Repbulika, Minggu, 21 Desember 2008 pukul 09:26:00
Sajak-sajak Rukmi Wisnu Wardani
PUCUK ILALANG
walau angin tak henti mengoyak tulang
walau rimis menggenang di desah malam
untukMu, sekuntum bunga telah kupersiapkan
kalaupun tiba hari keputusan itu datang
izinkan kutuntas perjamuan
laksana nyanyian tafakur burung
di pucuk ilalang
November 2008
WAJAH SENGKETA
seperti kau saksikan,
kawasan hijau nenek moyang
kini berstatus sengketa
pasar malam diam-diam digelar
di tanah kuburan. jual beli pengetahuan
tawar menawar nilai kehormatan
adobsi sampai aborsi janin keluhuran
nampaknya sudah jadi hal biasa
jika dijadikan kudapan atau barang muntahan
bila semua mengaku teman saudara seiman
lantas mengapa lapak topeng dan belati laris
berjualan di pintu gerbang?
sesekali ada baiknya
melakukan seppuku di muka cermin
agar dapat memandang dan memeriksa
bahkan menyunat rupa kemaluan yang ada
daripada berbondong-bondong
(keliaran di tanah kuburan)
sambil membandrol harga diri
sesuai selera yang diagungkan
daripada meneriakkan nama-nama Tuhan
sementara barisan kurung batang
menyaksikan sambil cekikikan
September 2007
PEDANG BERLUBANG
ketika ditanya apa yang di butuhkan?
maka di katakannya: pedang
ketika di tanya
berapa banyak yang di butuhkan?
maka di katakannya: delapan
kembali ditanya, mengapa
begitu sulit melukis kata-kata pedang?
pedang berlubang menjawab
19 hal masihlah berupa teori
tapi 20 yang sebenarnya
adalah ilmu yang paling sempurna
inilah sebab mengapa ilmu kaligrafi pedang
begitu sarat mengandung pasukan
(sesarat purba tafakur alam)
dan inilah sebab mengapa ilmu kaligrafi pedang
mampu melesat sesempurna kilau cahaya
2006-2008
Rukmi Wisnu Wardani, lahir di Jakarta, 29 Juli 1973. Sarjana Teknik Arsitektur Lansekap Universitas Trisakti ini mulai menulis puisi di milis penyair. Sajak-sajaknya kemudian dimuat di berbagai media cetak seperti Republika, Kompas, dan Media Indonesia, serta terkumpul dalam sejumlah buku antologi puisi.
Senin, 12 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar