Senin, 20 April 2009

Sajak-sajak Ags Arya Dipayana

Sajak-sajak Ags Arya Dipayana

Kompas, Minggu, 19 April 2009 | 02:42 WIB

Sambal Seruit, di Sore Berhujan

: Iswadi

Sekiranya tujuh orang teman bertandang di suatu sore

berhujan. Beberapa ekor ikan yang kau pancing di sungai

sewaktu kau kecil dulu – baung, belida atau layis, akan sangat

membantu: melahirkan tawa, canda, mungkin satu puisi.

Selayaknya enam orang teman mampu menyiapkan

pesta bersahaja dalam satu jam. Memotong dan menyiangi

ikan, membakarnya di atas perapian. Sementara kau memilih

siapa yang akan menjadi korban.

Sepantasnya lima orang teman memahami segala yang

diperlukan. Merajang tempe, memotong-motong sayur lalapan,

mengiris mangga – jika tempoyak tak ada. Juga memanggang

terungnya. Senyum dikulum, hati berdebar, bukan hal besar.

Sebaiknya tak lebih dari empat orang teman tahu rahasia sambal itu.

Terasi udang, garam dan gula pasir sekedarnya. Rampai juga.

Jumlah cabe merah itu menentukan jalannya upacara makan.

Rasa pedas, air mata dan gelak tawa tanpa rasa berdosa.

Semestinya tiga orang teman menggoreng telur ceplok, ikan asin,

menanak nasi dan menyiapkan arena pesta. Sementara kau

tenggelam dalam tawa tertahan, dalam mimpi perihal

bagaimana persahabatan harus dinikmati.

Seharusnya dua orang teman pergi membeli serbat dan jus kwini,

minuman sedap sehabis makan-makan. Kau bayangkan menghirup

kembali kenangan, menyimak kembali catatan tercecer seraya

melanjutkan percakapan.

Setidaknya dapat kalian seruit satu orang teman, kalau saja tidak kau

lupakan Sayur Asam itu. Makanan penutup yang akan meredakan

rasa kesal itu. Bukan yang terpenting, namun tanpanya akan

batal seluruh rencana. Sayangnya

Menu Rumah Makan Seafood

: Isbedy

#1

Gurame Asam Manis. Bersihkan ikan dan buang isi perutnya.

Lumuri dengan campuran tepung kanji dan garam. Goreng dalam

minyak sepanas hatimu yang marah itu. Angkat bila matang.

Siapkan saus: matangkan tomat dalam rindu yang mendidih,

Lumatkan dan saring. Ampasnya tak berguna.

Panaskan margarine di atas wajan, tumis irisan bawang merah,

bawang putih, cabe merah dan jahe sampai kau dapati

keharuman yang menerbitkan haru. Lalu masukkan lokio dan

air tomat. Masukkan gula, cuka, tuangkan cairan tepung kanji.

Angkat setelah mengental.

Bubuhkan atasnya beberapa ujaran yang kau pungut dari

puisimu. Tuangkan ke atas gurame goreng. Lalu ingatlah

kembali pertemuan-pertemuan itu. Jika kau mau, tambahkan

beberapa kerat dendam. Bersantaplah sepuasmu. Tapi jangan

berharap kau nikmati kearifan itu.

#2

Cumi Goreng Tepung. Bersihkan kulit cumi dan potong-potong

Hingga terbentuk gelang-gelang kecil, sebesar igauan. Masukkan

ke dalam tepung terigu, yang telah kau bubuhi merica dan garam.

Celupkan ke dalam kocokan telur, sebelum kau gulingkan ke atas

tepung roti. Jangan kenangkan hari-hari penuh sangsi itu.

Sepuluh menit berikut adalah menunggu, setelah kau satukan

mayonnaise dan saus tomat itu. Kemudian yang kau perlukan

adalah minyak panas di atas wajan, lalu goreng cumi hingga

matang. Tapi setiap orang punya pendapat berbeda dalam

ihwal kematangan.

Meski demikian, tiriskan sesudahnya. Kau pun bisa segera

mencicipinya, sambil sekilas menyentuhkannya ke saus

yang mampu membawaku dalam tamasya ke negeri-negeri

dongeng itu. Kau tentu boleh menghabiskannya, tapi berhentilah

bergumam tentang Kepiting Saus Tiram itu.

Menu Rumah Makan Seafood

: Inggit

#1

Makan malam belum dimulai. Di atas meja

hanya piring-piring, masih sepi dari isi.

Tapi minyak goreng yang meletik-letik di atas perapian

menggoda irisan bawang merah dan bawang putih

untuk segera matang di dalamnya, dan melepas aroma

yang memang mereka siapkan, seperti umpan.

Kau amati udara yang serta-merta sibuk

menyergap dan membagikannya kepada ruang-ruang

yang tak sabar menunggu sejak semula. Sementara cengkih,

biji pala, pekak dan kapulaga bersipandang. Cabai giling

dan bumbu gulai berjuang untung tetap bergeming.

Ingin percaya, semua punya gilirannya.

Telah kau haluskan jahe, kunyit, lengkuas. Sebagaimana

bawang merah dan bawang putih pula – yang seperti

katamu, menuntut keterlibatan lebih dari lainnya. Lalu

sedikit garam, tentunya. Lapar yang duduk mencangkung

di atas kursi gelisah oleh gurauan jam dinding di

ruang makan itu, “Tunggu sampai besok pagi. Kalau jadi…”

#2

“Satu kilogram daging kambing atau sapi dibutuhkan dalam

perjamuan ini,” begitu katamu. Kau pun menyulapnya

menjadi potongan-potongan sebelum memasukkannya

ke dalam wajan. Mengaduknya dalam tumisan hingga

matang kecoklatan. Kau tuangi air secukup yang kau taksir.

Sejak sore telah kau parut kelapa, telah kau peras

berulang-ulang agar kau dapatkan santan yang kau

harapkan. Warna putihnya yang kental selalu

memuaskanmu. “Ini bukan perkara yang seketika menjadi.

Sudah harus sejak lama diawali.” Lalu kau duduk

di sudut dapur, menghitung waktu.

Kau tutup wajan dan mengecilkan api. Menuang santan

sewaktu air semakin tiris. Di meja makan masih

piring-piring yang sama. Tapi semerbak Gulai Balak

telah sampai. Lapar itu semakin tak sabar, tapi belajar

bersikap bijak. “Harapan adalah kenyataan yang dalam

perjalanan. Ia memang memabukkan.”

#3

Alangkah rumitnya kelezatan. Mula-mula ia berujud apa pun

dan berasal dari mana pun. Merica, lada, dan sederet nama

lainnya. Lalu sebuah upaya menyatukan, mengulek, menumbuk,

mengiris dan sebutan yang berbeda. Tapi tanpa api, segalanya

tidak akan sampai menjelma arti. Segalanya harus puas

menjadi sekedar rencana.

Di pinggan tersaji masakan dengan kuah kuning kemerahan.

Kepulan uapnya menebar harum yang nyata disiapkan

penuh perhitungan, cermat dan seksama. Rasanya telah

mencapai lidah, bahkan sebelum mencicipinya. Boleh jadi,

inilah malam di Tanjungkarang yang boleh didamba. “Apakah

kau masih lapar yang sama?” tanyamu.

Lapar yang agak terlalu itu tersenyum. Malu-malu.

Memilih untuk tetap membisu. Melirik penunjuk waktu,

mengira bahwa ia berhasil mengatasinya. Kau pun

meletakkan sewadah nasi putih, mengangsurkan segelas

air putih. “Malam masih akan panjang. Kusiapkan sajian

untuk delapan orang. Nikmatilah. Sendirian…”

Ags Arya Dipayana menulis puisi, prosa, dan lakon. Ia adalah sutradara Teater Tetas; tinggal di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar