Sabtu, 04 Juli 2015
Sajak-sajak Abdul Hadi WM
Jumat, 21 Agustus 2009
Sajak-Sajak Toto Sudarto Bachtiar
Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar
Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
KEMERDEKAAN
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Jangalahn takut padanya
Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
Janganlah takut padaku
Kemerdekaan ialaha cintaku berkepanjangan jiwa
Bawalah daku kepadanya
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
ODE I
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar
katanya, kalau sekarang aku harus berangkat
kuberi pacarku peluk penghabisan yang berat
aku besok bisa mati, kemudian diam-diam
aku mengendap di balik sendat kemerdekaan dan malam
malam begini beku, dimanakah tempat terindah
buat hatiku yang terulur padamu megap dan megah
O, tanah
tanahku yang baru terjaga
malam begini sepi dimanakah tempat yang terbaik
buat peluru pistol di balik baju cabik
0, tanah di mana mesra terpendm rindu
kemerdekaan yang mengembara kemana saja
ingin aku menyanyi kecil, tahu betapa tersandarnya
engkau pada pilar derita, megah napasku di gang tua
menuju kubu musuh di kota sana
aku tak sempat hitung langkahku bagi jarak
mungkin pacarku kan berpaling
dari wajahku yang terpaku pada dinding
tapi jam tua, betapa pelan detiknya kudengar juga
di tengah malam yang begini beku
teringat betapa pernyataan sangat tebalnya
coretan-coretan merah pada tembok tua
betapa lemahnya jari untuk memetik bedil
membesarkan hatimu yang baru terjaga
Kalau serang aku harus ergi, aku hanya tahu
kawan-kawanku akan terus maju
tak berpaling dari kenangan pada dinding
O, tanah dimana tempat yang terbaik buat hati dan hidupku
Kisah,
Th IV, No. 10
Oktober 1956
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
ODE II
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan derap langkah yang berat maju ke satu tempat
dengar, hari ini ialah hari hati yang memanggil
dan kegairahan hidup yang harus jadi dekat
berhenti menangis, air mata kali ini hanya buat si tua renta
atau menangis sedikit saja
buat sumpah yangtergores pada dinding-dinding
yang sudah jadi kuning dan jiwa-jiwa yang sudah mati
atau buat apa saja yang dicintai dan gagal
atau buat apa saja
yang sampai kepadamu waktu kau tak merenung
dan menampak jalan yang masih panjang
dengar, hari ini ialah hari hatiku yangmemanggil
mata-mata yang berat mengandung suasana
membersit tanya pada omong-omong orang lalu
mengenangkan segenap janji yang dengan diri kita menyatu
dengarlah, o, tanah di mana segala cinta merekamkan dirinya
tempat terbaik buat dia
ialah hatimu yang kian merah memagutnya
kala hdia terbaring di makam senyap pangkuanmu *
*kenangan buat matinya seorang pejuang
Kisah
Th IV, No. 10
Oktober 1956
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
TENTANG KEMERDEKAAN
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
janganlah takut kepadanya
Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
janganlah takut padanya
Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya
Zaman Baru,
No. 11- 12
20 - 30 Agustus 1957
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Oyon Sofyan, Editor, 1995
IBU KOTA SENJA
Oleh :
Toto Sudarto Bachtiar
Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki dan perempuan telanjang mandi
Di sungai kesayangan, o, kota kekasih
Klakson oto dan lonceng trem saing-menyaingi
Udara menekan berat di atas jalan panjang berkelokan
Gedung-gedung dan kepala mengabur dalam senja
Mengarungi dan layung-layung membara di langit barat daya
0, kota kekasih
Tekankan aku pada pusat hatimu
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu
Aku seperti mimpi, bulan putih di lautan awan belia
Sumber-sumber yang murni terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Dan tangan serta kata menahan napas lepas bebas
Menunggu waktu mengangkut maut
Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta keabadian mimpi-mimpi manusia
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli yang kembali
Dan perempuan mendaki tepi sungai kesayangan
Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa
Di bawah bayangan samar istana kejang
Layung-layung senja melambung hilang
Dalam hitam malam menjulur tergesa
Sumber-sumber murni menetap terpendam
Senantiasa diselaputi bumi keabuan
Serta senjata dan tangan menahan napas lepas bebas
0, kota kekasih setelah senja
Kota kediamanku, kota kerinduanku
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Oleh :
Toto Sudarto Bahtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda
(1955)
Siasat,
Th IX, No. 442
1955
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Sajaksajak Ahmad Nurullah
Oleh :
Ahmad Nurullah
Di dalam sajak ini akan kautemukan
sebuah sungai - katamu.
Lalu kita pun berangkat
menjelajah makna yang menggeliat
di balik lapisan tanah yang padat -
Siang gerimis
Matahari bercampur hujan
Perjalanan begitu panjang
dan mendebarkan
Bagai syahwat yang terbakar
dan menebar bara apinya
ke luar waktu -
Angin berkincir
Ruang bugil
Detik-detik istirah
Sejarah tiarap
Pada sebuah gumam
Di atas semacam tanah lapang
Masa kanak kita berceceran:
saat kita asyik menganyam sebuah kapal
dengan sisa daun kering dan lokan
dan kita berdesak di dalamnya
berlayar menuju sebuah dunia yang jauh
sejauh kita ada
sejauh kaki kita berpijak
Tidak. Di tikungan sajak ini tak kutemukan
sebuah sungai. Yang ada adalah sebentang lautan
luas tak bertepi;
makna berdebar seperti ombak
bergeriung seperti angin
berkecipak seperti kawanan ikan
dan kita tercebur
dan kita tenggelam di dalamnya. Di dalam sajak kita
Jakarta, 1999
Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)
Di Tebing Waktu: Meditasi
Oleh :
Ahmad Nurullah
1
Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan?
Sunyi. Di teras: waktu merayap. Malam mengalir. Aku duduk
tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang. Dan di
jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku. Mungkin juga
di hatimu
Dan aku ingat Stephen. Ia muncul dari bulatan asap rokok:
Membetulkan punggungnya pada kursi roda. Merogoh lubang hitam.
Menggemari lagi bangkai bintang-bintang yang berkerumun
di bawah bulu alisnya.
"Sebelum jagat raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Membangun Surga? Merancang Neraka? Jauh sebelum
ayah dan ibumu berpengantin, di mana kau ada?"
Ia menyeringai. Dari bibirnya terbit sekerumun matahari. Mengajarku
tentang cara menjinakkan bumi. "Pertanyaan Anda waras,
untuk seorang yang berani gila," katanya.
2
Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang; melompat dari bintang
ke bintang. Berguling-guling dari galaksi ke galaksi. Mengintip
lubang cacing. Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.
Di bawah telapak kaki ku berhambur bermiliar galaksi. Bagai butiran biji kedelai yang terburai. Seperti pecahan biji gunduk yang membercaki ruang. Seperti kepingan biji mutiara yang bersemai di sudut-sudut waktu.
"Lihat," katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak
di setumpuk cahaya. "Apa arti kau ada?"
Lalu ia pun bercerita: Dulu, di sebuah celah titik
yang jauh itu, ada sebuah pertengkaran:
di dekat Tanah Nod, jauh sebelum Zaman Es terakhir,
sebelum Colombus merajang Benua India. Sebelum Pizarro
menemukan Inca. Sebelum Bolivar menyembul di Tanah Caracas.
3
Menginjak sebutir detik yang nanar, aku mendadak kembali terlempar
ke satu celah di titik yang jauh itu: ke bumi. Ada bom meledak
di masjid-masjid. Menggelegar di gereja-gereja. Bergema ke dalam ruang sejarah-menyeretku lagi pada sebuah cerita:
Tentang suatu pertengkaran, jauh di sebuah bumi yang tua.
"Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan,
Stephen? Merakit algojo? Merancang pendeta? Anda tahu: siapa
presiden pemenang lomba, besok, di negeri saya?"
Ia, dituntun oleh wataknya, kembali menyeringai. Lalu kembali
mengajakku berputar. Berdiri di tebing waktu, menyapu
kemahaluasan ruang: Meluncur di tanah masa depan yang berkabut
menjelajah kota-kota masa silam yang berasap.
"Stephen, di manakah Tanah Air saya?"
Jakarta, 1999
Sajak-sajak Cerah
Kompas - on-line (05/05/2000)
Sajaksajak Badarudin Amir
Oleh :
Badarudin Amir
siapakah adam yang selalu dilambangkan itu
siapakah hawa yang selalu diagungkan itu
aku berdiri di tepi bumi
kini menjelma adam tidak di firdaus,
tetapi di tengah-tengah gersang antara kota sodom dan gomorrah
aku tidak tahu kemana siti hawa tiba-tiba menghilang
aku berteriak
dan gaung suaraku kuharap kini telah sampai di suatu tempat
dimana siti hawa yang kurindukan
mungkin bersembunyi karena malu,
karena tak pernah meyakini dirinya
sebagai perempuan suci
setelah terlontar dari rongga sorga-Mu
tapi siapakah yang paling berdosa kini
dan sorga manakah yang paling firdausi
kalau kini aku,
si adam yang telah lama kesepian di sini
berteriak seperti dulu: ''Tuhan, beri aku perempuan lagi!''
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober резрепрепреп
AUBADE BURUNG-BURUNG
Oleh :
Badarudin Amir
pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu bernyanyi riang gembira setiap pagi bahagianya membangunkan tidur bunga
hingga kelopak-kelopak mekar sebelum matahari sempurna bersinar
pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu melantunkan siulnya
padahal udara di luar sangat dinginnya
lihatlah betapa lincah
mereka menari dari dahan ke ranting
lalu melompat ke batu-batu
menjalin percintaan dengan Sang Waktu
pesona apakah yang menyebabkan burung-burung kecil itu
bernyanyi setiap waktu
dan terus bernyanyi seperti semuanya abadi
Ah, cemburuku mengawetkan cinta bagi hidup dengan puisi !
Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999
KELAHIRAN PENYAIR
Oleh :
Badarudin Amir
tak ada seorang ibu yang bisa melahirkan seorang penyair
tetapi ia lahir setelah erangan terakhir seorang ibu
kemudian menjadi kanak sebentar
lalu remaja
lalu dewasa
semuanya berjalan sangat biasa menjadi penyair
setelah kehidupan melahirkannya lagi
ia sayang pada kehidupan
seperti sayang ia pada ibu yang melahirkannya dahulu
Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999
KUKENAL MIMPIMU
Oleh :
Badarudin Amir
Kukenal mimpimu:
adalah burung-burung cahaya
beterbangan senja hari pulang dari kembaranya
di balik cakrawala yang jauh
namun tak membawa kabar apa-apa tentang dirimu
Kukenal mimpimu:
adalah awan yang berarak di senja hari
yang kau lukis di atas kanvas kuning dan cat merah hati
hingga menjelma jadi panorama senja padang kerbala
Kukenal mimpimu:
adalah pohon-pohon purba yang kau tanam di pandang tandus
kanam sendiri
menciptakan sunyi dan keasingan
jadi sahabatnya adalah doa-doa malam yang tak sempurna aksaranya
tak sanggup mencapai gerbang langit
tapi kutahu akan sampai kepada-Nya.
Barru 1995
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999
KENANGAN KEPADA LI PO
Oleh :
Badarudin Amir
ingin kulihat Li Po mabuk sekali lagi
melipat-lipat abad dalam kenangan dan sajak-sajaknya
ingin kulihat ia memuja rembulan di pintu gapura
dengan nyanyian yang menjuntai awan di atasnya
ingin kudengar lagi desah nafasnya
yang meleguh menjelma
dari untaian bait-bait haiku
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999
MEMBACA LAUTMU
Oleh :
Badarudin Amir
berdiri membaca hamparan biru laut-Mu
kulihat ayat-ayat As-Sajdah di hadapanku
sujudku tak henti-henti
seperti sujud para nabi
kubaca ikan-ikan berkejaran di terumbu karang
kuhayati makna sebuah kehidupan yang garang
kubaca kerang dan umang-umang bertaburan
kuhayati makna gerak dan keterbatasan
kubaca gelombang arus air yang lancar mengalir
kuhayati roda kehidupan yang terus bergulir
kubaca buih ombak burung camar yang terbang rendah
kusimak pesona kehidupan laut yang mahaindah
berdiri memandang hamparan biru laut-Mu
diam-diam kubayangkan kemahasempurnaan wajah-Mu
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999
NINA BOBO BAGI MADAME SRIE
Oleh :
Badarudin Amir
masuklah ke dalam negeri batinku, madame srie
di sana akan kutunjukkan sebuah rumah cinta tak berpintu,
tak berjendela,
yang kubangun dari puing-puing masa laluku yang sederhana
jadilah penghuni setia,
karena telah lama rumah itu tak ada yang punya. malam hari jika kau mengantuk,
tidurlah nyenyak,
akan kusenandungkan lagu cinta anak bugis ''iyabe lale'' untukmu selamanya.
tapi jangan biarkan air mata membasahi tilam dan seprai
yang kusulam dari benang kasih itu
pejamkan matamu pelan-pelan
dan lupakan masa lalumu yang gerhana,
agar dapat bermimpi jadi sang putri
dan sepatu kaca yang sebelah masih kusimpan dalam hatiku.
usaplah wajahmu dengan sapu tangan yang kuberikan itu,
karena kulihat masih ada sisa keletihan
sehabis mengurai seluruh riwayatmu yang panjang itu kepadaku
di sudut kamar biarkan aku menjaga
sambil melihat senyummu yang aneh mekar dalam mimpi,
sedetik sebelum pagi datang mengubah segala cerita.
Barru 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999
SEBUAH HADIAH
Oleh :
Badarudin Amir
Kudengar ada yang memanggil-manggil namaku waktu berdiri di simpang jalan
menatap cakrawala tapi entah siapa
karena galau angin mengaburkan suara
seperti ingin menyebut sesuatu yang harus kusimpan sebagai rahasia
waktu angin reda kulihat ia melambai mengajakku ke sana
tergesa ia menyeberang cakrawala lalu menghilang di baliknya
akupun terpacak ke sana
merenungi tanda-tanda yang menunjuk arah ke entah
tapi bumi berputar tidak pada porosnya
maka aku terpaksa membalik tanda-tanda
semuanya kini menunjuk arah ke sorga
dalam mimpi aku melihat orang yang sama jenggot
dan jubahnya masih yang kemarin juga
kali ini ia datang
membawa bulan dan matahari yang kemarin gerhana
katanya sebagai hadiah
tapi kutolak
lantaran rumahku tak kuasa menampungnya
lagi pula sebagai apa aku harus menerimanya
Barru, 1998
Oase : Republika Online, edisi : 03 Oktober 1999
Sajak-Sajak Basuki Gunawan
Basuki Gunawan
tidak terang bagi kawan-kawannya
mengapa Rusli memutuskan
tali yang mengikat
bahagia
kurnia dewa-dewa
buat teman bersenda dan
menyelam ke dalam lengang antara
sangsi dan harapan
rumah tua
di desa Kranji bercerita
rusli disana menimang bayi
dan bernyanyi
bahwa hidup bukan sunyi
jika tak menyusur tepi
mencari titi
kebahagia yang
melolong di seberang mati
apakah rusli
meminta diri membiarkan
dada dikoyak baja
agar padi
muaskan dahaga dengan
darahnya ?
angin malam
mendesau resah membawa
kisah tentang rusli
terbaring di tengah padang
berkamit pamitan dari
satuannya dan berbisik
angsa undan
kan melayang turun
angin akan mengumumkan
perkawinan burung dan bulan
lama sudah
rusli tak kembali
alang-alang tumbuh di dada
anak kampung menginjak kepala
dan tambah tak terang bagi
kawan-kawannya
mengapa rusli memutuskan tali
yang mengikat kebahagiaanya
Konfrontasi,
No. 8
Juli - Agustus 1955
Sajak-Sajak Abdul Hadi W. M.
Oleh :
Abdul Hadi WM
Barat dan Timur adalah guruku Muslim, Hindu, Kristen, Buddha, Pengikut Zen dan Tao Semua adalah guruku Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya Ya, semua adalah guruku Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih Serta Muhammad Rasulullah Tapi hanya di masjid aku berkhidmat Walau jejak-Nya Kujumpai di mana-mana.
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)
Republika Online edisi : 05 Dec 1999
DALAM PASANG
Oleh :
Abdul Hadi WM
Dan pasang apalagikah yang akan mengenyahkan kita, kegaduhan apa lagi? Sekarat dan terbakar sudah kita oleh tahun-tahun penuh pertikaian, ketakutan dan perang saudara Terpelanting dari kebuntuan yang satu ke kebuntuan lainnya
Tapi tetap saja kita membisu atau berserakan Menunggu ketakpastian
Telah mereka hancurkan rumah harapan kita Telah mereka campakkan jendela keluh dan ratap kita Hingga tak ada yang mesti kuceritakan padamu lagi tentang laut itu di sana, yang naik dan menarik ketenteraman ke tepi
Kecuali serpih matahari dalam genggam kesia-siaan ini yang bisa menghanguskan kota ini lagi - Raja-raja dan kediaman mereka yang bertangan besi Kecuali segala bual dan pidato kumal yang berapi-api Antara kepedihan bila kesengsaraan dan lapar tak tertahankan lagi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh kesempatan dan mimpi Tapi tak pernah lagi punya kesempatan dan mimpi
Kita adalah penduduk negeri yang penuh pemimpin Tapi tak seorang pun kita temukan dapat memimpin Kita....
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)
Republika Online edisi : 05 Dec 1999
DO’A UNTUK INDONESIA
Oleh :
Abdul Hadi WM
Tidakkah sakal, negeriku ? Muram dan liar
Negeri ombak
Laut yang diacuhkan musafir
karena tak tahu kapan badai keluar dari eraman
Negeri batu karang yang permai, kapal-kapal menjauhkan diri
Negeri burung-burung gagak
Yang bertelur dan bersarang di muara sungai
Unggas-unggas sebagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
Aku impikan sebuah tambang laogam
Langit di atasnya menyemburkan asap
Dan menciptakan awan yang jenaka
Bagai di badut dalam sandiwara
Dengan cangklong besar dan ocehan
Batuk-batuk keras
Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia
Adalahberita-berita yang ditulis
Dalam bahasa yang kacau
Dalam huruf-huruf yang coklat muda
Dan undur dari bacaan mata
Di manakah ia kausimpan dalam dokumntasi dunia ?
Kincir-kincir angin itu
Seperti sayap-sayap merpati yang penyap
Dan menyebarkan lelap ke mana-mana
Sebagai pupuk bagi udaranya
Lihat sungai-sungainya, hutan-hutannya dan sawah-sawahnya
Ratusan gerobag melintasi jembatan yang belum selesai kaubikin
Kota-kotanya bertempat di sudut belakang peta dunia
Negeri ular sawah
Negeri ilalang-ilalang liar yang memang dibiarkan tumbuh subur
Tumpukan jerami basah
Minyak tanahnya disimpan dalamkayu-kakyu api bertumpuk
Dan bisa kau jadikan itu sebagai api unggun
Untuk persta-pesta barbar
Indonesia adalah buku yang sedang dikarang
Untuk tidak dibaca dan untuk tidak diterbitkan
Di kantor penerimaan tenaga kerja
Orang-orang sebagai deretan gerbong kereta
Yang mengepulakan asap dan debu dari kaki dan keningnya
Dan mulutnya ternganga
Tatkala bencana mendamprat perutnya
Berapa hutangmu di bank ? Di kantor penenaman modal asing ?
Di dekat jembatantua
malaikat-malaikat yang celaka
Melagu panjang
Dan lagunya tidak berarti apa-apa
Dan akan pergi ke mana hewan-hewan malam yangterbang jauh
Akan menjenguk gua mana, akan berteduh di rimba raya mana ?
Ratusan gagak berisik menuju kota
Menjalin keribuan di alun-alun, di tiap tikungan jalan
Puluhan orang bergembira
Di atas bayangan mayat yang berjalan
Memasuki toko dan pasar
Di mana dipamerkan barang-barang kerajinan perak
Dan emas tiruan
Indonesia adalah kantor penampungan para penganggur
yang atapnya bocor dan administrasinya kacau
Dijaga oleh anjing-anjing yang malas dan mengantuk
Indonesia adalah sebuah kamus
Yang perbendaharaan kata-katanya ruwet
Dibolak-balik, digeletakkan, diambil lagi, dibaca, dibolak-balik
Sampai mata menjadi bengkak
Kata kerja, kata seru, kata bilangan, kata benda, kata ulang,
kata sifat
Kata sambung dan kata mejemuk masuk ke dalam mimpimu
Di mana kamus itu kau pergunakan di sekolah-sekolah dunia ?
Di manakah kamus itu kaujual di pasaran dunia ?
Berisik lagi, berisiklagi :
Gerbong-gerbong kereta
membawa penumpang yang penuh sesak
dan orang-orang itu pada memandang ke sorga
Dengan matanya yang putus asa dan berkilat :
Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini
Melata di bumi merusaki hutan-hutan
Dan kebun-kebunmu yang indah permai
Mengapa kaubiarkan mereka ……….
Negeri ombak
Badai mengeram di teluk
Unggas-unggas bagai datang dan pergi
Tapi entah untuk apa
Nelayan-nelayan tak tahu
1971
Anak Laut Anak Angin
Kumpulan Puisi
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
KEMBALI TAK ADA SAHUTAN DI SANA
Oleh :
Abdul Hadi WM
Kembali tak ada sahutan di sana Ruang itu bisu sejak lama dan kami gedor terus pintu-pintunya Hingga runtuh dan berderak menimpa tahun-tahun penuh kebohongan dan teror yang tak henti-hentinya
Hingga kami tak bisa tinggal lagi di sana memerah keputusasaan dan cuaca
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan mulai bercerai-berai Lari dari kehancuran yang satu ke kehancuran lainnya Bertikai memperebutkan yang tak pernah pasti dan ada Dari generasi ke generasi
Menenggelamkan rumah sendiri ribut tak henti-henti
Hingga kautanyakan lagi padaku Penduduk negeri damai macam apa kami ini raja-raja datang dan pergi seperti sambaran kilat dan api Dan kami bangun kota kami dari beribu mati. Tinggi gedung-gedungnya di atas jurang dan tumpukan belulang Dan yang takut mendirikan menara sendiri membusuk bersama sepi
Demikian kami tinggalkan janji-janji gemerlap itu dan matahari 'kan lama terbit lagi
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)
Republika Online edisi : 05 Dec 1999
KETIKA MASIH BOCAH
Oleh :
Abdul Hadi WM
Ketika masih bocah, rumahku di tepi laut Bila pagi pulang dari perjalanan jauhnya Menghalau malam dan bayang-bayangnya, setiap kali Kulihat matahari menghamburkan sinarnya Seraya menertawakan gelombang Yang hilir mudik di antara kekosongan
Sebab itu aku selalu riang Bermendung atau berawan, udara tetap terang Setiap butir pasir buku pelajaran bagiku Kusaksikan semesta di dalam Dan keluasan mendekapku seperti seorang ibu
Batang kayu untuk perahu masih lembut tapi kuat Kuhadapkan senantiasa jendelaku ke wajah kebebasan Aku tak tahu mengapa aku tak takut pada bahaya Duri dan kepedihan kukenal Melalui kakiku sendiri yang telanjang
Arus begitu akrab denganku Selalu ada tempat bernaung jika udara panas Dan angin bertiup kencang Tak banyak yang mesti dicemaskan Oleh hati yang selalu terjaga Pulau begitu luas dan jalan lebar Seperti kepercayaan Dan kukenal tangan pengasih Tuhan Seperti kukenal getaran yang bangkit Di hatiku sendiri
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)
Republika Online edisi : 05 Dec 1999
MIMPI
Oleh :
Abdul Hadi WM
Aneh, tiap mimpi membuka kelopak mimpi yang lain, berlapis-lapis mimpi, tiada dinding dan tirai akhir, hingga kau semakin jauh dan semakin dalam tersembunyi dalam ratusan tirai rahasia membiarkan aku asing pada wujud hampa dan wajah sendiri. Kudatangi kemudian pintu-pintu awan, nadi-nadi cahaya dan kegelapan, rimba sepi dan kejadian -- di jalan-jalannya, di gedung-gedungnya kucari sosok bayangku yang hilang dalam kegaduhan. Tetap, yang fana mengulangi kesombongan dan keangkuhannya dan berkemas pergi entah ke mana gelisah, asing memasuki rumah sendiri menjejakkan kaki, bergumul benda-benda ganjil yang tak pernah dikenal, menulis sajak, menemukan mimpi yang lain lagi berlapis-lapis mimpi, tiada dinding akhir sebelum menjumpai-Mu.
Pembawa Matahari
Sajak-sajak karya Abdul Hadi WM (1981-1992)
Republika Online edisi : 05 Dec 1999
Senin, 20 April 2009
Sajak-sajak Mardi Luhung
Kompas Minggu, 5 April 2009 | 02:47 WIB
Kamar Penganten
Sebelum aku meminum minuman itu, cangkirnya bergetar.
(Gresik, 2009)
Pintu
varian usiran
Punggung malam menyala. Menyala seperti pantat bulat
(Gresik, 2009)
Lidah Mertua
kenangan berkebun
Sebelas lidah aku tanam di tanah. Sebelas lidah belirik hijau dengan warna dasar kelabu. Sebelas lidah yang pintar meragi debar. Juga merancang angan. Dan sebelas lidah yang pernah dimiliki sebelas lelaki. Sebelas lelaki yang seabad dulu pergi
(Gresik, 2009)
Beranda
Di beranda kau mengiris dadamu. Membukanya. Dan
Hatimu itu pun tampak menggigil. Rasanya, seperti sudah
Lalu kau menyergah: “Jangan, jangan mengelak terus dariku!” sambil menunjuk-nunjukkan hatimu seperti ingin memberikan. Memberikan pada siapa? Pada aku ataukah pada impianmu sendiri? Aku pun melihatmu tak ubahnya sebagai mayat yang kecut. Mayat yang lecut. (Lalu seekor kelelawar yang lain menerobos ke dalam, menabrak-nabrak jendela.)
“Tuan, apa kau tak mengerti pintaku?” sambungmu. Dan hatimu yang telah kau letakkan itu pun bergerak-gerak. Apa di dalamnya telah ada ulatnya? Seperti ulat yang ada di dalam sekepal daging yang tak lagi segar. Sekepal daging yang
Memang, aku bukan mau mengelak. Hanya aku rasa, dalam
(Gresik, 2009)
Genesis
buat riyadi ngasiran
Aku menitipkan mataku di matamu. Sebab setiap warna yang
kau lihat, juga ingin aku lihat. Warna yang selalu berkelebat
seperti kelebat ladam kuda. Atau yang tak oleng seperti
keliatan sepeda-tinggi milik lelaki-bukit. Lelaki-bukit yang
gemar bersiul. Lelaki-bukit yang sering kau datangi ketika
memahat di tepi tebing. Sambil menyalurkan gumpilan daging
dan darah yang dipahatnya agar sampai ke laut. Agar bertemu
dengan setiap warna yang kau lihat, juga yang ingin aku lihat.
Dan di laut (di tengah setiap warna yang kau lihat, dan juga
yang ingin aku lihat itu), kau tampak berenangan. Meluncur
dan selurupan. Sambil melempar-lemparkannya
ke angkasa. Jadinya, angkasa pun dibuar warna. Seperti
buaran bentangan bianglala. Bianglala yang akan balik
mewarnai matamu. Dan matamu pun terus mewarnai apa saja
yang dilihatnya. Mewarnai dengan sesukanya. Dan mewarnai dengan cara yang berbeda.
Gunung merah, pohon biru, tawon jingga, orang hijau,
bayangan putih, gurita kuning, mata ungu, gigi coklat,
rumah bening, matahari hitam, padi kelabu, rumput nila.
“Dan apa warna-warna semacam itu tak terbalik?” Aku
bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja
mewarnai dengan cara yang berbeda. Sampai kemudian, aku
merasa (dan juga melihatnya), semesta jadi berganti warna.
Berganti dalam warna-warna yang tak terduga. (Apa kita juga
mesti mengganti nama-namanya?)
Di antara semuanya, aku pun meminta balik mataku yang telah
aku titipkan di matamu. Dan saat kau akan memberikannya,
aku merasa itu bukan mataku. Sebab mata itu terlalu muskil
bagi diriku.
Dan aku menolaknya. Terus melaporkan dirimu pada
lelaki-bukit. Yang masih memahat di tepi tebing sana!
(Gresik, 2009)
Mardi Luhung