Senin, 20 April 2009

Sajak-sajak Mardi Luhung

Sajak-sajak Mardi Luhung

Kompas Minggu, 5 April 2009 | 02:47 WIB

Kamar Penganten

Sebelum aku meminum minuman itu, cangkirnya bergetar. Dan apa yang diwadahinya juga bergetar. Seperti ingin memisahkan campuran serbuk tuba dari manis gula. Tapi, mukaku yang terkacakan di dalamnya, mengapa selalu seperti muka mayat. Muka mayat yang pucat. Muka mayat yang melengos, saat liang lahat dibukakan bagi dirinya. Liang lahat dengan dinding sedingin bentangan mori. Dan di depan kalian, muka mayatku ini tak lagi meminta apa-apa. Kecuali tanya: Apa yang telah kalian janjikan pada jalan keong milik muka mayatku itu? Jalan keong yang telah menyeberang dari kepala sampai dada. Dari dada sampai kaki. Dan dari kaki sampai bayangan si patung asing yang telah kalian tanam di sembilu bulan. Sembilu tempat burung-burung terguling. Burung- burung yang dicintai oleh setiap yang telah kehilangan kerahasiaannya. Dan oleh setiap yang mukanya juga seperti muka mayatku. Muka yang selalu ingin merapat dan memasuki kedalaman kuping kalian. Terus menjilati relung pendengarannya. Pendengaran yang telah dirias. Seperti riasan kamar penganten di nazak subuh!

(Gresik, 2009)

Pintu

varian usiran

Punggung malam menyala. Menyala seperti pantat bulat kunang-kunang. Menyala terang dan menerangi ketika aku pergi. Pergi ke mana? Barangkali ke remang. Barangkali ke sembab. Barangkali juga ke derap. Derap yang entah. Hanya pantun yang berkata: Potonglah dua roti, jadikan kari ketupat. Jangan tanya dia pergi, sebab kalian tak memberi tempat. Dan sepasang kupu-kupu melintas. Menaburkan serbuk sari. Jatuh di kepalaku. Pasti nanti akan tumbuh kembang di situ. Kembang besar yang berbinar. Kembang besar yang berdetak. Berdetak dengan perlahan. Kata pantun lagi: Pahatan kapur barus, lengan kemamang sering tak letup. Biarkan dia lurus terus, dengan kembang yang tak redup. Ya, aku akan terus. Terus bersama kembang. Bersama malam. Bersama kenangan. Kenangan tentang kalian. Kalian yang telah memalang semua pintu. Agar aku tak mengetuk dan menyapa. Agar cuma menyelipkan puisi. Puisi di lubang kunci. Sesudah meracau dan mengigau. Sesudah mengerap dan mengudang. Mengudang seperti anak kucing. Anak kucing yang licin. Dan kata pantun berikutnya: Ambil sedikit milik tahun, biarlah tumbuh si delima. Dia tak berpenyakit sedikit pun, mengapa tetap saja tak diterima? Memang, memang, tak ada lagi tempatku di tempat kalian. Maka dengan suka atau duka, duka atau luka, akan aku lupakan kalian. Dan lupakanlah aku. Dan biarlah puisi yang aku selipkan itu sebagai tanda. Jika aku pernah kalian kenal. Kalian kenal dengan begitu tak genap. Begitu tak jamak. Akh, kata penutup pantun: Nangka limau berujung paku, senja pesisir di perigi penuh tanya. Ayo, buka semua palang pintu, dia penyair telah pergi dengan segalanya.

(Gresik, 2009)

Lidah Mertua

kenangan berkebun

Sebelas lidah aku tanam di tanah. Sebelas lidah belirik hijau dengan warna dasar kelabu. Sebelas lidah yang pintar meragi debar. Juga merancang angan. Dan sebelas lidah yang pernah dimiliki sebelas lelaki. Sebelas lelaki yang seabad dulu pergi ke utara. Untuk meminta balik matahari yang telah direbut kabut. Lalu sebelas lidah itu terus tumbuh dan membesar. Belirik hijau dan warna dasar kelabunya demikian meruah. Seperti kecemerlangan yang selang-seling. Kadang hijau. Kadang kelabu. Kadang juga menjadi campuran keduanya. Campuran yang membuat aku teringat pada warna kulit sebelas lelaki pemiliknya itu. Sebelas lelaki yang kini mungkin telah mati. Mati dijebak kabut. Mati sambil berpelukan. Seperti pelukan sebelas daging. Untuk kemudian menjelma sebelas arah jalan. Jalan yang terbentang. Dan kini, lihatlah, sebelas lidah yang terus tumbuh dan membesar itu sudah seperti sebelas pilar raksasa. Sebelas pilar raksasa yang tiba-tiba ambrol dari tanah. Terus menggoser dan beringsut. Ke mana? Tak menjawab. Cuma jika dilihat dari ketinggian, arah utaralah yang dituju. Arah jalan dari jelmaan sebelas lelaki yang pernah memilikinya itu. Hoi, betapa indah selang- seling belirik hijau dan warna dasar kelabu yang ditinggalnya. Ditinggalnya untukku saja…

(Gresik, 2009)

Beranda

Di beranda kau mengiris dadamu. Membukanya. Dan merogoh hatimu yang begitu tersembunyi. Begitu seperti permainan dadu yang mesti ditebak. Permainan yang membuatmu segera meletakkan hatimu itu di depanku. Di depan orang yang selalu kau anggap mengelak. Mengelak terus darimu. (Di luar, sepasang kelelawar terbang, mau menangkup ke mana?)

Hatimu itu pun tampak menggigil. Rasanya, seperti sudah lama ingin menjadi berudu. Berudu bening yang berenang di sela sulur ganggang. Juga di antara kecipak ikan yang berulang. Kecipak bulat yang menggema seperti genta. Bagaimana kau nanti akan hidup tanpa hati? (Sepasang kelelawar itu pun merendah, hilang di kelebat tandan pisang.)

Lalu kau menyergah: “Jangan, jangan mengelak terus dariku!” sambil menunjuk-nunjukkan hatimu seperti ingin memberikan. Memberikan pada siapa? Pada aku ataukah pada impianmu sendiri? Aku pun melihatmu tak ubahnya sebagai mayat yang kecut. Mayat yang lecut. (Lalu seekor kelelawar yang lain menerobos ke dalam, menabrak-nabrak jendela.)

“Tuan, apa kau tak mengerti pintaku?” sambungmu. Dan hatimu yang telah kau letakkan itu pun bergerak-gerak. Apa di dalamnya telah ada ulatnya? Seperti ulat yang ada di dalam sekepal daging yang tak lagi segar. Sekepal daging yang begitu merindukan sepercik air. Sepercik air yang tak menggusarkan. (Dan pada tabrakan yang kesekian, kelelawar itu pun terbanting.)

Memang, aku bukan mau mengelak. Hanya aku rasa, dalam satu putaran 360 hari, warnaku dan warnamu akan aus. Aus seperti bianglala yang koyak. Dan dari koyakan itu, apa ada yang bersedia untuk saling menambal. Apalagi sampai menukar kepedihan yang menyembul. Yang tak mungkin untuk berjalan terbalik. (Lihat, kelelawar yang terbanting itu pun mencoba bangkit, tapi sayang satu sayapnya remuk.)

(Gresik, 2009)

Genesis

buat riyadi ngasiran

Aku menitipkan mataku di matamu. Sebab setiap warna yang
kau lihat, juga ingin aku lihat. Warna yang selalu berkelebat
seperti kelebat ladam kuda. Atau yang tak oleng seperti
keliatan sepeda-tinggi milik lelaki-bukit. Lelaki-bukit yang
gemar bersiul. Lelaki-bukit yang sering kau datangi ketika
memahat di tepi tebing. Sambil menyalurkan gumpilan daging
dan darah yang dipahatnya agar sampai ke laut. Agar bertemu
dengan setiap warna yang kau lihat, juga yang ingin aku lihat.

Dan di laut (di tengah setiap warna yang kau lihat, dan juga
yang ingin aku lihat itu), kau tampak berenangan. Meluncur
dan selurupan. Sambil melempar-lemparkannya
ke angkasa. Jadinya, angkasa pun dibuar warna. Seperti
buaran bentangan bianglala. Bianglala yang akan balik
mewarnai matamu. Dan matamu pun terus mewarnai apa saja
yang dilihatnya. Mewarnai dengan sesukanya. Dan mewarnai dengan cara yang berbeda.

Gunung merah, pohon biru, tawon jingga, orang hijau,
bayangan putih, gurita kuning, mata ungu, gigi coklat,
rumah bening, matahari hitam, padi kelabu, rumput nila.

“Dan apa warna-warna semacam itu tak terbalik?” Aku
bertanya padamu. Tapi kau tak menjawab. Terus saja
mewarnai dengan cara yang berbeda. Sampai kemudian, aku
merasa (dan juga melihatnya), semesta jadi berganti warna.
Berganti dalam warna-warna yang tak terduga. (Apa kita juga
mesti mengganti nama-namanya?)
Di antara semuanya, aku pun meminta balik mataku yang telah
aku titipkan di matamu. Dan saat kau akan memberikannya,
aku merasa itu bukan mataku. Sebab mata itu terlalu muskil
bagi diriku.

Dan aku menolaknya. Terus melaporkan dirimu pada
lelaki-bukit. Yang masih memahat di tepi tebing sana!

(Gresik, 2009)

Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur. Buku puisinya adalah Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Ia pendiri komunitas De Nagari Gresik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar