Sajak sajak Hasan aspahaani
Kompas Minggu, 12 April 2009 | 02:57 WIB
Klinik Sakit Hati
AKU dan kamu sama terbaring
getah darah belum kering pada sepasang mataluka yang juling
Kalau ada pembezuk datang kita usir dengan maki hamuk dan kutuk, “Enyah kamu, busuk!”
Berseberang ranjang, cuma sepelemparan parang jalang, sesekali kita saling tebas, putus selang infus!
Lalu, entah kamu entah aku yang lebih dahulu menjeritkan nama siapa saja sebab yang datang pasti dia juga perawat tua berlidah belah, tak bosan-bosannya dia mengucap nasihat bercabang arah!
Di klinik tak bersubsidi ini hanya ada dia, untuk kita sepasang pasien sakit hati nyaris mati
Perawat tua, hitam-hitam-hitam seragamnya ia suntikkan ekstrak sariluka dari seekor hewan besar dan lapar yang akhirnya takluk pada perburuan mereka yang kabur dari penjara negara setelah mencuri senjata dan selembar atlas rahasia
Setiap malam, kita bertaruh:
Kau bilang, perawat tua itu adalah malaikat sabar yang masih betah menyamar, kalau tiba waktunya diam-diam ia gunting putus kabel nafas kita.
Aku bilang, tidak, nyawa kita itu, Tuhan sendiri yang akan datang mencabut, sekaligus ia mengajari kita hakikatulmaut!
Hasan Aspahani
Permohonan
KECUPKAN saja lagi pada pedih lidahku serat sari dari daging mangga bibirmu
agar tak sesaat aku sesati sepi mimpi, ragi pagi, sisa sayat ragu semalam tadi
Hasan Aspahani
Ruang-ruang Kuliah Kampus Lama
AKU sering tertidur di deretan kursi belakang. Melewatkan kuliah profesor tentang bagaimana membedakan jenis-jenis tanah dari warnanya.
Dan sekali waktu aku pernah bermimpi di tidurku itu: pada-Nya, aku bertanya, “Aku, Kau tempa dari tanah apa?” Dia menjawab, “Kenapa kau tanya aku? Tanyalah itu profesor ahli tanahmu....”
Ah, Engkau! Padahal aku masih ingin tahu cara membedakan Cahaya dan Api dari juga warnanya, aku masih ingin bertanya di mimpi sesingkat itu.
Hasan Aspahani
Suatu Hari di Graha Widya Wisuda
PADANG mahsyar kami kelak pasti tak begini, kan? Tak ada toga-sewaan-dasi-pinjaman yang harus cepat dipulangkan,tak ada kartu bebas perpustakaan, tak ada tukang fotoyang mengabadikan senyum keharuan (atau ketakutan?), tak ada paduan suara menyanyikan lagu himne almamater
DAN nama-nama kami dipanggil juga, seorang per seorang,yang menggantung di hadapan muka disingkirkan ke tepian,di luar Graha Widya Wisuda menunggu segala kemungkinan:seperti disambut sebuah baliho besar lowongan pekerjaan
“Berapa lembar Engkau bolehkan kami memfotokopi ijazah?Tolong beri lebih, kami harus mengirim banyak lamaran....”
Hasan Aspahani lahir tahun 1971 di Kalimantan Timur, dan kini bermukim di Batam. Wartawan, penyair, dan
blogger. Sedang menyiapkan penerbitan buku puisi terbarunya,
Telimpuh, yang dalam bentuk
e-book sudah beredar lewat blognya www.sejuta-puisi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar