Puisi Endang Supriadi
Jurnal Nasional, Minggu 29 Maret 2009
Jurnal Nasional, Minggu 29 Maret 2009
AKU SATU DI ANTARA
berlapis-lapis kata bertumpuk
di meja seminar. berlapis-lapis kabut
menumpuk jadi kalimat di benak
para penyair. berlapis-lapis kalut
membalut di hati para pemabuk
akulah satu diantara pemabuk itu, tuhan
mabuk oleh rasa asing ini, mabuk oleh
peradaban bumi, mabuk oleh moleknya
luka, mabuk oleh anyir belerang kawah
mabuk oleh waktu yang berpohon empedu
berlapis-lapis angin merangsek
ke dalam kamar. berlapis-lapis ingin
mendesak batin. berlapis-lapis angan
berpegangan di kerongkongan jalan
berlapis-lapis tepis, gagal membatas deras
akulah satu diantara yang engkau beri gigil itu
meringkuk di dalam kalimat pucat
kata-kata tak tuntas selesaikan makna
dingin ini terus membekukan sendi-sendi
pikiran, aku terhuyung di negeri bualan!
Lembang, November 2008
KALUT YANG BERKABUT
jalan meliuk seperti rambutmu yang
diporak angin. garis lidah lahar
mengurai tebing ke titik paling dalam
itu kabut menyerupai kalut hatimu
yang memar oleh lilitan akar soal
engkau lempar rasa pedih ke dasar kawah
siapa peduli dirimu jadi kabut di gunung ini
sebab setiap kaki punya langkah sendiri
setiap hati punya rumah pribadi
batu cadas yang kaududuki
tak lebih sebagai tonggak peradaban
yang rapuh. ia akan surut oleh waktu
seperti kita yang menganggungkan kata
sebentar saja dibuat jadi si perkasa
si lelaki tua itu berharap dirimu jadi kupu-kupu
di kamarnya. membawa pulang sepotong hatinya
yang patah di tikungan jalan. ia meminta kau
melekatkan kembali patahan hatinya itu dengan
liur kerindungannya yang tak henti menetes
dan kau harus pasrah ketika tempat peraduan
jadi medan pertempuran!
G.T. Parahu, November 2008
SEORANG PENARI YANG BERNYANYI
di sini, laskar dingin menguasaimu
namun letupan api di matamu tak terjangkau
oleh gigilnya. kau menari di atas lapisan kabut
mengurai kehangatan ke pucuk-pucuk cemara
lelaki adalah seekor buaya berlidah mawar,
katamu. tumbuh dari selangkangan bumi
dia tak sadar sudah kalah sebelum fajar
dan jadi undur-undur dibalik punggungnya sendiri
di sini, purnama hanya sekeping kancing
di kerah baju. jarang keluar dari peradabannya
namun seribu matahari telah engkau gantungkan
disudut-sudut malam, di rimbun kegelapan
kau bernyanyi dan tertawa
menangis dalam dahaga. lalu kau berteriak,
“kalian kenal aku? aku adalah sebuah kegelapan
yang kalian ciptakan di setiap malam!”
Lembang, November 2008
GADIS LEMBANG
bernyanyilah irene bagi kegundahan pagi
dimana bunyi gelas yang beradu telah
membuat kian jauhnya angin ke dingin
bernyanyilah irene sebelum meja peradaban
digerakan oleh otak yang liar, dicabik-cabik
oleh keheningan gerimis yang menenun sunyi
jadi gelang-gelang sepi
leher ini telah dililit oleh rasa jenuh yang
amat dahsyat. kabut telah merangkai lembar
kegelapan sampai ke tiang iman
jiwa lebam dalam kelam
embun tak jadi api, namun kilaunya
telah menyileti rasa gugup ini. penyair
bukan penyihir, irene. ia tercipta dari kata-kata
jika kau suka, kata-katanya akan jadi legenda
jika kau tak suka, kata-katanya akan cepat binasa
bernyanyilah irene bagi kegundahan hati
bebukit tak lekang oleh kabut, tapi sirip embun
telah memasang sayap dinginnya diseluruh tubuhku
bernyanyilah irene, agar udara yang keluar dari
napasmu dapat menghangatkan seluruh isi
peradaban ini. aku; orang pertama yang akan
menguak kabut bagi kegelapan langkahmu.
Lembang, November 2008
DI BALIK CADAS
dibalik cadas kau simpan kelembutan. namun
lelaki yang menanam mawar di tangkai melati
tak tahu kalau hatimu ikut tergores. angin sejuk,
bersisik belerang. kau tetap tersenyum tatkala
hujan menanam kembang paku di kakimu
lembang telah mengalunkan tembang kerinduan
pohon-pohon cemara luruh di setiap pagi
tapi bukan engkau irene. bukan engkau
engkau adalah segumpal kapas yang terapung
di ujung mendung. dan lelaki itulah yang telah
jadi lumut disela batu kali yang terbelah. ia kalah
tatkala engkau mengelak di saat ia hendak menapak
baiklah irene. jakarta takkan kubawa ke dalam
pikiranmu. biarlah kota itu hanya akan jadi bayang-bayang
di kolam, atau menjelma seekor kunang-kunang
yang melintas di malam-malammu. bukan sebuah kota
yang harus kaupercayai seperti kasih ibu
aku akan berkata bahwa jakarta,
sebentar akan jadi pacuan kuda. dimana para
penunggangnya akan berpacu dengan polusi dan polisi
dan semuanya akan jerah dan kalah.
Lembang, Nopember 2008
ANAK ANAK YANG BERJARAK
anak-anak yang berjarak dengan asap
perlu tahu dimana rumah bunga, juga
taman bermain yang kerap menjelma
busa sabun mandi di dalam mimpinya
bukan dibawa ke sarang api atau ke
rumah debu bagi kebutuhan hidupnya
anak-anak adalah pemilik keindahan
keceriaan dan gelak tawa. anak-anak
yang berjarak dengan batu, wajar masuk
ke dalam wilayah pelangi. bukan berada
di simpang jalan, menghitung panjang
trotoar, dan berlama-lama jadi sapi perah
dijalanan
anak-anak adalah sumber energi sehat
roda yang menggerakan kaki kita
ia kelewang bagi kejenuhan. mereka
pion yang seharusnya ada dibelakang kita
sebagai pendorong semangat. mereka
bukan tameng bagi kelemahan kita
mereka adalah air di dalam api kita
anak-anak yang berjarak dengan pengalaman
dunianya adalah bermain. bukan pengumpul
kulit kacang, bukan pula pelebar sesak jalan
mereka adalah pencipta simfoni hidup kita
tembang-tembang indah saat kita lelah.
Citayam, November २००८
by : Arie MP Tamba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar