Sajak-sajak Ags Arya Dipayana
Kompas, Minggu, 19 April 2009 | 02:42 WIB Sambal Seruit, di Sore Berhujan
: Iswadi
Sekiranya tujuh orang teman bertandang di suatu sore
berhujan. Beberapa ekor ikan yang kau pancing di sungai
sewaktu kau kecil dulu – baung, belida atau layis, akan sangat
membantu: melahirkan tawa, canda, mungkin satu puisi.
Selayaknya enam orang teman mampu menyiapkan
pesta bersahaja dalam satu jam. Memotong dan menyiangi
ikan, membakarnya di atas perapian. Sementara kau memilih
siapa yang akan menjadi korban.
Sepantasnya lima orang teman memahami segala yang
diperlukan. Merajang tempe, memotong-motong sayur lalapan,
mengiris mangga – jika tempoyak tak ada. Juga memanggang
terungnya. Senyum dikulum, hati berdebar, bukan hal besar.
Sebaiknya tak lebih dari empat orang teman tahu rahasia sambal itu.
Terasi udang, garam dan gula pasir sekedarnya. Rampai juga.
Jumlah cabe merah itu menentukan jalannya upacara makan.
Rasa pedas, air mata dan gelak tawa tanpa rasa berdosa.
Semestinya tiga orang teman menggoreng telur ceplok, ikan asin,
menanak nasi dan menyiapkan arena pesta. Sementara kau
tenggelam dalam tawa tertahan, dalam mimpi perihal
bagaimana persahabatan harus dinikmati.
Seharusnya dua orang teman pergi membeli serbat dan jus kwini,
minuman sedap sehabis makan-makan. Kau bayangkan menghirup
kembali kenangan, menyimak kembali catatan tercecer seraya
melanjutkan percakapan.
Setidaknya dapat kalian seruit satu orang teman, kalau saja tidak kau
lupakan Sayur Asam itu. Makanan penutup yang akan meredakan
rasa kesal itu. Bukan yang terpenting, namun tanpanya akan
batal seluruh rencana. Sayangnya
Menu Rumah Makan Seafood
: Isbedy
#1
Gurame Asam Manis. Bersihkan ikan dan buang isi perutnya.
Lumuri dengan campuran tepung kanji dan garam. Goreng dalam
minyak sepanas hatimu yang marah itu. Angkat bila matang.
Siapkan saus: matangkan tomat dalam rindu yang mendidih,
Lumatkan dan saring. Ampasnya tak berguna.
Panaskan margarine di atas wajan, tumis irisan bawang merah,
bawang putih, cabe merah dan jahe sampai kau dapati
keharuman yang menerbitkan haru. Lalu masukkan lokio dan
air tomat. Masukkan gula, cuka, tuangkan cairan tepung kanji.
Angkat setelah mengental.
Bubuhkan atasnya beberapa ujaran yang kau pungut dari
puisimu. Tuangkan ke atas gurame goreng. Lalu ingatlah
kembali pertemuan-pertemuan itu. Jika kau mau, tambahkan
beberapa kerat dendam. Bersantaplah sepuasmu. Tapi jangan
berharap kau nikmati kearifan itu.
#2
Cumi Goreng Tepung. Bersihkan kulit cumi dan potong-potong
Hingga terbentuk gelang-gelang kecil, sebesar igauan. Masukkan
ke dalam tepung terigu, yang telah kau bubuhi merica dan garam.
Celupkan ke dalam kocokan telur, sebelum kau gulingkan ke atas
tepung roti. Jangan kenangkan hari-hari penuh sangsi itu.
Sepuluh menit berikut adalah menunggu, setelah kau satukan
mayonnaise dan saus tomat itu. Kemudian yang kau perlukan
adalah minyak panas di atas wajan, lalu goreng cumi hingga
matang. Tapi setiap orang punya pendapat berbeda dalam
ihwal kematangan.
Meski demikian, tiriskan sesudahnya. Kau pun bisa segera
mencicipinya, sambil sekilas menyentuhkannya ke saus
yang mampu membawaku dalam tamasya ke negeri-negeri
dongeng itu. Kau tentu boleh menghabiskannya, tapi berhentilah
bergumam tentang Kepiting Saus Tiram itu.
Menu Rumah Makan Seafood
: Inggit
#1
Makan malam belum dimulai. Di atas meja
hanya piring-piring, masih sepi dari isi.
Tapi minyak goreng yang meletik-letik di atas perapian
menggoda irisan bawang merah dan bawang putih
untuk segera matang di dalamnya, dan melepas aroma
yang memang mereka siapkan, seperti umpan.
Kau amati udara yang serta-merta sibuk
menyergap dan membagikannya kepada ruang-ruang
yang tak sabar menunggu sejak semula. Sementara cengkih,
biji pala, pekak dan kapulaga bersipandang. Cabai giling
dan bumbu gulai berjuang untung tetap bergeming.
Ingin percaya, semua punya gilirannya.
Telah kau haluskan jahe, kunyit, lengkuas. Sebagaimana
bawang merah dan bawang putih pula – yang seperti
katamu, menuntut keterlibatan lebih dari lainnya. Lalu
sedikit garam, tentunya. Lapar yang duduk mencangkung
di atas kursi gelisah oleh gurauan jam dinding di
ruang makan itu, “Tunggu sampai besok pagi. Kalau jadi…”
#2
“Satu kilogram daging kambing atau sapi dibutuhkan dalam
perjamuan ini,” begitu katamu. Kau pun menyulapnya
menjadi potongan-potongan sebelum memasukkannya
ke dalam wajan. Mengaduknya dalam tumisan hingga
matang kecoklatan. Kau tuangi air secukup yang kau taksir.
Sejak sore telah kau parut kelapa, telah kau peras
berulang-ulang agar kau dapatkan santan yang kau
harapkan. Warna putihnya yang kental selalu
memuaskanmu. “Ini bukan perkara yang seketika menjadi.
Sudah harus sejak lama diawali.” Lalu kau duduk
di sudut dapur, menghitung waktu.
Kau tutup wajan dan mengecilkan api. Menuang santan
sewaktu air semakin tiris. Di meja makan masih
piring-piring yang sama. Tapi semerbak Gulai Balak
telah sampai. Lapar itu semakin tak sabar, tapi belajar
bersikap bijak. “Harapan adalah kenyataan yang dalam
perjalanan. Ia memang memabukkan.”
#3
Alangkah rumitnya kelezatan. Mula-mula ia berujud apa pun
dan berasal dari mana pun. Merica, lada, dan sederet nama
lainnya. Lalu sebuah upaya menyatukan, mengulek, menumbuk,
mengiris dan sebutan yang berbeda. Tapi tanpa api, segalanya
tidak akan sampai menjelma arti. Segalanya harus puas
menjadi sekedar rencana.
Di pinggan tersaji masakan dengan kuah kuning kemerahan.
Kepulan uapnya menebar harum yang nyata disiapkan
penuh perhitungan, cermat dan seksama. Rasanya telah
mencapai lidah, bahkan sebelum mencicipinya. Boleh jadi,
inilah malam di Tanjungkarang yang boleh didamba. “Apakah
kau masih lapar yang sama?” tanyamu.
Lapar yang agak terlalu itu tersenyum. Malu-malu.
Memilih untuk tetap membisu. Melirik penunjuk waktu,
mengira bahwa ia berhasil mengatasinya. Kau pun
meletakkan sewadah nasi putih, mengangsurkan segelas
air putih. “Malam masih akan panjang. Kusiapkan sajian
untuk delapan orang. Nikmatilah. Sendirian…”
Ags Arya Dipayana
menulis puisi, prosa, dan lakon. Ia adalah sutradara
Teater Tetas; tinggal di Jakarta.