Minggu, 29 Maret 2009
Sajak-Sajak Budhi Setyawan
Ada Yang Tertinggal Oleh Larimu
: sumantri
tak kau dengarkah roman rona masa silam
dengan teriak parau memanggilmu:
”pulanglah sebentar, aku mau cerita. tapi riuh kemilau
gerak zaman menindih sepimu bertubi tubi.”
tak pernahkah terlintas di kanvas jalanmu
waktu lalu yang dulu pernah dekatmu
kautinggalkan sendirian di sebuah halaman
meradang merana ditimpa kepanasan kehujanan
dirinya kian asing
memanggil dan terus memanggil:
”temui aku sebentar, sebentar saja, sungguh aku mau cerita.”
memang dirimu telah lesat jauh
dari langkah kecil yang merunut setapak
berganti jalanan lebar berpacu bising
jendela kamar tak lagi terbuka setengah
seperti dulu menangkap rembulan keperakan
kini rapat katup takut lembab malam
sumantri tak lagi lugu bocah dusun
telah menjelma punggawa kerajaan
yang bermain main di pendar dunia awang awang
menggebu menderu genggam putaran dunia
menegak menjelajah panggilan satria
ada selangkah yang belum tergapai nuju ksatria
sukasrana tak boleh terlihat
dan kemunculannya terhapus hunjam runcing
panah jumawa terpisah damai cinta
sukasrana
masa silam
menemanimu dalam membuka pintu
oleh ketukan terakhir pada nafasmu
Jakarta, 2008
Dedaun Yang Akan Terbakar
di ruang ini
mesin mesin menggeletar mencuri sunyi dan menggantikannya dengan riuh gemuruh
meniti rute yang telah disediakan oleh cuaca
sambung menyambung seperti membariskan kampung
yang mengirimkan tampias tanya di ringkih jendela
jalanan dan pipa pipa menarikan gerak aroma tembakau dengan irama musim panen
wajah berselimut kibaran asap tersembur
dari bibir yang galau mengeja samar
hunjaman waktu
tiada letih
tiada jemu
tlah dibuang segala keluh
di lembah yang jauh
meski ada yang menyelinap
seperti bayangan kucing yang lewat
sesak pengap
atau semacam perangkap yang menyimpan jawab
meski begitu lambat keong merayap
Cirebon, 2008
Kejap Lesat
ah waktu mengapa kau bergegas terburu
menyerobot kuntum puisi berembun
yang lagi kukunyah, belum juga sebait
tidak bisakah sejenak bersama
kita mengurai riwayat rasa
di kedalaman lubuk lubuk lengang
lepaskan segala hitungan dan angka angka
lukis sepenggal sejarah
tentang makna yang kian terbenam
di alunan gersang peradaban
ah waktu mengapa kau bergegas terburu
seperti dikejar kejar seribu hantu
yang menjelma sosok tuhan
sedang gores gores luka masih basah
mengucurkan ratap di anyaman malam
bentang layar yang memendam letih
ah waktu mengapa kau bergegas terburu
masih menghampar duri tanya meruncing
di lantai dinding dan langit kamar percakapan
menunggu rapat jawaban yang suka sembunyi
di sebalik dedaun redup perjalanan
ah waktu
kau kaku!
Jakarta, 2008
Malam Tanpa Sapa
senja membimbing patung patung itu
kembali ke alamnya sendiri
tanpa merdu lagu dan simponi syahdu
setelah berkelana jauh diajak terbang angin
bersua wajah wajah berdebu
kian didekati kian menjauh
kian diamati kian asing
terbirit menuju samar
mengais sisa purnama
yang dulu bersarang di pucuk kelapa
waktu gagap menatap warna
tak ada beda di tiap ruas
lepas genggam jejak cerita
keliaran kelam menyimpan bayang
sapa kawan lama
menyergap mendadak asing
gamang menyeruak menyerang
menerjang dengan senjata garang
kelam menempel rapat di serpih ruang
meraba raba relief langit
mencari tali cakrawala
yang tergerai di bilah doa
segala ucap terendap di letihnya
semua teriak terkurung di kamarnya
tak ada celah seberangkan kata
malam begitu batu
Bekasi, 2008
Pahatkan Waktu Pada Pencarian
kepakkan segenap tarianmu
kecup segala pucuk gelombang
di antara bayang perdu wajah merindang
desau angin berebutan
pada celah kisah yang masih saja merayapi
ceruk desa panjang kota
yang menyimpan kumparan kumparan cahaya
ragu yang bertingkat tingkat
muram yang berpangkat pangkat
desingan permintaan dan dinding kesanggupan
tawar menawar dalam degup gemetar lirih nyanyian
malam adalah selimut tebal yang penuh rayuan, juga
tirai yang terpasang di gerbang perpindahan usia
siapa siapa yang cerdik memainkan kitab rahasia
suara musim meringkas segala sadarku
sejarah perburuan usahlah usai
Bekasi, 2008
Di Sini Kucari Atlas Kenangan
mendung membuat langit miring dan limbung
aku ikut terhuyung mengingat ada yang tak tertampung
dari sebuah gaung igauan yang memanggil kursi taman
juga pepohonan bercabang rendah yang begitu mengerti
sediakan tubuhnya buat teduhkan kata kata yang nyeri
hujan yang tersimpan di pojok pojok kota
kadang begitu beringas memprotes cuaca dan suasana
memainkan lagu yang sarat improvisasi nada
engkau dan aku tertegun di semenanjung jeda
pintu pintu membentur di hidung dan kening kita
ada kalanya mesti diletakkan
keranjang penuh muatan di punggung zaman
kupanggil puisi puisimu yang kelebat bercuap di depan kaca
terus saja bersuara tanpa menolehku
berjingkat akan kutangkapi untai elok kata itu
namun ia begitu lihai menghindar
lalu bersekutu dengan tarianmu
bersama mulut angin menekuni tengkukku
mengirimkan gigil yang meluruhkan hijab mimpi
rontaku mengalir di bawah tawanya
yang memecahkan bentang dinding kamar, tawar
jarum jam merayu gedung gedung tinggi berbaring
melemaskan otot otot setelah bekerja seharian
kepenatan yang mengisi pembuluh peradaban
juga endapkan debu debu yang tadi beterbangan
tiang tiang lampu jalan saling pagut berpelukan
mengisi ruang ruang kemuraman
yang saling berkelindan menafsir beku percakapan
suara gamelan yang semakin lirih dan rintih
belum sempat kita perbincangkan dan terjemahkan
ada kalanya nyeri ditahan
simpan di balik jeruji kesah dan teriakan
ketika pucuk malam mulai melelapkan gang dan jalanan
masih saja kausimpan misteri keindahan tak tergantikan
Semarang, 2008
Di Sarang Urban
di sarang urban
kata kata tiarap
sembunyi takut ada razia
keluar bila ada teman
aroma senja
kelam malam
temaram bulan
girang bintang
meliuk dalam jinaknya
di sarang urban
percakapan kian diam
tak mudah untuk mendapat jeda
nyaman masa disekap gaduh
mesin bernyanyi
beton menari
sepi terusik
asing terpetik
nurani terisak menyesak
di sarang urban
waktu melesat kilat
tak sempat mengangkut jerit
panggilan yang datang terlambat
rintih ratap
kelam musim
pekat mimpi
tatap duri
guratan jawab menguap
Jakarta, 2008
Kerajinan Jiwa
karena hujan memanggilmu pulang
ada atap yang bocor serambut
meneteskan elegi di sebuah kamar di rumah kenangan
diiring badai kata kata menyodorkan kecamuk
menghunus hiruk pikuk
terburu segera menemu peluk
puisi yang lama tersimpan di lambaian pantai
memerah jingga diperam senja
ada yang mesti diurai lagi
lalu dirajut kembali
juga diberi sulaman warna yang lebih berani
karena percakapan dengan hening kedalaman
memberikan titik runcing cahaya
dan sayapnya mengepakkan damai
ke dalam setiap rindu yang tercipta
Jakarta, 2008
by : Arie MP Tamba
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar