Minggu, 29 Maret 2009

Sajak-sajak A. Muttaqin

Puisi Puisi A. Muttaqin

Jurnal Nasional, Jakarta | Minggu, 01 Mar 2009



Sepuluh Lanturan Tentang Hutan


i
Malam adalah telur yang menetas,
dan aku ingin kau tak menetaskanku.

Begitu berwarni perangai mimpi,
sedang pagi tinggal kuning tai

dan kau tak akan kembali.
Tapi, aku tetap memimpikanmu,

keluar dari kuntum bunga dan
berkata, larilah, kejarlah…

ii
Darahku membeku.
Sepasang kakiku jadi batu.
Dan, jika ada yang terbang dari ubunku,
itulah yang menumbuhi malam-
malamku.

Kau tahu?

Duh, bagaimana aku tanya itu padamu,
sementara tak ada angin puyuh
yang sanggup menerbangkan kunang-
kunang dari matamu?

iii
Rusukku pun berbulu.
Malam bergemuruh.
dan aku ingin angan jadi ungu,
setenang subuh.

Biar kuda-kuda merah meringkik.
Biar langit yang masih punya banyak kerdip itu
memekik.

Aku tak ingin seperti kumbang
dan singgah dari kembang ke tembang.
Aku tak ingin jadi jalang dan mengerang
di padang panjang.

Sayangku, datanglah kau bagai subuh.
Beri aku pagi dan kupu-kupu

iv
Aku sebut namamu,
tapi separuh lidahku jadi batu.

Menyebut namamu dengan batu?
Ah, bukankah dengan lidah dan seluruh pun
aku hanya gagu?

v
Rambutku mengeras
dan mataku terlepas,
seperti kelereng menggelindingi sepi.

Sepinya basah. Oh,
apa mataku sedang menangis sendiri?
Seperti dulu, ketika ia sering
kupakai mencuci bajuku.

Ketika
tanganku masih bisa
rasakan air dan dingin.
Ketika
masih ada ledakan-ledakan kecil
di balik dadaku.
Ketika
kuku belum merambat
ke sekujur dagingku

vi
Kau tak usah jadi ibu dan mengutukku.
Kini, aku telah sempurna jadi batu,
lebih hening dari spinx
menghikmati sepasang mawar
yang memekari dagingmu.

Dan aku pun tak mungkin lagi menikammu,
seperti bayi ranum yang mengasah
segenap taring dan purbaku?

Tubuhmu lebih luas timbang waktu.
Dadamu lebih bebas timbang kupu-kupu.
Dan farjimu seganas giras sungai
yang menabrak dan melemparku
ke gunung,
ke kembaranku yang setia
menunggu terjun

vii
Kau tahu,
sungai dan batu tak pernah bersekutu?

Maksudku, aku tak mungkin
mencumbumu. Aku selalu gagal
mencecap getah perdumu, seperti dulu,
ketika mula belajar tidur.

Sebagaimana keinginan kembali
ke gua gaib, di mana tuhan pernah mengintip,

membisikkan tiga suku kata
yang memekarkan jantungku:

tiga suku kata yang mirip panggilanmu.

Hingga,
rusukku yang berbulu itu terbang,
layaknya kupu-kupu lugu yang hinggap
di lengkung alismu,
di kelopak matamu
yang dungu

viii
Tapi dungu bukanlah milikmu.
Kau lebih beku dari batu.
Kau lebih ungu timbang masa lalu.
Kau juga melebihi keruh ibuku.

Hingga,
aku tak bisa menemukan perutmu.
menyusup ke rahim,
atau mengalir
di arus nadimu.
Menjadi terumbu di laut darahmu,
dan bukan jadi batu yang sendiri,

di sini,
di bugil pagi yang menggigil
di bawah kuntum matahari

ix
Ini tentu sudah ngelantur, bukan?
tapi tidak. Tidak, Sayangku.
Prihal cinta memang sering tampak ganjil.
Dan mungkin, 1001 pangkur,
1001 mazmur tak akan manjur bertutur.


Sebelum kita benar tidur,
baiklah, kulengkapkan cerita ini:

Kamu tahu, apa yang diminta Hawa
ketika Adam mulai tergoda?

Waktu itu, sorga serupa bunga raksasa
dengan bulu dan sepasang-pasang
penuh warna.

Dia meminta itu. Maksudku,
lubang itu. Dan seperti Adam yang merajuk
ceruk hitam, aku terkenang
lubang batang kayu yang
persis milikmu.
Milikmu.
Dan milikmu.

Di lubang itu, bersembunyi
ular bermahkota mawar yang membuat
jantung keduanya jadi nanar.
Hingga tanpa sadar
mereka bareng berujar,

ajari kami, ajari kami terbang
menuju hulu dan kupu-kupu…

Dan mereka pun diajar.
Mula-mula mereka dianjur menjuluri tidur.
Dan tidur mereka jadi ular yang saling membelit,
seperti sepasang kutuk yang melingkari pohon.

Pohon yang di tengahnya,
lubang yang tak pernah habis terbakar itu,
tiba-tiba menyala dan menjatuhkan mereka
ke kedalaman panas dan bergetah.

Sebutir apel pun pecah.
Sepuluh kupu di pucuk tangan adam terbang,
seperti luput pertama yang berteriak dan meminta:
Bapa! Bapa!

:sejak itu, manusia punya kuku
untuk mencakar dan berdoa.

x
Pagi jadi bangka.
Waktu seperti lelaki tua
yang diam tak bersuara.

Dan, seperti Adam yang kembali terjaga,
aku hanya duka yang menatapmu,

menatap dedaun yang tumbuh dan gugur
di wajahmu, seperti jari-jari gaib, melambai
hari-hari yang pucat pergi, tanpa berahi...

(2008)




Bunga Batu

Duh, bunga batu yang tumbuh di badanku,
aku ingin mencucupmu sekeras batu:
batu yang melahir dan mengutukku.
Lalu, kita sama pergi,
seperti mimpimu,
seperti mimpi batu yang tak mati-mati
dan berkedipan
sepanjang pantai.
Aku tahu,
(seperti yang juga kau tahu),
pantai hanya pantai.
Pantai bukan ibu yang membuat kau dan aku
lebih batu.
Dan aku juga tak mencintaimu seperti cinta batu.
Ketahuilah,
cintaku bukan gelang atau cincin,
cintaku hanya pasang saat aku bimbang
dan tuhan menghilang.
Jangan katakan cintaku bulan, sebab
cintaku hanya bunga api yang menyala pergi.
Jamur-jamur di tubuhku meninggi,
lebih tinggi dari mulutmu,
mulut batu
juga mulut nujum
yang tak pandai
menyebut mati.
Lalu,
aku pun mencucupmu
seperti menciumi selingkar batu
dalam kitaran pantai,
seperti mengitari hari-hari
yang pulang-
pergi
dengan ciuman batu
yang membunuh sang ibu
dan melubangi perahuku…


(2008)



A। Muttaqin, dilahirkan di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore. Puisinya merambah berbagai media, lokal pun nasional, seperti: majalah sastra Horison, Kompas, Koran Tempo, Surya, Suara Merdeka, Suara Indonesia, dan Surabaya Post॥ Selain itu, terhimpun juga dalam beberapa antologi bersama, yakni: Album Tanah Logam 2006, Pelayaran Bunga (Festival Cak Durasim 2007), Rumah Pasir (Festival Seni Surabaya 2008), dan 100 Puisi Indonesia Terbaik (Anugerah Sastra Pena Kencana) 2008. Kini bekerja sebagai editor.


by : Arie MP Tamba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar