Minggu, 29 Maret 2009

Sajak-sajak Bernando J. Sujibto

Puisi Puisi Bernando J. Sujibto
Koran Tempo Jakarta | Minggu, 15 Mar 2009




Katedral Batu 1

sebuah kitab di tanganku
menuliskan salju baris putih
kepingannya akan pecah
di kotamu
sebagai hujan
yang mengetuk

dan pintu-pintu akan terbuka....

(2008-2009)


Katedral Batu 2

1/
tersepuhlah tuah
bagi masa silamnya
yang hilang
yang mengingatnya
luka-luka akan gemeretap
tiap dinding tergurat
sepanjang ruas baca
musim-musim payau
luruh ke geraian

ingatakan!
yang retak tak kan terberai
demi selembar daun
yang tumbuh dari akarnya
akar-akar yang menyulamnya
menjadi tembaga senja
di lembaran doa

ia akan menyapamu
selekas kedipan petir
yang telah merubuhkannya

2/
setiap mengingatnya
aku akan meniupkan pasir
dari sesap keminyan ke wajahmu
hingga bersekutulah waktu
menjadi sumbu
getar yang biru

biarlah tumbuh
untuk rubuh
bangunkan mereka
di atas tatal yang beda


(2008)


Nokturna Hujan
Atawa Batu Ajaib?
-(sms dari Cak Rushdie Anwar)-

”dalam hujan
kurasakan tuhan begitu dingin
dan menyurukku menggigil”

”dalam hujan
tak ada yang kepanasan
saat tubuh mereka terbakar”

”dalam hujan
lahir batu
menjadi riuh yang aneh
bagi kota dan orang-orangnya”

”ada yang menusuk ke dalam ingatanku. Menyaksikan mereka kembali kepada sunyi muasal dan keminyan yang terkubur di sebuah pusara menghantarkan mereka tersilap dalam kepingan senja yang tembaga. Di sana tubuh mereka telah menjadi rel kereta bagi perburuan yang hilang, bagi pencarian yang tenggelam”

”dalam hujan kini aku beku
dalam batu kini mereka menggigil”

(2009)


Jalan Sungai
ke payakumbuh

setiap ujung daun
selalu mengucur air
seperti kesetiaan sungai
kepada setiap jalan di sini
sungai untuk semua, bisikmu
menerbangkan mimpi ke awan
mengembalikan hujan ke tanah
dan
mereka pun lahir
dari jantung tanjung
dari kelokan maninjau
dari tepian sungai-sungai
menjadi kilap batu di langit
menjadi tuah pusaka semesta
dari bukit
langit begitu dekat
merapat ke segenap sudut
jalan-jalan seperti berlepasan
menuju tubuh yang siap dilahirkan
menuliskan seribu peta keberangkatan
matahari dari balik kedipan siap bersambut
merajam sangsai sungai di laut, kisah masalalu ditenggelamkan
aku datang seperti sepasang insan bertemu dalam pelukan tuan
leluhur kata-kata yang telah merajut pelangi dari semua musim
merangkumnya di sini, di jalan sungai yang terus mengucur air


Ihwal Serpihan Musim

hujan

ia mendiamkan ombak di lorong mataku
menuju tujuh lapis kepada satu langit
kelak ia akan menjejak di pipimu
menjadi peta anak-anakku

kemarau

ke tepi bukit, ke sawah bawah sana
petani menaksir buah simalakama

kabut

engkau lebih awal menghapus ingatan
adalah bayang-bayang di balik hujan

jejak

yang dihapus akan acap datang
lantaran angin menyeka beranda


(2008)




Setelah dari Rumah Atas Bukit
Kepada Bang Raudal Tanjung Banua

jika ke pesisir selatan, terbayanglah ombak
menjahit langit dengan tungkai bukit taratak
ada kuda yang berkelebat di balik saga senja
“tabik bagi orang-orang rantau!” kata mereka

dari atas bukit itu, si koto, mengurai kisah
jarak pandang antara laut dan beranda rumah
tergerai pelangi, bersambut warna-warna sisik
ikan di langit, sketsa kapal-kapal perantauan
yang tak pernah bisa ditambatkan

laut, di sini, lebih setia menyimpannya
sebagai rahasia yang tak tersebut namanya

di ujung april sebelum ke payakumbuh
kelahiran itu kutemukan seperti selendang subuh
mengakrabi daun yang uratnya kini menjadi pohon
dan di tengah pagi ia akan pecah menjadi awan
terbanglah ke semua sudut langit, yang begitu dekat
dari atas bukit bekas rumah dan rehat kisah kesah

dan, jalan ke bukit itu setiap hari berubah
sukma tertusuk duri hingga berkali-kali
seperti tak sanggup melayat kembali

setelah dari rumah atas bukit itu
jarak bukit dan laut begitu dekat

jika orang memanggul rotan, ia
pasti baru saja berlayar di laut
jika mereka membakar ikan, ia
pasti baru saja berburu di bukit

(Padang, April 2008)

by : Arie MP Tamba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar