Kompas, Minggu, 12 April 2009 | 02:57 WIB
Seretan Suara
suara siapakah yang menyeretmu hingga tergelepar di tepian pesisir
dengungnya tak seperti bunyi lebah, gaungnya tak seperti desiran angin
yang beradu kian-kemari di punggung lembah. suara siapakah
yang telah menelantarkan tubuhmu hingga tak sanggup lagi merapal
isyarat kerang pecah, tak sanggup membau amisnya lendir ikan
dan seperti menemu lubang dalam, kau tak sanggup menyuarakan
sakit pada badan yang diregang oleh jarak. di tepian pesisir tanganmu
digelipatkan, dan di lain jarak (mungkin di tengah laut) kakimu
diapungkan. seakan dijadikan umpan bagi ikan-ikan bergigi tajam
suara siapakah itu, yang menghelamu jadi makhluk pendiam yang
tak sanggup mengusap jejak pasir yang melekat di kening beningmu
Kandangpadati, 2009
Pohon Agung
1
kuamati sebatang tubuhmu
seperti mengamati sebatang pohon agung
di hari yang mendung
bola matamu kelihatan cekung
seakan menenung dan menghisapku
ke dalam tempurung yang mengapung
rambut yang terjalin dan berpilin
membayangkanku akan sumbulan akar
sehabis menusuk bebatuan lapuk dengan garangnya
dan di rengkah bibirmu itu
kayu-kayu belah di kemarau yang tak sudah
kemarau yang tak memberi pertukaran pada warna sungai
punggungmu entah berwarna apa
terlihat belang-belang dengan serat menebal
seperti bekas batang terpanggang
2
tubuhmu yang sebatang pohon agung
dengan buah lebat yang begitu nikmat dulunya
sering kali aku salah duga memaknai itu. ingatanku tak cukup kuat
menerjemahkan isyarat yang kau buat di kali kesekian hujan merambat
di suatu ketika aku hanya bisa berharap
tubuhmu yang sebatang pohon agung
dijadikan tempat bergelantung. dan akan melambungkan
keinginan beburung; mengarung langit lapang yang kini murung
cuma di kerisik daun jatuh
(barangkali itu tangismu turun) dapat kusaksikan
persetubuhan nikmatmu dengan badan angin. semacam
permainan, dan hanya lenguh burukmu yang bisa kutangkap
3
aku ingin mendekat dengan penuh harap
lalu mendekap tubuhmu yang sebatang pohon agung
sembari merapal doa-doa lama yang temurun diajarkan para tetua
agar senantiasa kau bisa memahami kesakitanku, kesakitan penebang
pohon rimba—sesekali aku merupa penggetah burung
siasat apakah yang bisa merubuhkanmu
sebatang pohon agung dalam mendung
aku begitu takjub pada tangkai dan surai lebatmu
yang mengucurkan getah mentah. harapku berjaga di antara patahan
ranting, di antara runtuhan lapuk dan terbangan gabukmu
4
agar di hari yang mendung
ketuban awan segera pecah dan tempias air dapat
berburu di kedudukan tanah
hingga tubuhmu, oh, yang sebatang pohon agung
menjadi pertanda dimulainya musim berpinak
bagi sepasukan semak
Kandangpadati, 2009
Esha Tegar Putra adalah mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar