang banjir
menghanyutkanmu
tenggelam di bawah telapak kaki ibu

jakarta 23 januari 2009

Rabu, 21 Januari 2009

Sajak-sajak Mardi Luhung

Sajak-sajak Mardi Luhung
Kompas,Minggu, 28 Desember 2008 | 01:14 WIB


Seperti Adam yang Bersepeda

Seperti Adam yang bersepeda, aku juga bersepeda di pantai. Sepeda besar, ban besar dengan tuter yang berat dan gembung. Yang jika dipukul bergaung dan menembusi setiap yang telah dan akan dilalui. Membukai arah-arah yang baru. Seperti sepeda Adam, sepedaku juga berwarna ungu. Dan setiap terkayuh, jejak bannya menggoresi pasir. Membentuk selang-seling yang dalam. Yang kelak akan dibaca sebagai awal huruf. Huruf di dalam setiap lekukan lidah. Dan seperti Adam yang turun dari sepedanya, aku juga turun dari sepedaku. Menghampiri tepi pantai. Memasang umpan. Lalu melemparkan mata pancing. Seloroh gertak akaran dan karang: Apa yang ingin kau pancing? Jawabku, sama seperti jawaban Adam: Aku ingin memancing Eden. Memang, setelah pengusiran dulu, Eden terus ditenggelamkan di pantai. Dedasaran menyimpannya di suatu ceruk. Yang kata kabar dari entah: Akan menyembul jika dipancing. Dipancing tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut. Tapi anehnya, waktu tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut itu, juga seperti ditenggelamkan. Lenyap dalam keabadian. Jadinya, meski dipancing, Eden tetap tak menyembul. Pantai tetap tenang. Penuh rahasia. Hanya degup sendiri yang terdengar. Dan keluhku, sama seperti keluh Adam: Jika memang tak bisa dipancing agar menyembul, maka aku akan meminta langsung. Ya, aku, seperti cara Adam, pun meminta dengan mendongak ke langit. Mencari-Nya. Mengintai-Nya. Tapi, adakah Dia melintas dan sedikit mengerling? Akh, seperti Adam yang kembali bersepeda, aku juga kini kembali bersepeda di pantai. Bersepeda sambil mendongak. Sesekali mengayuh. Sesekali memukul tuter. Dan sesekali mencari: Di mana Dia melintas, menyeret Eden. Dan di mana juga Dia mengerling, mengembalikan yang terusir?
(Gresik, 2008)


Sumur Merah

belajar dari al falaq

Sumurku telah menjadi merah. Sebab telah kau racuni dan kau lukai. Di dasarnya kau letakkan anak kunci. Agar aku tak dapat membuka pintu kamarku. Dan tidur di dalam kedinginan luar yang memar. Dari kerahasiaan yang tak aku ketahui, kau pun mengirimkan tulahmu. Seperti debu, tulah itu menelusup lewat jalusi. Dan seperti udara, menyembul lewat lubang-lubang. Dan aku melihat tulahmu bekerja dengan mata gasalnya. Memotongi malam dan menyeretnya seperti ternak. Ternak yang kau tawarkan di pasar-pasar. Sambil berbisik: “Di dalam kerahasiaan, tak ada yang tahu, jika kejahatan dapat aku tiup dengan sempurna.” Lalu aku yang tak jahat ini apa melawanmu? Dadaku memang telah penuh bisik-bisik. Agar menengadah dan bangkit seperti pohon-pohon yang menghadang. Tapi, sekali lagi, aku tak akan melawanmu. Aku hanya berlindung sambil memanjangkan rambut. Lihatlah rambutku yang keemasan. Dan lihatlah juga bagaimana rambutku teranyam, membuat bulatan liat untukku. Bulatan benderang yang begitu tak tertembus. Dan lewat bulatan benderang itu aku akan leluasa melampaui kerahasiaan kejahatanmu. Dan aku pun yakin, sumurku yang telah menjadi merah itu tentu akan kembali bening. Dan kamarku yang terkunci, tentu akan terbuka dengan sendirinya. Aku memang akan bernyanyi, dan kau akan kecewa berat. Dan aku menari, kau terus memotongi malam dan menawarkannya. Berapa keping emas yang kau dapat? Berapa kerahasiaan kejahatan lagi yang kau kirimkan? Berapa dan berapa? Lihatlah lagi: Aku yang bersujud di puncak pagi. Dan dari puncak pagi itu, bulatan benderangku terus melayari jagat. Seperti pelayaran kerahasiaan lain yang bukan kerahasiaan kejahatanmu. Tapi kerahasiaan yang sederhana. Dan lewat kerahasiaan yang sederhana itu, kau akan tahu, jika aku memang bukan apa- apa. Aku hanyalah si yang biasa-biasa. Yang sesekali berkata: “Kegentaranku yang utama, adalah kegentaranku sendiri.” Dan aku pun merasa, semuanya jadi demikian enteng…
(Gresik, 2008)


Zahrotul

langgam blambangan

Peri belia yang menunggang daun menyusuri Kalisetail. Mencari kekasihnya yang katanya dikirim lewat kereta Rogojampi. Kereta yang juga mengirim nyali para penyabung. Yang telah memasang taji di keningnya. Agar dapat menempur para penyeleweng di lereng Kumitir. Para penyeleweng yang kerap memotong sabuk tanggul. Sampai arus kedung menghilang ke Alas Purwa. Dan, ya, Kang Mas, Kang Mas... begitu harapan peri belia. Seperti harapan belalang di lubang gembok-gerbang-kampung Sempusari. Belalang yang punya sungut melengkung. Dan warna sesamar hantu Pakis bulan yang keenam. Hantu Pakis yang menangis lewat kelok jurang Mrawan. Tangisan yang membuat semua yang tampak jadi menyurut. Untuk kemudian melepuh. Dan melepuhi tiap genting. Juga tiap genting yang dimiliki orang-orang Using yang tak asing itu. Tapi, adakah, adakah kekasih peri belia itu akan segera tersua? Sayangnya tidak. Dan sayangnya juga, peri belia yang menunggang daun itu cuma bisa terus menyusuri Kalisetail. Dan di sepanjang susurannya (mulai dari Glenmore sampai ujung Kalipahit) peri belia pun cuma mendapat gelap. Dan di dalam gelap itu, ada yang terdengar sedang menyamak Gandrung. Ada yang terdengar sedang mendengung. Dan ada juga yang dengan diam-diam menjulurkan lengannya. Seperti juluran lengan milik sang Menak Blambangan. Lengan yang persis di otot pusatnya terselip sekepal saga yang tampak begitu menjantung. Tampak begitu ingin meronta. Meronta di dalam kelebat harapan yang tak akan pernah sempat terjamah. Lihatlah, kereta Rogojampi pun lewat sudah!
(Gresik, 2008)


Ular-Tangga

merah-mudanya lan fang

Kau pergi ke bulan. Dengan gairah dan bualan yang pernah mengawetkan jalur sulur air matamu. Sebab di inangmu, kau telah bosan menunggu dia. Dia yang akan turun dengan langkah-langkahnya yang berjingkat. Berjingkat dengan seluruh kegemetaran di rahangnya. Yang akan mengunyah tiap inci tubuhmu. Kunyahan yang selalu kembali dimuntahkannya kecil-kecil. Untuk kemudian dibentuknya lagi. Ketika pagi tiba. Dan ketika encikmu, si penghafal Yasin itu, menceritakan hidupnya: Hidup yang ingin jadi pengiman. Sebab tak ingin sekedar berdagang beras dan kelontong kiloan. Tapi runtukmu: “Mengapa, mengapa dia cuma mau mengunyahku. Mengapa tidak sekalian melahapnya?” Dan matamu yang sipit seakan terjepit itu pun terus saja mengarah ke langit. Mengarah ke setiap titik angkasa. Titik yang begitu lenggang. Seperti lenggangnya gaun satin Kwan Im. Saat dijadikan pembungkus potongan dua belah lengannya sendiri. Ketika dipinta si raja. Sebagai obat penawar (yang akan dikeringkan dan ditumbuk) bagi sebuah pagebluk yang telah digariskan oleh siasat. Oleh semacam permainan ular-tangga yang berhasrat menjungkirkan isyarat mandala istana. Tapi ketika bulan sudah tampak, mengapa tiba-tiba gairahmu buyar? Buyar menjadi biji-biji warna yang berlesatan. Membuat angkasa benderang. Benderang seperti sirip bianglala yang terbuka. Oh, di antara bukaan-bukaannya itu, kau pun lagi-lagi kembali cuma mendengar suara encikmu, si penghafal Yasin itu. Si penghafal tentang hari akhir dan perkaliannya. Serta sebuah penghalang, yang seandainya dipasang, tentu akan membuatmu tak akan bisa ke atas dan ke bawah. Diam di tempat. Seperti diamnya sebentang papan ular-tangga yang tergeletak. Ditinggalkan teka-teki kejelian dan keraguan dadunya!
(Gresik, 2008)


Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur.
Salah satu buku puisinya berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Ia bermukim di kota kelahirannya.

Sajak-sajak Idrus F Shihab

Kompas, Minggu 4 Januari 2009 | 02:04 WIB

Sajak-sajak Idrus F Shihab

Sampan
Seperti sampan hancur di dalam dada
buih-buih ombak
uban-uban di kepala
di bawah sikuku,
kursi goyang buaian masa silam
Nina bobok, nina bobok...
sepasang kaki, sepuluh jemari
harpa dan tarian kematian
Nina bobok, nina bobok...
sampan karam perlahan
Ke dasar lahatku



Idrus F Shihab
Perjalanan
Dua mata,
basah di dasar kolam
Dari rindu,
Lilin tua menetes ke dalam hati
hangat sampai ke sumsum
Sampai di mana kita berjalan?



Rindu
Kudengar rebanamu di detak jantung
angin-angin berekor kuda panjang
datang dari pulau-pulau perantau di selatan
Sepuluh jariku bernyanyi
satu lagu seriuh pasar malam
dengan judul namamu
Aku rindu


Idrus F Shihab tinggal di Jakarta. Ia bekerja sebagai jurnalis.
Putu Fajar Arcana lahir di Kota Negara, Bali. Sajak-sajaknya termuat antara lain dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Kembang Rampai Puisi Bali (1997).

Sampan

Seperti sampan hancur di dalam dada
buih-buih ombak
uban-uban di kepala
di bawah sikuku,
kursi goyang buaian masa silam
Nina bobok, nina bobok...
sepasang kaki, sepuluh jemari
harpa dan tarian kematian
Nina bobok, nina bobok...
sampan karam perlahan
Ke dasar lahatku



Perjalanan

Dua mata,
basah di dasar kolam
Dari rindu,
Lilin tua menetes ke dalam hati
hangat sampai ke sumsum
Sampai di mana kita berjalan?


Rindu

Kudengar rebanamu di detak jantung
angin-angin berekor kuda panjang
datang dari pulau-pulau perantau di selatan
Sepuluh jariku bernyanyi
satu lagu seriuh pasar malam
dengan judul namamu
Aku rindu


Idrus F Shihab tinggal di Jakarta. Ia bekerja sebagai jurnalis.
Putu Fajar Arcana lahir di Kota Negara, Bali. Sajak-sajaknya termuat antara lain dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Kembang Rampai Puisi Bali (1997).
Sajak-sajak Putu Fajar Arcana
Kompas,Minggu, 4 Januari 2009 | 02:04 WIB


Uma

Pohon yang kau pahat di dinding luluh dalam kabut.
Seorang jejaka atau gembala tua
yang menahanmu di tepi hutan cemara.
Angin tak jua berkabar tentang risau langit senja. Dan para dewa
mengintipmu dari celah dedaunan. Mungkin mereka sangsi
tentang petaka
tentang kutuk yang kau derita.
Kau tahu air susu lembu itu, hanya tipu
gerutu pilu seorang pangeran kahyangan.
Tapi cemar telah ditebar. Pantang menjilat sabda
yang bagai kilat menyambar, menghanguskan pucuk daun.
Jadi pergi, pergilah sejauh hutan.
Seorang malaikat muda menunggumu
di balik rimbun cahaya. Dan jika mukaku terbakar
karena api dalam darahmu, sebaiknya tak usah kembali.
Sebab surga tak seperti diceritakan dalam kitab.
Penuh kutuk dan sabda keji para pangeran tua.
Uma, pohon yang kau pahat di dinding leleh dalam terik.
Seorang dewa atau gembala tua yang mengutukmu.
Pasrahkan pada angin agar senja memerah
dan mengantar mataharimu ke balik malam.
2008


Malaikat Bersayap

Di retak lenganmu burung-burung meruntuhkan bulunya.
Dan jam pasir mengucur menuju senja
yang baka.
Kaukah yang mengepakkan sayap, hingga relief
berguguran seperti serbuk waktu.
Dalam kelabu batubatu kisah dewadewi menjelma gulma
yang melilit lehermu.
Pada siapa kubertanya tentang wahyu yang terkubur di dasar lingga.
Kau yang mengirim senyap, biar kurengkuh dengan sayap
dan kutabur di celah yoni.
Sudah berapa lama kita alpa membaca penanggalan
hingga serbuk waktu membatu di pusaran gugusan candi.
Pada patahan tanganmu lumut-lumut tumbuh liar.
Dan jam pasir mengucur menuju malam
yang gusar.
Kaukah yang menjelma saat aku tengadah memandang langit.
Dan bintang-bintang berkedip tanda pertalian darahku dan darahmu.
2008


Candi Sukuh

Di depan seorang dewi aku ingat penggalan kepalamu
yang terguling di dasar lembah.
Sayap-sayapmu ringkih dikikis angin,
yang berabad-abad menyelinap ke bilik candi.
Siapa yang memutar waktu ke masa lalu. Siapa diriku dan dirimu,
kalau bukan seseorang yang meletakkan batubatu
untuk merengkuhmu dari balik kabut. Aku datang kepadamu
di sore yang hangat, aku datang dengan bunga dan hati sejernih sungai.
Dan jika bukan karena dirimu, aku tak tahu siapa diriku.
Tapi kau memenggal lehermu
saat aku bertanya tentang siapa dirimu.
Ah. Waktu begitu gulita, rapuh, dan sengsara. Menjeratku
dalam pusaran kehilangan demi kehilangan.
2008

Putu Fajar Arcana lahir di Kota Negara, Bali. Sajak-sajaknya termuat antara lain dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Kembang Rampai Puisi Bali (1997).

Sajak-sajak Beni Setia

Kompas, Minggu, 4 Januari 2009 | 02:04 WIB
Sajak-sajak Beni Setia


Dini Hari

bagai bangkai memendam larva
sebelum belatung muncul, bagai
daun-daun luruh dicumbu hujan
sebelum terurai humus ladang bambu
: setapak dalam kabut. merentang
jadi tiada di dekat kuburan. angin
menyapu cuat ranting meluruhkan
embun. satu-dua gemeritik dari pipi
“yang dari laut kembali ke lautan,”
kata burung hantu. cecurut terbirit
masuk liang tepi tebing bawah waru
jalan burai. rentang tangan mengorak jejak
1/12.2007


Kamis Petang

angin berkesiur lagi. bagai jutaan ibu
yang serentak bangkit dari kuburan
tsunami di aceh dan mencari anak mereka
sementara para suami jadi batu karang
kadang lumut di dermaga dan lumpur
yang terpercik ombak. mencari anak mereka
dan anak mereka? seperti setiap anak-anak
: naik ke langit. berjumpalitan di awan
dan tak hentinya mengejar-ngejar matahari. riang
—ditumbuhi sayap karena tak kenal duka dunia
23/5.2008


Ziarah

sekali waktu setapak dihapus rumput
dan disembunyikan semak-perdu. kau
terlunta-lunta. tak tahu harus bagaimana
burung-burung bercericit tajam, angin
meriapkan daun jambu, mengagetkan
kepompong yang mau jadi kupu-kupu
lalu suara ricik air dari kali itu
mengisyaratkan ada yang pergi
dan tak pernah kembali. seperti cintaku
23/5.2008

Beni Setia lahir di Soreang, Jawa Barat, 1 Januari 1954. Buku sajaknya antara lain adalah Harendong (1996). Kini ia tinggal di Caruban, Jawa Timur.

Selasa, 20 Januari 2009

Sajak-sajak Evi Idawati

Republika, Minggu, 16 November 2008 pukul 13:35:00
Sajak-sajak Evi Idawati

REDUM KARANG

Akar langit bergelantung di tubuh bumi
Memahat takdir dari lisan rerumputan
Terhampar awan bagi sujud dan keheningan
"Ceritakan padaku kisah bintang,
detak yang terpanggang
ruh bagi awan dan halilintar."

Bergetar sayap capung di rebah pepohonan
Engkau menyusui umbi yang tertanam
Daunnya menjalar berkeliaran
Merajai arah sambil menabuh tubuh
Aku berdendang merajam malam
"Jasad ini aku persembahkan bagi kesakitan
rekaman lara dan ketaklukan."

Tatah tubuhku dengan bibirmu, lelakiku
Jelajahi semesta yang aku bangun di rahimku
Aku mengendapkan matahari di sana
Menunggangi waktu
Engkau menggiring peluh
Menjelmakan embun
Merandai di dada
Merambat lambat menggenang
Di pusar denyut samuderaku
dari redum karang yang terendam

Yogyakarta, 2008


SAJADAH

telah aku terima sajadah
yang engkau kirimkan kepadaku, kekasihku
yang bertuliskan namamu
yang engkau titipkan lewat rabiah

dia berkata-kata padaku tentang dirimu
dan memberikan aku mangga yang ranum
dia juga menunjukkan karpet yang beragam padaku
tapi dia menggulung milikku dan menyerahkannya
pada seorang lelaki untuk membawanya pergi

"kamu lebih memerlukan sajadah
daripada karpet. bergegaslah.
bayarlah aku limaribu
kamu akan mendapatkan milikmu"

lalu lelaki itupun pergi membawa
gulungan karpet tanpa menoleh lagi padaku
padahal dia yang menyeret tanganku melintasi awan
membelah lautan dan menghadapkan aku padamu

telah aku terima ikrar
yang disebutkan rabiah padaku, kekasihku
dengan luapan cinta dan pemujaanku padamu
aku senantiasa menyapa langit dan semesta
menyerahkan diriku untuk mencintaimu
getar dan detak
tangis yang menggenangi pori-pori
limpahan rindu untuk dirimu

telah aku terima semua
yang dikatakan rabiah padaku, kekasihku
mutlak! maafkan, jika senantiasa
aku meminta ridho dan kasihmu

Jakarta, 2008


AKU MEMETIK NAMAMU DARI LANGIT

Bukan pada fajar aku menengadah
Dan menemukan namamu di langit
Lalu memetiknya
Dan meletakkannya di hatiku
Tapi waktu tengah malam kala semesta benderang
Dan awan mengirimkan isyarat dan tanda masa depan

Aku memetik namamu dari langit
Mengumpulkan bintang dan menaburkanya di matamu
Kerlip dan binarnya seperti arus
Yang menghanyutkan aku dalam beliungnya
Hamparkan hatimu untukku
Menjadi sajadah, mihrab dan nadiku
Jika sunyi masih mendekam

Dan aku menggapai sayap yang tertinggal
Aku sedang menjadi penjaga bagimu

Aku mengambil namamu dari langit
Membangun rasi bintang dan menimbunnya
Akan tiba saatnya sinarnya cemerlang
Melesat keatas dan berbinar
Kau tahu, aku mengukirnya
Dalam rintihan dan desah kata
Yang menjagaku senantiasa
Terbang dan mengepakkan sayapku
Menabur percik cahaya abadi di hatimu

ogyakarta, 2008



Evi Idawati lahir 9 Desember 1973. Belajar teater di ISI Yogyakarta, serta Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan. Sajak-sajaknya dipublikasikan di berbagai media massa pusat dan daerah, serta terkumpul dalam sejumlah buku antologi puisi. Selain menulis puisi dan cerpen, ia juga dikenal sebagai aktris teater dan sinetron.

Sajak-sajak Ulfatin Ch

Republika, Minggu, 23 November 2008 pukul 08:29:00
Sajak-sajak Ulfatin Ch

DARI HUJAN

Yang tersisa dari hujan
basah aroma tanah.
Yang menggelitik pada setiap dada
ketika angin mulai meliuk
tanpa doa

Dan siapa tergesa
mengurai dosa

2006


BERLAYAR KE LAUT

Berlayar ke laut
dan terus ke laut lebih jauh
lebih dalam dari yang kita bayangkan.
Kita semakin jauh
terbawa permainan gelombang
angin pun terus bersendau
melajukan perahu.
Menghantam karang
dihempas badai, mengaduh.

Tapi, kita mesti berlayar
mendayung menghalau angin
entah, mungkin sampai
entah kapan
hingga pantai

2006


LAUT YANG RETAK

Dan kita saksikan laut-laut yang retak
dan kau simpan dalam
Dan kita saksikan laut membadai
dan kau simpan dalam
Dan kita saksikan seribu camar
tergolek tanpa sayap
mengapung di atas laut.

Kau diam
Tapi, aku ingin terus berlayar
Tapi aku ingin tanpa menoleh
hingga sebelum matahari mengejarku
sampai aku hilang
mungkin di balik bukit
mungkin di ujung langit
mungkin

Dan kau

2006


DALAM BERLAYAR

Setelah laut
pasti kutemukan pantai.
Di tengah laut ada karang
biarkan. Seekor camar
dan ikan yang berlompatan
bagai menghalau resah
telah mendulang seribu mimpi.

Dan angin pun menghembus
dan awan pun berselimut
di wajah kita yang di sengat
matahari. Biarkan
jangan berhenti berlayar
dan kita simpan galau
Agar kehidupan berjalan
agar kedamaian tertanam
Dan lihatlah mata kanak-kanak kita
yang memancarkan kejora
menatap dunia

2006


JIKA MENATAP LAUT

Jika kau menatap laut
tataplah juga mata anakku
yang bersinar bagai matahari pagi.
Wajahnya yang polos
seolah mampu meraih purnama
tanpa menoleh.

Ia bidik bintang
yang ketika hujan menghilang
Ia raih bulan
yang ketika siang menjadi samar
Maka, ini kupersembahkan sungai
yang mengalir
dari bukit Tursina hingga malam
dan doa
yang kulantunkan
buat anakku

2006


Ulfatin Ch lahir di Pati, Jawa Tengah, l966. Ia adalah alumnus IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (l987). Sajak-sajaknya dipublikasikan di berbagai media massa pusat dan daerah, serta didokumentasikan dalam sejumlah antologi puisi. Kini tinggal di Sleman, Yogyakarta.
(-)

Sajak-sajak Ramayani Rian

Republika, Minggu, 30 November 2008 pukul 09:15:00
Sajak-sajak Ramayani Rian

BAYANGMU MEMANJANG

aku hanya bisa menikmati anyaman
titik cat pada kanvas. terpadu makna
yang kau tabur dengan beribu cerita
kenangan yang kau kisahkan

kau ayunkan jarimu dengan tarian warna
dan percikan cat menyinar pada cakrawala
kau tuliskan peristiwa perjalanan
tentang perburuan tak berpeta
menanam makna pada gerak masa

kini bayangmu memanjang dalam gerimis
di luar jendela kamarku
langit menghitam dan udara mengirim sakit
menceritakan sisa kenangan dan keriangan
mengumpulkan angan-angan yang menganyam
segala kesedihan

aku masih merasa kita duduk di kafe ini
menikmati cerita panjang dan mengundangmu
dengan menu pilihan
ikan asin, sambal terasi dan union ring

kini, hanya doa yang bisa kupuisikan
dengan syair-syair ketenangan
: Tuhan menerimamu dengan hati mawar

Jambi, 2004


PESAN AIR SUSU IBU

telah terbiasa sudah
pesan air susumu mendarah daging
pada setiap langkahku

aku akan selalu mencoba dan belajar
untuk menjadi diri yang sempurna
berjalan pada rel kehidupan
dengan bimbingan kebenaran dalam kejujuran

tersenyum dalam hidup
dan mendapat dengan keringat
menjaga diri
dari kemanusiaan yang mencemaskan

Jambi, 2003
KALAU SAJA

Kalau saja aku bisa melukis
mungkin saja telah kulukis wajahmu
kalau saja aku bisa memesan nyawa
kan pesan nyawa panjang untukmu

Kalau sempat aku mengasuhmu
kan kujadikan kau manusia
kalau sempat aku mengantarmu
kan kubawa kau melintasi lima benua

Kalau sampai waktuku menunggumu
kan kupersiapkan negeri yang indah
dan kukawinkan engkau
dengan kesetiaan nurani

Muara Tebo, 2008


WANGI CINTA

aku mencium wangi cinta di sini
pada pohon-pohon karet yang berbaris
menengadah dalam senyum pagi

geraian daunnya adalah puisi
membawa rindu keluarga yang menanti

aku mencium wangi cinta di sini
dalam ketulusan senyum petani

Jambi, 2008


Ramayani Rian lahir di Jambi pada 25 Agustus 1978. Menyelesaikan SI Sastra Inggris pada FKIP Universitas Jambi, menjadi guru SMA di Kabupaten Tebo, dan kini tugas belajar pada pasca-sarjana Universitas Negeri Padang (UNP). Sajak-sajaknya dipublikasikan di berbagai media sastra dan terkumpul dalam buku antalogi puisi 142 Penyair Menuju Bulan, Jalan Bersama Pejabat Penyair dan Tanah Pilihan. Buku kumpulan sajaknya yang telah terbit adalah Sebungkus Kenangan(2008).
(-)

Sajak-sajak Badruddin Emce

Republika, Minggu, 07 Desember 2008 pukul 08:36:00
Sajak-sajak Badruddin Emce

RUMAH ORANG TUA
: Raudal Tanjung Banua

Adakah masa kanakku
masih di tangan mereka?

Di ruang tengah rumah mereka
duka gembira tak dibuat-buat
tak perlu menjadi terang.

Coba lempar pandang ke luar!
Kebun samping mereka
telah kutanami tanaman semestinya.

Tetapi kepada rumput, kata hati
yang keprucut, mereka bisa maklum.
Setengahnya bahkan kagum.

Kawan, jika engkau bertamu
ke rumah pinggir jalan besar itu
hingga kemalaman
ada tersedia dekat ruang tamu, sebuah kamar
bagi yang ingin lepas yang sulit dilepas!

Maka engkau akan lebih merindukan mereka
dari pada merindukanku.
Dan mereka akan sering tanyakan kabarmu
kepadaku.

Cemburu aku!

Kroya, 2008

TEMAN ABADI

Sore itu, menjelang maghrib
demamku naik lagi.
Adakah udara sekitar turut mendidih?
Di dahan rambutan depan rumah
beberapa ekor burung jempalitan
seperti mendamba sesuatu
yang menyegarkan
Lalu aku mengigau!

Tentu kebahagiaan tersendiri
jika kata-kata penuh birahi ini
bagimu menyemangati
Dan kau tak halangi ini jadi abadi

Kroya, 2008


JERAMI

Bara kembali menjadi api. Dan marak setumpuk jerami yang disiram kesedihan murni. Mungkin kau juga turut menyiram jerami-jerami itu dengan kebasahan sempurna yang disukai api.

Anak-anak yang tertangkap usai mengambil yang ia sukai dan memamerkannya pada yang merasa mempunyai. Usai menjual beberapa butir yang ia tak pernah kenal rasa dan baunya, kini entah di mana. Mungkin tengah meringkuk dalam kandungan. Menghisap puting doa dan lamunan istrimu.

Bengkak matanya, tetapi tak kapok mentertawai semua yang kebingungan mencarinya, mencarinya untuk melepas kembali ke jalanan yang sama. Tetapi kita memang suka direpotkan.

Jalan-jalan sore hanya untuk berpapasan kembali dengan anak berwajah tak pernah dilahirkan itu, penasaran sekali lagi sebelum sempat mendandani sebagai manusia sejati.

Kroya, 2007


Badruddin Emce, lahir di Kroya, 5 Juli 1962. Ia adalah qlumnus Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto. Esai dan sajak-sajaknya sudah dimuat di beberapa media masa dan antologi bersama. Pernah mengikuti beberapa forum sastra seperti Forum Puisi Indonesia 87 di TIM-Jakarta, Festival Seni Surabaya 1996 dan Temu 18 Penyair Jawa Tengah 2006 di TBJT-Surakarta. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Binatang Suci Teluk Penyu (OLONGiA, Yogyakarta, 2007). Tinggal di Kroya, Cilacap.
(-)

Sajak-sajak Endang Supriadi

Republika, Minggu, 14 Desember 2008 pukul 13:39:00
Sajak-sajak Endang Supriadi

SURAT YANG BELUM SEMPAT
TERKIRIM BUAT IBU

Tak bosan kujelaskan lagi padamu, Ibu,
bahwa pikiran-pikiran kami seperti halaman koran hari ini
selalu bersambung ke halaman lain.
Tapi, sejak anak-anakmu tumbuh jadi benalu di rumah sendiri
engkau tak pernah lagi melihat matahari bertengger di atas kepala kami.
Kami sudah belajar dari buku, dari sejarah atau dari para musafir yang mati sia-sia.
Tapi kami merasa telah jadi kecoa dalam tabung.
Bagaimana kami bisa berkata-kata lagi
bila lidah kami terjepit pagar kemunafikan?

Di musim menangis ini,
engkau tak pernah memegang sapu tangan.
Benang kesabaran dan ketabahan telah menghapus airmatamu.
Tapi, katakan, Ibu, harus di mana kami tinggal.
Harus bagaimana kami berjalan.
Sejak kebebasan terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan, kami jadi lumpuh.
Di tubuh kami cuma ada darah dan mata yang masih bisa bergerak.
Entah di mana pikiran kami.
Orang-orang belajar menggali sumur dari dalam rumah sakit.
Satu keluarga atau mungkin sendirian menaiki tangga hari
dengan hati was-was dan gelisah
namun kami tetap menanam keyakinan bahwa air matamu
bisa memercikkan api semangat pada kami yang terkungkung.

Tak bosan kujelaskan lagi padamu Ibu,
bahwa kami sudah tak punya tempat untuk melukis wajahmu yang sejuk.
Kami sudah kehilangan ruang dan waktu untuk bicara.
Entah di mana kami terdampar.
Semua gelap dan kami tak bisa melihat.
Tengoklah, Ibu,
anak-anakmu kini tengah mengais-ngais kebenaran di jalan berdebu.


Jakarta, April 1998


BAU KEMATIAN

di sini, di dada yang segera busuk ini
tengah bermukim seribu kegaduhan dan pekik
kelelawar. juga suara kran air yang tak
dimatikan, bertumpuk-tumpuk di benak yang
paling dalam. dan pada diamku, ada sebuah
cermin yang kotor. seperti serbuk belerang
yang ditiup angin atau seperti kepak sayap burung
yang mengatup dan membuka di udara, begitu risih

aku sujud di balik malam, mengupas irama jengkrik
dan bau kematian. hutan yang tertidur telah
mencuri semangatku. tapi sebuah cahaya dari
seekor kunang-kunang yang terbang sendiri,
telah meneteskan gambar-gambar sebuah perjalanan
yang berujung pada sebuah telaga. aku ingin
bertanya pada keranda waktu: seperti apakah
kematian yang tak ditangisi oleh mayatnya sendiri?

di sini, di dada yang segera busuk ini
aku sedang menikmati proses peleburan diri
ke dalam suasana yang baru. dan engkau,
takkan percaya kalau aku tak mengundang bulan
atau matahari untuk menyaksikan ketiadaanku
tapi aku telah merasa bahwa kematian ini amatlah
berharga bagi para cacing, dan embun yang membungkus
diriku di dalam kubur.


Jakarta, 2000


Endang Supriadi menulis puisi dan cerpen secara otodidak sejak tahun 1983. Karya-karyanya dimuat di pelbagai media cetak pusat dan daerah, seperti Suara Karya, Republika, Media Indonesia, Nova, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Kompas, dan Jurnal Nasional. Sajak-sajaknya juga terkumpul dalam beberapa antologi sajak, seperti Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 2000), Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), dan Gelak Esai & Ombak Sajak(Kompas, 2001).
(-)

Sajak-sajak S Yoga


Jalan Bercecabang

bukankah ini jalan bercecabang

jalan para lelawar, ular dan srigala

jalan yang menampung hujan terakhir

sebelum pusaran laut menyedotnya

hingga sungai-sungai nampak sepi

yang tak seorang pun tahu arah tujuan

meski membawa peta dan arah mata angin

karena jalan hanya menunjukkan isyarat

para pendahulu yang rapuh oleh waktu

jejak hujan yang hilang oleh malam

jejak kemarau yang lenyap disapu banjir

tinggal tanda dan kenangan yang membekas

bagai totem purba di pohon tua

di jalan, gang dan dinding kota

yang kelam tak bercahaya serupa lorong gelap

yang dulu pernah ditemukan di puncak bukit

Situbondo, 2008

*

Telur

ia lebih lengkung dari alismatamu

tempat menyimpan rahasia di balik makna

lebih berwarna dari bianglala

yang menyimpan cahaya dari semesta

ia lebih putih dari gugusan sedih

yang menyelimputi rerumputan

lebih embun dari hujan airmata

bunga kamboja di kuburan

pedih ia melintasi sungai yang memanjang

sebelum terdampar di sebuah telaga

ia bukan biru seperti lautan menyimpan ombak

tempat duka burung-burung camar

ia lebih muda dari usia tangis bayi

saat dilahirkan dan mengenal warna dunia

ia lebih suka sendirian di dalam sepi

di dalam cangkang matahari

sebelum panasnya memecah kabut musim gugur

sebelum ia disebut api tempat samadi kaum lapar

sebelum hijau daun lebih hijau

dari riwayat kematian sang bunga

di mana kematian merupakan sekarat

yang nikmat

ketika berguguran ke bumi dihempas angin senja

lebih senja dari sayap burung mengibaskan waktu

lebih rindu dari batu yang tergelincir ke sungai

adalah dirimu yang tampak dalam diam

di mana kerinduan adalah waktu yang diuji duka

ia hanya sebuah telur yang tak mengenal lingkarannya

yang sepanjang hidupnya memandang kekosongan

Situbondo, 2008

*

Mercusuar

menjulang seolah pohon purba

di bawah tatapan sinar bulan

berdiri bagai malam tak beranjak

adakah ia akan mencari terang

sebelum semua tenggelam

terlihat punggungnya kelam gemintang

yang runcing menghadap langit

rupanya ia penasaran

tak pernah bisa meruntuhkan bintang

dengan doa dan mantra

yang ia pelajari dari isyarat bumi

ketika berguru pada seekor naga

di bawah lautan

hanya bayangan diri yang ia dapatkan

di kediaman batu dan lokan

yang membuatnya lebih bijak

ia tahan seribu birahi yang meracap

di dalam gelap

di antara gang dan lorong remang

isyarat air dan bara api

telah membuatnya lebih tabah

di antara angin dan badai

yang datang bagai kabut

yang siap menjadikannya tawanan hidup

akan kesunyian yang membekas di dinding usia

tempat dulu kapal-kapal diarahkan

ke laut luas ke jalan lapang

kini semua pejalan telah meninggalkan

sinar lampu kapal entah ke mana.

namun ia selalu menyimpan

semua rahasia para nelayan

Surabaya, 2008

Minggu, 18 Januari 2009

Sajak-sajak Dian Hartati

Dian Hartati

Lagu Maaf

untuk segala yang terlambat

kedatangan dan kepergian

segala yang menjalin kelindan

dalam diri

seteru diikat

maka datanglah padaku dengan cinta

harap yang begitu samar

sedang langkah

masih dipenjarakan angkuh rasa

datanglah padaku

tersebab segenggam rindu

masih saja menggelagak

mengaliri jiwa yang haus

menuai pelita

SudutBumi, Juli 2008

*

Firasat Waktu

akhirnya aku tahu

ada jarak dari sekian perjalanan panjang

dari lubuk ke lubuk

hilir yang melantakkan tubuh

ini hanyalah perjalanan air

yang terus mengambang kehilangan tenaga

berenang mencapai sesuatu yang tak kumengerti

sebagai ikan,

hanya kunantikan

arah datangnya cahaya

dari permukaan

SudutBumi, September 2008

*

Di Tubuhku yang Licin

berhentilah memandang kampung halaman

karena semua telah lanau berkat cuaca

kau lihat layanglayang itu

semakin meninggi di antara arakan gemawan

benang kecintaan yang kuat jauh terulur

karena cuaca telah mendedahkan sebuah ruang

di masingmasing hati tanpa batas

inilah tubuhku

yang tak pernah kau rasakan sebelumnya

licin seumpama belutbelut yang saling mengurai duka

membelit, menuntaskan setiap dahaga

yang lama tak terlunasi

menaburkan perih peristiwa

karena garam yang kau sebarkan

di sekujur tubuh adalah kenangan

SudutBumi, 2006

Matahari Jiwa

sedang gundah masih di hati

kau datang melantunkan sebuah kisah

cerita tentang malam dan bulan

perjalanan kunangkunang menuju kelam

bagiku malam adalah lengkung kesahajaan

pemilik waktu singgah bernama mimpi

bagiku bulan adalah cerita kanakkanak

penghantar tidur agar jiwa lelap

selalu cahaya menggenapkan kisah purnama

kau menjelma matahari bagi umbra sejati

menyelesaikan ritus kecintaan bintangbintang

menebar kedamaian di lipatan hari

sedang gundah masih di hati

kau datang bersenandung lagu rindu

membawa sepercik senyum di sungging bibir

memberi secercah harap di jiwa banal

mengantarkan warta

di senja yang takkan jadi sempurna

SudutBumi, 2006

*

Pakupatan

terminal ini menuntaskan semua

tentang kepulangan menuju tanah lahir

hujan siang tadi membawa cercah kelelahan

ada yang tibatiba duduk

setelah menyentuh pundak

ada yang tibatiba menanamkan muak di hati

semua ditingkah amarah

entahlah,

keremangan senja telah buktikan bias kasih

seseorang pergi abaikan hati

duduk di ruang tunggu

hanya gelisah menemani

mencermati kepergian dan kepulangan

menanti kedatangan

SudutBumi, 2006


Sajak Sajak S Yoga

Kompas Minggu, 18 Januari 2009 | 01:37 WIB

Sajak-sajak S Yoga



Acintyapada

pernah kumasuki gua tua

sumur kelam, candi purba

dan karang terjal menuju lorongmu

yang perawan dan asing dari dunia

tak kujumpa apa yang kucari selama ini

hanya kesunyian yang merobek hati

kusaksikan pula bayang-bayang berlarian berbalik arah

hilang dalam lobang kegelapan yang marak

Ngawi, 2008





Kepompong

di pohon johar yang istirah

di musim penghujan yang basah

aku tumbuh dari rasa sakit masa lalu

menyulam rumah berkabut

Purworejo, 2008





Daun Jati

sebuah senja telah dilafalkan hujan

dengan matahari yang muram

sebelum musnah ditelan malam

daun-daun jati berguguran

berserakan di antara akar mati

di hutan sepi

Ngawi, 2008





Pohon Kepuh

pohon yang menjulang

dengan keheningan yang lengang

di puncaknya angin menghempas

ada yang mengerang dan terlepas

Purworejo, 2008





Jejakmu

di pohon-pohon purba tepi jalan

kuikuti jejakmu hingga ilalang panjang

kulukis wajahmu pada pasir putih

yang hanyut dibawa gelombang

Situbondo, 2008





Rajungan

telah kusempurnakan kesunyian

pada laut lepas yang menanti

luka-luka telah kukuburkan

pada asin garam lautan

kini merayap di bawah lautan

tanpa cahaya dan matahari

hanya kuserap hidup dari pohon laut

sebelum pelayaran berakhir

Situbondo, 2008





Malam Berkaca pada Rembulan

malam berkaca pada rembulan

kesunyian kita di rawa-rawa

seruling kesedihan memanjang di tanjung

malam sempurna menjadi bayang-bayang

Ngawi, 2008





Wayang

hanya bayang-bayang

yang tersihir dari kesunyian

hanya gemerlap lampu malam hari

yang memuaskan kehampaan

Ngawi, 2008





S Yoga lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Buku puisinya adalah Patung Matahari (2006). Kini ia tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

Sajak Sajak Ook Nugroho

Sajak Sajak Ook Nugroho
Minggu, 18 Januari 2009 | 01:37 WIB




Hantu Kata



Lewat tengah malam—

Habis sudah waktu kalian!

Kini para hantu

Mengambil alih ruang tamu

Mendudukkan sundel bolong

Dan jerangkong gondrong

Pada kursi utama

Aku pun di sana

Sebab aku serupa mereka

Tak punya wajah

Pun tanpa silsilah

Lihat kakiku melayang

Tak membekaskan bayang

Pada waktu

Dan lelampu

Akulah hantu kata

Terlunta dari cuaca ke cuaca

Hanya jika

Bisa kutemu dekap

Dalam rengkuhan sajak

Hadirku yang sejenak

Bakal berjejak pada bumi

Maka, lewat tengah malam

Kutunggu kau di ruang tamu!

2008





Kadang-kadang Malam


Kadang-kadang malam

Terbikin dari gerimis

Dari hujan yang melukis

Bumi dengan genangan

Dan dalam setiap genangan

Seperti ada kesedihan

Seperti ada yang melambai—

Mungkin semacam rasa kehilangan

Yang menegas

Dalam bayangan lelampu

Di atas dasar kelam

Di mana malam tersusun

Kadang-kadang kau tahu

Kadang-kadang sekali

Aku ingin lenyap begitu saja

Ke dalam genangan

2008





Kisah Tidur


Mungkin ada pesan

Yang dibisikkan ranjang

Kepada tubuh

Sewaktu ia putuskan

Merebah

Mungkin tubuh

Sempat menyahut juga

Entah apa kepada ranjang

Sebelum telanjur

Lelap

Kini kamar sunyi

Gelap menyimpan

Pekat pesan-pesan itu

Pada yang rebah dan lelap

Waktu menitipkan kisahnya

2008





Rumah


Jika aku pergi

Sebagian diriku

Tertinggal di rumah

Tak bisa kubawa serta

Dan jika kumati

Sebagian kisahku

Tertahan padamu

Seperti menolak

Seakan bertahan

Dari bumi yang

Mau menariknya

Pulang pada tanah

Aku bertanya

Jika kelak kau mati

Kisahku yang fana

Ke mana berumah?

2008




Peminum Kopi


Untuk setiap puisi

Aku perlukan secangkir kopi, katanya

Campurkan gula secukupnya:

Puisi juga butuh semacam pemanis

Barangkali sebaiknya pada penghujung baris?

Menuangkan rasa:

Tuanglah selagi panas masih

Nanti meruap sangit aroma langit

Mengaduknya pelan saja:

Cermat lagi hati-hati

Sebelum menyeruputnya sedap

Aku selalu percaya, katanya

Dari balik pekat ampas waktunya

Bakal terbaca isyarat

Tapi, untuk setiap pertanda itu

Aku perlukan sesayat luka

2008





Kidung Mandi


: JP

Penyair itu mandi

Mandi seperti kita semua mandi

Di ambang pintu tubuhnya

Membayang peluh bumi

Dicopotnya baju

Yang sekadar tipu

Dihempasnya kucel tubuh

Yang lama ngangkangi ruh

Ia loloskan juga

Tulang-tulangnya miskin

Menggantungnya sembarang

Pada cantelan kenang

Lantas khusyuk ia sabuni

Mimpi yang dipenuhi daki

Cinta yang tambah meluntur

Umur yang sebentar tergusur

Penyair itu mandi

Mandi seperti saya mandi

Keluar dari pintu tubuhnya

Mewangi aroma malam

2008






Ook Nugroho lahir di Jakarta, 7 April 1960. Ia bermukim dan bekerja di Jakarta.

Kamis, 15 Januari 2009

Sajak-sajak AD Donggo

Suara Pembaruan, Minggu 23 Mei 2008
Sajak AD Donggo



Aku Tersentak

Aku tersentak ketika kau
Tiba-tiba bicara tentang tragedi
Tatkala bumi Indonesia
Yang sangat kita cintai ini
Sedang diliputi oleh berbagai
Tanda-tanda yang sulit diterka
Apakah tanah dan air sedang
Mematut diri sebagai bagian
Dari kemarahan alam atau
Isyarat lain yang belum bisa dipastikan
Juga karena kealpaan kita memahami
Arti berkah dan karunia Tuhan
Yang melimpah sejak pertama kali
Kita menapakkan kaki di sini
Di bumi yang dilimpahi segala ada dan
Segala yang memberikan makna hidup
Namun karena kita kurang
Memahami arti kelimpahan
Lalu dengan ketangkasan
Tangan yang tak tertandingkan
Yang dibarengi deraan rasa
Ingin memiliki segala yang ada
Baik yang terjangkau maupun yang
Tak terjangkau kita rebahkan
Menjadi puing-puing kecil
Yang menggambarkan sebuah kehancuran
Yang tak bisa didandangi lagi
Sebagai kehijauan yang meneduhkan
Sanubari alam dan sanubari
Yang menyadari bahwa badai
Sudah berada di tapak paling
Dekat dalam arti kerisauan namun
Hati kita menyadari bahwa keakanan
Tak pernah lepas dari harapan
Sampai akhir dari semua perjalanan
*


Kau Memang Pemuda Don Quixote

Kau memang pemuja Don Quixote
Yang kau anggap sebagai pahlawan
Namun terasing di negeri kau sendiri
Sedang aku pemuja para kalah yang
Tak menderaikan air mata setetes pun
Atau menadahkan tangan minta belaskasihan
Pada para tuan yang bertahta di sebelah lain bumi
Antara Don Quixote dengan para kalah
Tentu terbentang jarak yang tak tertempuh
Dalam membangun harga diri para kalah
Yang tak pernah takluk betapapun didera
Perut yang lapar atau keterbatasan yang
menghunjam.
Aku akui kau dengan Don Quixotemu
Adalah pemenang yang membangga diri
Dalam membangun butir-butir indah
Atas kehidupan di antara deraian air mata
Para miskin. Namun kau berteriak persetan
Dengan para miskin, aku adalah aku pemuja
Don Quixote yang membimbing aku
Dalam melayari dan menikmati kehidupan
Yang kuperoleh dengan merendah dan menadahkan tangan
Inilah aku, teriakmu dengan bangga tanpa peduli
*


Mari Kita Berteduh

Mari kita berteduh di sini, ajakmu
Dalam naungan dan tayangan harapan
Yang selalu bersama kita tatkala
Menata-ulang ketidakpastian yang
Selalu saja menghadang namun
Kita adalah dua kekuatan yang
Selalu berada di tapak paling
Depan dalam menaklukkan segala
Ketidakpastian yang selalu mengatakan
Diri sebagai pemenang
Kau mengingatkan aku tekad kita terpadu
Dalam satu barisan menyatakan
keberadaan kita
Adalah keberadaan sebagai generasi yang
Tak akan melupa bahwa pergantian generasi
Dengan generasi adalah sabda alam
Yang menyadarkan kau dan aku
Dalam posisi mana kita berada
Apakah dalam posisi yang memberi
Arah yang tepat tidak terbelah oleh
Ketidakpedulian yang membawa kita
Ke medan lain yang tak kita kenal
Catatlah kau menantang aku
Ini bukan kerisauan tapi demikianlah
Yang dapat kita lakukan hari ini
Dalam membangun kembali medan-medan
Baru dalam suasana tidak terburai oleh
Tata nilai yang membawa kita saling tak
Sadar akan kelemahan masing-masing

Senin, 12 Januari 2009

Melukiskan Hujan

Melukiskan hujan

bermain hujan di wajahmu
Kumainkan kuas dan sapukan perlahan

Melukiskan rintiknya pada helaihelai rambut di kepala
Kutiup-tiupkan angin lembut di ubun-ubun

Waktu yang samar berkabut
Sabar menumbuhkan hatimu
membersitkan amanah Yasin
menyenandungkan doa dan tahajud malam



13 Januari 2009

Sajak-sajak Rukmi Wisnu Wardani

Repbulika, Minggu, 21 Desember 2008 pukul 09:26:00

Sajak-sajak Rukmi Wisnu Wardani

PUCUK ILALANG

walau angin tak henti mengoyak tulang
walau rimis menggenang di desah malam
untukMu, sekuntum bunga telah kupersiapkan

kalaupun tiba hari keputusan itu datang
izinkan kutuntas perjamuan
laksana nyanyian tafakur burung
di pucuk ilalang

November 2008


WAJAH SENGKETA

seperti kau saksikan,
kawasan hijau nenek moyang
kini berstatus sengketa

pasar malam diam-diam digelar
di tanah kuburan. jual beli pengetahuan
tawar menawar nilai kehormatan
adobsi sampai aborsi janin keluhuran
nampaknya sudah jadi hal biasa
jika dijadikan kudapan atau barang muntahan

bila semua mengaku teman saudara seiman
lantas mengapa lapak topeng dan belati laris
berjualan di pintu gerbang?

sesekali ada baiknya
melakukan seppuku di muka cermin
agar dapat memandang dan memeriksa
bahkan menyunat rupa kemaluan yang ada

daripada berbondong-bondong
(keliaran di tanah kuburan)
sambil membandrol harga diri
sesuai selera yang diagungkan

daripada meneriakkan nama-nama Tuhan
sementara barisan kurung batang
menyaksikan sambil cekikikan

September 2007


PEDANG BERLUBANG

ketika ditanya apa yang di butuhkan?
maka di katakannya: pedang

ketika di tanya
berapa banyak yang di butuhkan?
maka di katakannya: delapan

kembali ditanya, mengapa
begitu sulit melukis kata-kata pedang?

pedang berlubang menjawab
19 hal masihlah berupa teori
tapi 20 yang sebenarnya
adalah ilmu yang paling sempurna

inilah sebab mengapa ilmu kaligrafi pedang
begitu sarat mengandung pasukan
(sesarat purba tafakur alam)

dan inilah sebab mengapa ilmu kaligrafi pedang
mampu melesat sesempurna kilau cahaya

2006-2008

Rukmi Wisnu Wardani, lahir di Jakarta, 29 Juli 1973. Sarjana Teknik Arsitektur Lansekap Universitas Trisakti ini mulai menulis puisi di milis penyair. Sajak-sajaknya kemudian dimuat di berbagai media cetak seperti Republika, Kompas, dan Media Indonesia, serta terkumpul dalam sejumlah buku antologi puisi.

Sepi

Sepi

Malam bergegas
Memacu kulitnya
Mengelupas air matanya
Mengkaingkan anjing di kejauhan

sosok-sosok yang menyelinap cepat
Membekap bebunyian serangga
Menekan-nekan gendang telinga
Memecahmecah berserak tanya
Menekuk-nekuk debur hati
di bawah gejolak api
dipadamkan beku embun
di kaki pucuk-pucuk teh Gunung Patuha

Rancabolang
Rancabolang
Kau telah menelanku
Menelanjangi kulitku
Mengunyah perlahan
Menenggelamkan gejolak gelisah kata-kata

Jakarta, 12 Januari 2009

Minggu, 11 Januari 2009

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono
Kompas, Minggu, 11 Januari 2009 | 01:21 WIB


Sonet 5

Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping

ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;

ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding

bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.

Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;

kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup

poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.

Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?

Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam

yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin

yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.

Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.

Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu

ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.



Sonet 6

Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi

mengkristal lalu berhamburan dari sebatang pohon ranggas.

Sampai suara tak terdengar berdebum lagi?

Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas

memohon diselamatkan dari haru biru

yang meragi dalam sumsummu; tak pantas lagi

menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu

agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini.

Sampai yang pernah bergerit di kasur

tak lagi menempel di langit-langit kepalaku?

Sampai kedua bola matamu kabur,

sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu.

Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang

dan tahu: api tubuhmu tinggal bayang-bayang.


Sonet 7

Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana

siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?

Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela

dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan

membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris

tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu

setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.

Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?

Ada jarak yang harus diremas sampai kerut

dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru

kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala terhalau:

yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,

yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas

kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.



Sonet 8

Di sudut itu selalu ada yang seperti menunggu

kita. Mengapa ada yang selalu terasa hadir di sana?

Di situ konon kita dulu dilahirkan, kau tahu,

agar bisa melihat betapa luas batas antara nyata

dan maya. Dua dinding bertemu di sudut itu,

seperti yang sudah dijanjikan sejak purba

ketika sehabis peristiwa itu leluhur kita diburu-buru

dan sesat di rumah ini. Kau masih juga percaya

rupanya, tanpa menyiasati dinding-dinding itu?

Rumah baru terasa rumah kalau ada penyekat

antara sini dan Sana, membentuk sudut tempat kita bertemu

dan memandang lepas ruang luas, tanpa akhirat.

Mengapa terasa harus ada yang menunggu?

Agar tak mungkin ada yang bisa membebaskanmu.



Sonet 9

Kaubalik-balik buku itu selembar demi selembar

sore ini. Bukankah waktu itu masih pagi,

ketika kau mencatatnya? Aku pungut buku yang kaulempar

ke lantai, telungkup, tampak lusuh, sendiri.

Kenapa mesti ada sore hari? Pejamkan mata, bayangkan

beranda yang pernah membiarkan kita mengitari

pekarangan yang begitu luas, yang kemudian ternyata bukan

bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali.

Matahari masih hangat ketika aku mencatatnya

di buku yang sore ini telah menggodamu untuk mencari

gambar sebuah taman yang memancarkan aroma

secangkir teh hangat di pagi hari. Ya, bukankah masih pagi

ketika kau menggambarnya? Ya, mungkin karena waktu itu

masih pagi. Lekas, berikan buku itu kembali, padaku!



Sonet 10

Ada selembar kertas yang belum bertulisan.

Apakah kauharapkan aku ke mari seperti semula,

belum penuh dengan coretan?

Ada yang ingin menulis aksara demi aksara

dan tahu tak akan mencapai kalimat meski ada tanda seru

di ujungnya. Tidak semua memerlukan tulisan,

(Apakah aku kaubayangkan selembar kertas itu?)

meski sudah terlanjur tercatat sebelum sempat diucapkan.

Air menyeret catatan berkelok-kelok di sepanjang sungai

bila penghujan. Tetapi sama sekali tak terbaca

bahkan ketika sudah begitu rekah-rekah perangai

kemarau. Tinggal garis-garis yang carut-marut di dasarnya.

Kau mengharapkanku kembali seperti itu? Risaukah kita

ketika menyadari bahwa tulisan tak perlu, ternyata?



Sonet 11

Terima kasih, kartu pos bergambar yang kaukirim dari Yogya

sudah sampai kemarin. Tapi aku tak pernah mengirim apa pun,

kau tahu itu. Aku sedang kena macet, Jakarta seperti dulu juga

ketika suatu sore buru-buru kau kuantar ke stasiun.

Tapi aku tak sempat menulis apa pun akhir-akhir ini.

Aku suka membayangkan kau kubonceng sepeda sepanjang Lempuyangan

berhenti di warung bakso di seberang kampus yang sudah sepi.

Kau masih seperti dulu rupanya, menyayangiku? Bayangkan

kalau nanti kita ke sana lagi! Di kartu pos itu ada gambar jalan

berkelok, bermuara di sebuah taman tua tempat kita suka nyasar

melukiskan hutan, sawah, kebun buah, dan taman

yang ingin kita lewati: gelas yang tak pernah penuh. Hahaha, dasar!

Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,

residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu.



Sonet 12

Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca,

tak ada huruf kapital di awalnya. Yang tak kita ingat

aksara apa. Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada;

tanpa tanda petik, huruf demi huruf berderet rapat –

dan setiap kali terlepas, kita pun segera merasa gerah lagi

dihimpitnya. Tanpa pernah bisa membaca ulang dengan cermat

harus terus kita susun kalimat demi kalimat ini –

tanpa perlu merisaukan apakah semua nanti mampat

pada sebuah tanda tanya. Tapi, bukankah kita sudah mencari

jawaban, sudah tahu apa yang harus kita contreng

jika tersedia pilihan? Dan kemudian memulai lagi

merakit alinea demi alinea, menyusun sebuah dongeng?

Tapi bukankah tak ada huruf kapital ketika kita bicara?

Bukankah kisah cinta memang tak memerlukan tanda baca?



Sonet 13

Titik-titik hujan belum juga lepas dari tubir daun itu;

ditunggunya kita lewat. Kupandang ke atas:

sebutir jatuh di bulu matamu, yang lain meluncur di pelipismu.

Pohon itu kembali menatapmu, hanya selintas.

Diberkahinya tanganku yang ingin sekali mengusap basah

yang mendingin di wajahmu. Kau seperti ingin melakukan

sesuatu. Aku pun mendadak menghentikan langkah

sejenak – jangan tergesa, agar bisa kaubaca niat titik hujan.

Butir-butir hujan menderas dari sudut-sudut daun itu

tepat ketika kita lewat. Kupandang ke atas.

Pohon itu tak lagi menatapmu. Ada yang membasahi kerudungmu,

meluncur ke dua belah pundakmu. Dibiarkannya kita melintas.

Kita pun bergegas agar segera sampai ke ujung jalan

tanpa bicara. Tak lagi berniat menafsirkan titik hujan?

Sapardi Djoko Damono menulis puisi, cerita, dan esai. Buku puisinya yang akan segera terbit adalah Kolam di Pekarangan dan Syair Inul. ”Sonet 1” hingga ”Sonet 4” gubahannya pernah dimuat di lembaran ini.

Kamis, 08 Januari 2009

Berkelana

kuanyam hidupku seperti waktu yang sabar
mengumpulkan kepingan makna
membentuk puzle wajahMu

13 Januari 2009

Ketikan.

.......ketika kata.
.......ketika rupa

.......ketika baca
.......ketika makna
.......ketika lupa

.......ketika malu

.......ketika bisu
.......kaku di kakiMu

Sajak-sajak Jafar Fakhrurozi

Republika, Minggu, 04 Januari 2009 pukul 10:19:00

Sajak-sajak Jafar Fakhrurozi


PULANG KAMPUNG

aku selalu rindu kampung
rindu rumah dan sangkar walet
sepasang sahabat yang teduh
kami karib setiap kali hujan

aku selalu rindu sawah
rumah bagi segala gundah
anak-anak lumpur yang galau
menangis tersengat semut api

aku rindu irama malam
riang anak-anak mengaji di surau
anak-anak qur’an yang lugu
melantunkan nyanyian malam

ah, aku benar-benar rindu
memutar lagu-lagu itu

Am, 2008



ANTARA ISTIQLAL DAN KATEDRAL


antara istiqlal dan katedral
aku mematung di hitam kali ciliwung
melafalkan zikir atau nyanyi kemanusiaan
sebagaimana yang kudengar kala subuh
serta denting lonceng di ceruk pagi

dapatkah aku pahami
seumpama banjir menyapu kota tua ini
sekejap melenyapkan baris tangis di sini

begitulah, antara istiqlal dan katedral
aku senantiasa bermimpi
menjadi gerimis yang lembut
menyirami taman kelelahan zaman

Am, 2008

TAMAN SUROPATI

aku melamun di sini bersama dengkur merpati
memasuki halaman gedung berpagar langit
merebut senapan dari sangkur penjaga
menyelinap senyap ke kamar-kamar amarah
menyimpan bom di bawah ranjang obama
lalu meledaklah, binasalah segala luka dunia

di taman suropati ini aku telah berjanji
untuk membangun puing-puing mimpi
dari negeri yang dipapah tangan penjarah

Am, 2008


DI PUNCAK MONAS AKU INGIN TERJUN


berdiri tegak di puncak monas
aku seperti pangeran di punggung luka
menjaga mahkota emas yang cemas
maka dari puncak monas aku ingin terjun
ke dalam lautan tangis ciliwung
menyelami senyum gubuk-gubuk papa
yang dipajang indah di museum hujan
kita pun basah menakar nasib yang raib
di hutan kota metropolitan

di jari-jari ciliwung
anak-anak murung memulung puntung
tangan-tanggan yang berlimbah
tubuh-tubuh yang berselimut sampah
serta mata yang selalu terbelalak
selalu terjaga, barangkali maut luput
dalam lengah langkah kami

dari menara cemas ini
aku ingin meghitung setiap kelok jalan
melingkar-lingkar bagai ular yang lapar
melahap semua yang terlelap waktu
menabur racun di sekujur tubuh ibu
ibu dari segala kota yang terluka

kematian adalah mimpi paling nyata
dari abad yang kian entah
sedang aku menunggu saatnya tiba
saat tugu ini runtuh diamuk waktu

Am, 2008



Jafar Fakhrurozi lahir di Majalengka (Jabar), 26 September 1983. Mempublikasikan karya-karyanya berupa puisi, cerpen, dan esai di sejumlah media massa, lokal dan nasional. Sajak-sajaknya juga terkumpul dalam antologi puisi Herbarium Peyair Muda Empat Kota (2006), antologi puisi Disbudpar Jabar (2008), dan Kemarau Panjang(2007). Masih kuliah di FPBS UPI Bandung.

(-)

Sajak-sajak Husnul Khuluqi

Republika, Minggu, 28 Desember 2008 pukul 09:31:00

Sajak-sajak Husnul Khuluqi


PEREMPUAN DI SABUK LINDU

ketika kecil menjelang tidur
ibu sering bercerita tentang seekor naga raksasa
yang tidur di perut bumi, jauh di bawah akar-akar
pohon besar

ia akan marah melihat anak-anak nakal
anak-anak yang suka memusuhi teman
anak-anak yang melawan orang tua
anak-anak yang malas mandi dan pergi
tidur tanpa mencuci kaki

karena itu, sebelum tidur kau pun mencuci
kaki, lalu berangkat ke dekapan ibu seraya
berharap naga tidak menggerakkan buntut
atau tubuhnya sehingga kau bisa bermimpi pergi
ke istana peri hingga pagi

sebab sedikit saja naga bergerak
bumi bergetar. pohon-pohon tumbang
lampu-lampu bergoyang. dan angin mendadak
berhenti berputar

sekarang, kau tak lagi mendengar dongeng itu
ketika rumah-rumah rata dengan tanah
jalan-jalan menjulur terbelah, ternak-ternak mati
tak bisa lari. kau lihat di sekelilingmu hanya
tumpukan mayat dengan bau yang menyengat

dan perihmu akan selalu menggunung
setiap kali tanah di kakimu berguncang
menggetar tulang

Tangerang, 2006


LANGGAM BANTEN

(1)
aku sampai juga padamu
saat senja mulai pucat layu

burung-burung di udara
satu-satu telah menyingkir
bersama sisa-sisa kicauannya

di sunyi tepian jalan
daun dan ranting kering
berderak berjatuhan

(2)
aku sampai juga padamu
tapi di mana dirimu?

di ujung kota yang berdebu
di tempat yang pernah kau janjikan
tak ada jejak kau tanggalkan

akh, aku jadi ragu
mungkin sekadar aku bermimpi
memiliki cinta dan tubuhmu

Tangerang, 2006


SELEMBAR DAUN KUNING

selembar daun kuning
rontok di musim kering
matahari merah melintas
meninggalkan jejak di punggungnya
yang letih dan rapuh

ia lalu mengembara
disapu angin ke mana suka
diam dan hanya bisa pasrah
pada hal ia ingin dikubur
dipeluk hangat
jemari tanah

selembar daun kuning
yang rontok di musim kering
ia telah kehilangan pohon silsilah
tempat dulu melantunkan doa
dengan hijau hatinya

Tengerang, 2006

RUMAH BAMBU

aku pulang kepadamu
masih seperti dulu wajahmu
pohon randu di belakangmu
pohon waru di pojok depanmu
ilalang tumbuh di halaman
meliuk menggelombang selalu
seperti nyanyian rindu hatiku

bila musim kering tiba
kulihat engkau tetap bersahaja
meski pohon randu mulai tegak merana
dan pohon waru menjatuhkan daun
daun kuningnya
di sepetak halaman yang gersang
tak berwarna

Tangerang, 2006


PADI TAK MENGUNING

padi tak menguning
wajah bapak kering
tatapan mata ibu garing

di manakah tumbuh padi-padiku
sehampar sawah di samping rumah
diam-diam pergi berlalu
jadi sehampar tanah retak
mengendap di jiwa yang gundah?

di mana pula nyanyian hujan dulu
yang mencumbu pucuk-pucuk randu
yang bening berkilau di atas daun-daun lumbu
yang kujentik dengan jari-jari nakalku
yang lalu berguling pecah di basah tanah?

padi tak menguning
bapak pergi dengan wajah kering
tinggal ibu sendiri dengan tatap mata garing
meniti hari-hari tanpa sungging

Tangerang, 2006


JALAN BATU

apakah yang dapat kutulis di sini
jalanan ini begitu keras, menghempaskan
seonggok tubuhku dan menenggelamkannya
pada carut-marut waktu

di tepiannya, hanya tebing curam
bukit kapur, dan pohon-pohon meranggas
menunggu di tebang tangan-tanganmu
tangan-tangan yang rindu api kayu

apakah yang bisa kucatat di sini
bulan merah jambu pun cuma lagu
yang bayangnya jatuh gagu
di muram batu-batu

Tangerang, 2006


RINDU MUSI


di minggu pagi
hatiku sering ditikam rindu
pada Musi

pernah aku berdiri di tepiannya
memandang perahu-perahu lalu lalang
mengangkut orang-orang dengan wajah riang
di langit bening, matahari ramah berkirim salam

di atas permukaan sungai
burung-burung air bermain dan bercermin
mencari bayang mungil tubuhnya
yang hanyut terbawa arus ke hilir

di minggu pagi
hatiku sering dicekam rindu
pada Musi

sekali waktu aku termenung di tepiannya
di atas pasir dan tanah yang masih dingin
aku menulis sebaris sajak cinta
pada sungai yang membelah kota
pada Musi yang melintas jauh
hingga dusun-dusun tua

dan di bawah kokoh jembatannya
dengan warna cat merah menyala
aku tercenung diam seorang diri
tak sadar, Musi mengalun dalam hati

Tangerang, 2006


MENGGAMBAR MUSI

"bila kaurindu kotaku
gambarlah Musi dengan sepuluh jari,"
katamu di senja yang beku

maka dengan pucuk-pucuk jari
kugambar Musi di tanah halaman rumah
di sana ada kecipak air, tempat aku
mengaitkan seutas rindu. ada perahu
perahu melenggang di subuh dini. dan ada
burung-burung sungai dengan paruh runcing
mematuk-matuk hatiku hingga biru

"bila kaurindu kotaku
gambarlah Musi dengan air matamu,"katamu lagi
seraya membaca helai-helai rindu yang menari
di rambutku

dan aku pun menggambar Musi
dengan air yang tak putus mengalir
di sana, di atas perahu-perahu kayu
anak-anakku berlayar jauh
menembus gelapnya malam
menuju kampung-kampung baru
kampung-kampung yang tak pernah
tersentuh kaki dan mimpiku

Tangerang, 2006


HUJAN SORE


ia ingin memetik mawar merah di halaman
tapi hujan keburu datang, menahan tangannya
yang mulai memainkan runcing tubuh gunting

mawar tak terpetik, hujan tak berhenti
di bibir jendela kamarmu, sendiri kau membisu
menunggu setangkai mawar merah kirimannya

mawar merah tak sampai, ia tak datang
perlahan kau menutup daun jendela dengan bimbang
seraya menimbang arti cinta dan kesetiaan

Tangerang, 2006


MAWAR KERTAS


di kamar sunyi kau berdiam
sendiri dan sembunyi
dari rintik hujan
dari sengat terik siang
dari dekap cahaya bulan
bahkan sejak diciptakan
kau telah melupakan
sepetak halaman

Tangerang, 2006



Husnul Khuluqi dilahirkan dan dibesarkan di Banyumas. Banyak menulis puisi dan dipublikasikan di berbagai media massa Jakarta. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Romansa Pemintal Benang (2006). Sehari-hari kini bekerja sebagai buruh pabrik benang di Karawaci, Tangerang.
(-)

Anaku

Aku hanyalah cangkang bersemayam
mimpi leluhur yang berjalan dalam pangkuanNya

Mama

Doa di matamu
Selimut hati menjelang tidur