Tiga Kisah Pertempuran Kumbakarna
1
aku ingin tidur tanpa selimut anggur tanpa kipas dayang tanpa kelambu wangi, Paman Prahasta. Kumbakarna, raksasa lembut itu, seperti sedang mengelus-elus bulu-bulu harum sayap kuda sembrani. Gerimis bunga kenanga, hujan cahaya, dan denting gamelan Lokananta menyusup pelan-pelan ke seluruh telinga rakyat Alengka. Aku akan pulang ke Panglebur Gangsa, Paman, aku akan bertapa memasuki gua suwung tanpa cericit burung tanpa genderang perang yang ditabuh para hantu. Ia, pertapa yang menjelma gunung mendengkur itu, kemudian memasuki keajaiban hijau malam, terbang menembus kelopak- kelopak langit dan akhirnya mengigau tentang pintu surga yang tidak pernah terbuka tentang dewa dewi yang tak pernah berhenti memetik harpa. Jika saatnya tiba, Paman, jika Alengka telah terbakar dan segala ingatan tentang keindahan kepak kelelawar hangus, bangunkan aku dari rahim mimpi yang asing dan teduh. Akan kulawan Ramawijaya meskipun...
2
kau tahu panah sakti seteru Rahwana itu memang memenggal leherku, Wibisana. Kau juga tahu Laksamana melumpuhkan tangan, kaki, dan keberanianku. Tetapi mengertilah, aku tak bertempur untuk istana dan keindahan gua pertapaanku. Aku hanya ingin Alengka tak lampus dan kematianku menjadi rahasia kekalahan siapa pun menghadapi keraguan. Kumbakarna lalu pamit mati kepada angin dan semua kuda jantan. Ia berharap tak ada lagi yang bertikai untuk sesuatu yang hampa untuk sesuatu yang tak layak dipertengkarkan. Bukankah kematian kera-kera itu akhirnya tak membuat Rama percaya pada kesucian Sinta? Bukankah...
3
kematianku tak membuat surga membuka pintu untuk pertobatan seekor raksasa, Indrajit. Kematianku hanya melahirkan arwah harum yang mengendarai ular jantan. Bersama tujuh bidadari dan sepasang genderuwa kembar, turunlah dari kereta kencana perangmu. Tak ada gunanya kau membunuh kera-kera itu. Tak ada gunanya kau membunuh Rama yang telah kalah sebelum kaulesatkan panah api pertamamu. Tapi tetap saja Indrajit berangkat berperang dan binasa. Tetap saja Rahwana murka dan binasa. Tetap saja aku tak bisa menghentikan pertempuran melawan kegelapan yang sia-sia.
2008
Kwatrin Kali Mati Kunti
akhirnya setelah ia lahir kembali sebagai sungai, setelah tak lagi mendengarkan dentang tombak dan perisai beradu, setelah dada-dada para petarung Kurawa terbelah dan tak terembus anyir darah, ia—kekasih para dewa itu—menjulurkan hikayat tentang Basukarna, lelaki rupawan yang diabaikan oleh Pandawa.
"Akulah yang kaudengar telah melahirkan lelaki perkasa serupa Arjuna dari telingaku yang tuli. Akulah yang menghanyutkan bayi kemilau itu di sungai penuh tinja hanya agar rakyat menganggapku sebagai perempuan kencana, suci dari amis dosa, sunyi dari gunjingan busuk para dayang dan mambang istana."
ia tahu kusir istana yang sedang memandikan kuda kelak akan mengajari putra dewa itu mengasah pedang, membuncahkan amarah kepada musuh, dan karena itu ia kenakan anting-anting bergambar matahari di telinganya. Kau tahu, di hiasan emas 24 karat itu, terukir kebanggaan ibu pada ksatria yang berseteru dengan Arjuna, putra surga.
"Aku menangis saat ia mulai meludahi wajah Arjuna. Aku pingsan saat mereka mulai menghunus pedang. O betapa Duryudana telah memberi zirah indah untuknya. Betapa mahkota Awangga telah membuat putra yang tak kulahirkan dari gua garba itu tak mengerti debu-debu akan segera mengembuskan maklumat keajalannya."
ia paham akhirnya kedua ksatria memang kemudian bertempur. Karna membela Kurawa dan Arjuna berperang demi kejayaan Pandawa. Ia pingsan saat Krepa bilang, "Jangan berperang Anak Lanang. Tak perlu berseteru antara sepasang rembulan. Tak perlu saling menghajar antara sepasang cinta di kegelapan."
tapi Nyanyian Tuhan tak menyusup ke telinga putra Pandawa
panah Arjuna memenggal kepala Karna
tawa Kresna menggelegak
dalam didih darah Kurusetra
"Aku tidak tahu apa yang segera akan kulakukan waktu itu. Yang jelas, aku menyesal mengapa tak menyusui Karna di keharuman taman. Aku menyesal karena tak mengajaknya bermain-main gundu, meminta Durna mengajari memanah kijang, dan sesekali membujuk dia mencium kekasih pujaan di antara hening gong dan sunyi gamelan."
dan kini setelah segalanya mengabur dan menjelma sungai, darah yang mengalir sampai jauh, ia, Kunti yang sedih itu, tak pernah merasa punya laut. "Tentu saja aku juga tak akan pernah menatap surga atau apa pun yang menyerupai ketenteraman. Tentu saja aku hanya memandang hutan terbakar sepanjang zaman dan nanah busuk selalu mengucur dari akar."
ia tak bisa kembali menjadi tanah asal segala cinta dan doa getir
"ya aku hanya bisa mengenang pernah menjadi mata air."
ia tak bisa kembali menjadi hujan yang menghentikan perseteruan terakhir
"ya aku hanya bisa melupakan keindahan tanpa amis senja dan cakrawala anyir."
"ia menghilang ke telinga Karna," kata kabut
"ia menjelma busur Arjuna," kata batu
"ia menjadi tangis Kresna," kata maut
"ia sudah muksa, melesap dalam kematian anak cucu Pandu," kata debu
"Ya, mengertilah, anakku, akulah sungai gelap
yang tak hendak mengalir ke laut yang gelap. Akulah kisah gelap
yang tak hendak mencari alur yang juga gelap. Aku hanyalah ibu yang ragu melahirkanmu dalam kemilau cahaya bulan."
ia hanya bulan
berlumur lumpur
ia hanya lumpur
dalam hening kuburan
"Aku hanyalah firman yang salah
Aku hanyalah nubuat busuk
yang abai pada kutuk
dan sengat sejarah."
"tidak, bunda, kau tetap saja panah butaku," kata Arjuna.
"kau tetap saja api amarahku," kata Karna
"kau tetap saja tipu muslihatku," kata Kresna
"kau tetap saja...."
"Debu najis
asal muasal perseteruan
Akhir amis
siasat bengis peperangan."
ia gong tanpa bunyi
gerak tanpa tari
ia lorong tanpa tepi
doa tanpa arti
"Aku gong tanpa bunyi
gerak tanpa tari
Aku lorong tanpa tepi
doa tanpa arti."
maka sungai mati hanya berhikayat tentang sungai mati
tak ada denting kecapi
tak ada lenguh sapi. Tak ada kanak-kanak berteriak, "Ibu, Ibu, lahirkan kami kembali sebagai dewa dewi..."
ia, sungai dan semesta tanpa telinga, itu menangis
ia tahu tak mungkin melahirkan lagi Karna dari batu atau ganggang
ia tak mungkin mengulang kenangan yang telah terbuang
ia hanya bisa mengutuk kealpaan
maka sungai mati hanya berhikayat tentang sungai mati
tak ada denting kecapi
dalam zirah pertempuran abadi Kunti. Dalam gong terakhir
sebelum Mati
2008
Triyanto Triwikromo, selain menulis puisi, banyak menganggit cerita pendek. Ia bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suara Merdeka dan mengajar penulisan kreatif di Universitas Diponegoro, Semarang.