Sajak-sajak Putu Fajar Arcana
Kompas,Minggu, 4 Januari 2009 | 02:04 WIB
Uma
Pohon yang kau pahat di dinding luluh dalam kabut.
Seorang jejaka atau gembala tua
yang menahanmu di tepi hutan cemara.
Angin tak jua berkabar tentang risau langit senja. Dan para dewa
mengintipmu dari celah dedaunan. Mungkin mereka sangsi
tentang petaka
tentang kutuk yang kau derita.
Kau tahu air susu lembu itu, hanya tipu
gerutu pilu seorang pangeran kahyangan.
Tapi cemar telah ditebar. Pantang menjilat sabda
yang bagai kilat menyambar, menghanguskan pucuk daun.
Jadi pergi, pergilah sejauh hutan.
Seorang malaikat muda menunggumu
di balik rimbun cahaya. Dan jika mukaku terbakar
karena api dalam darahmu, sebaiknya tak usah kembali.
Sebab surga tak seperti diceritakan dalam kitab.
Penuh kutuk dan sabda keji para pangeran tua.
Uma, pohon yang kau pahat di dinding leleh dalam terik.
Seorang dewa atau gembala tua yang mengutukmu.
Pasrahkan pada angin agar senja memerah
dan mengantar mataharimu ke balik malam.
2008
Malaikat Bersayap
Di retak lenganmu burung-burung meruntuhkan bulunya.
Dan jam pasir mengucur menuju senja
yang baka.
Kaukah yang mengepakkan sayap, hingga relief
berguguran seperti serbuk waktu.
Dalam kelabu batubatu kisah dewadewi menjelma gulma
yang melilit lehermu.
Pada siapa kubertanya tentang wahyu yang terkubur di dasar lingga.
Kau yang mengirim senyap, biar kurengkuh dengan sayap
dan kutabur di celah yoni.
Sudah berapa lama kita alpa membaca penanggalan
hingga serbuk waktu membatu di pusaran gugusan candi.
Pada patahan tanganmu lumut-lumut tumbuh liar.
Dan jam pasir mengucur menuju malam
yang gusar.
Kaukah yang menjelma saat aku tengadah memandang langit.
Dan bintang-bintang berkedip tanda pertalian darahku dan darahmu.
2008
Candi Sukuh
Di depan seorang dewi aku ingat penggalan kepalamu
yang terguling di dasar lembah.
Sayap-sayapmu ringkih dikikis angin,
yang berabad-abad menyelinap ke bilik candi.
Siapa yang memutar waktu ke masa lalu. Siapa diriku dan dirimu,
kalau bukan seseorang yang meletakkan batubatu
untuk merengkuhmu dari balik kabut. Aku datang kepadamu
di sore yang hangat, aku datang dengan bunga dan hati sejernih sungai.
Dan jika bukan karena dirimu, aku tak tahu siapa diriku.
Tapi kau memenggal lehermu
saat aku bertanya tentang siapa dirimu.
Ah. Waktu begitu gulita, rapuh, dan sengsara. Menjeratku
dalam pusaran kehilangan demi kehilangan.
2008
Putu Fajar Arcana lahir di Kota Negara, Bali. Sajak-sajaknya termuat antara lain dalam antologi Mimbar Penyair Abad 21 (1996) dan Kembang Rampai Puisi Bali (1997).
Rabu, 21 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar