Rabu, 21 Januari 2009

Sajak-sajak Mardi Luhung

Sajak-sajak Mardi Luhung
Kompas,Minggu, 28 Desember 2008 | 01:14 WIB


Seperti Adam yang Bersepeda

Seperti Adam yang bersepeda, aku juga bersepeda di pantai. Sepeda besar, ban besar dengan tuter yang berat dan gembung. Yang jika dipukul bergaung dan menembusi setiap yang telah dan akan dilalui. Membukai arah-arah yang baru. Seperti sepeda Adam, sepedaku juga berwarna ungu. Dan setiap terkayuh, jejak bannya menggoresi pasir. Membentuk selang-seling yang dalam. Yang kelak akan dibaca sebagai awal huruf. Huruf di dalam setiap lekukan lidah. Dan seperti Adam yang turun dari sepedanya, aku juga turun dari sepedaku. Menghampiri tepi pantai. Memasang umpan. Lalu melemparkan mata pancing. Seloroh gertak akaran dan karang: Apa yang ingin kau pancing? Jawabku, sama seperti jawaban Adam: Aku ingin memancing Eden. Memang, setelah pengusiran dulu, Eden terus ditenggelamkan di pantai. Dedasaran menyimpannya di suatu ceruk. Yang kata kabar dari entah: Akan menyembul jika dipancing. Dipancing tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut. Tapi anehnya, waktu tepat matahari sampai geser dan angin berhenti di sudut itu, juga seperti ditenggelamkan. Lenyap dalam keabadian. Jadinya, meski dipancing, Eden tetap tak menyembul. Pantai tetap tenang. Penuh rahasia. Hanya degup sendiri yang terdengar. Dan keluhku, sama seperti keluh Adam: Jika memang tak bisa dipancing agar menyembul, maka aku akan meminta langsung. Ya, aku, seperti cara Adam, pun meminta dengan mendongak ke langit. Mencari-Nya. Mengintai-Nya. Tapi, adakah Dia melintas dan sedikit mengerling? Akh, seperti Adam yang kembali bersepeda, aku juga kini kembali bersepeda di pantai. Bersepeda sambil mendongak. Sesekali mengayuh. Sesekali memukul tuter. Dan sesekali mencari: Di mana Dia melintas, menyeret Eden. Dan di mana juga Dia mengerling, mengembalikan yang terusir?
(Gresik, 2008)


Sumur Merah

belajar dari al falaq

Sumurku telah menjadi merah. Sebab telah kau racuni dan kau lukai. Di dasarnya kau letakkan anak kunci. Agar aku tak dapat membuka pintu kamarku. Dan tidur di dalam kedinginan luar yang memar. Dari kerahasiaan yang tak aku ketahui, kau pun mengirimkan tulahmu. Seperti debu, tulah itu menelusup lewat jalusi. Dan seperti udara, menyembul lewat lubang-lubang. Dan aku melihat tulahmu bekerja dengan mata gasalnya. Memotongi malam dan menyeretnya seperti ternak. Ternak yang kau tawarkan di pasar-pasar. Sambil berbisik: “Di dalam kerahasiaan, tak ada yang tahu, jika kejahatan dapat aku tiup dengan sempurna.” Lalu aku yang tak jahat ini apa melawanmu? Dadaku memang telah penuh bisik-bisik. Agar menengadah dan bangkit seperti pohon-pohon yang menghadang. Tapi, sekali lagi, aku tak akan melawanmu. Aku hanya berlindung sambil memanjangkan rambut. Lihatlah rambutku yang keemasan. Dan lihatlah juga bagaimana rambutku teranyam, membuat bulatan liat untukku. Bulatan benderang yang begitu tak tertembus. Dan lewat bulatan benderang itu aku akan leluasa melampaui kerahasiaan kejahatanmu. Dan aku pun yakin, sumurku yang telah menjadi merah itu tentu akan kembali bening. Dan kamarku yang terkunci, tentu akan terbuka dengan sendirinya. Aku memang akan bernyanyi, dan kau akan kecewa berat. Dan aku menari, kau terus memotongi malam dan menawarkannya. Berapa keping emas yang kau dapat? Berapa kerahasiaan kejahatan lagi yang kau kirimkan? Berapa dan berapa? Lihatlah lagi: Aku yang bersujud di puncak pagi. Dan dari puncak pagi itu, bulatan benderangku terus melayari jagat. Seperti pelayaran kerahasiaan lain yang bukan kerahasiaan kejahatanmu. Tapi kerahasiaan yang sederhana. Dan lewat kerahasiaan yang sederhana itu, kau akan tahu, jika aku memang bukan apa- apa. Aku hanyalah si yang biasa-biasa. Yang sesekali berkata: “Kegentaranku yang utama, adalah kegentaranku sendiri.” Dan aku pun merasa, semuanya jadi demikian enteng…
(Gresik, 2008)


Zahrotul

langgam blambangan

Peri belia yang menunggang daun menyusuri Kalisetail. Mencari kekasihnya yang katanya dikirim lewat kereta Rogojampi. Kereta yang juga mengirim nyali para penyabung. Yang telah memasang taji di keningnya. Agar dapat menempur para penyeleweng di lereng Kumitir. Para penyeleweng yang kerap memotong sabuk tanggul. Sampai arus kedung menghilang ke Alas Purwa. Dan, ya, Kang Mas, Kang Mas... begitu harapan peri belia. Seperti harapan belalang di lubang gembok-gerbang-kampung Sempusari. Belalang yang punya sungut melengkung. Dan warna sesamar hantu Pakis bulan yang keenam. Hantu Pakis yang menangis lewat kelok jurang Mrawan. Tangisan yang membuat semua yang tampak jadi menyurut. Untuk kemudian melepuh. Dan melepuhi tiap genting. Juga tiap genting yang dimiliki orang-orang Using yang tak asing itu. Tapi, adakah, adakah kekasih peri belia itu akan segera tersua? Sayangnya tidak. Dan sayangnya juga, peri belia yang menunggang daun itu cuma bisa terus menyusuri Kalisetail. Dan di sepanjang susurannya (mulai dari Glenmore sampai ujung Kalipahit) peri belia pun cuma mendapat gelap. Dan di dalam gelap itu, ada yang terdengar sedang menyamak Gandrung. Ada yang terdengar sedang mendengung. Dan ada juga yang dengan diam-diam menjulurkan lengannya. Seperti juluran lengan milik sang Menak Blambangan. Lengan yang persis di otot pusatnya terselip sekepal saga yang tampak begitu menjantung. Tampak begitu ingin meronta. Meronta di dalam kelebat harapan yang tak akan pernah sempat terjamah. Lihatlah, kereta Rogojampi pun lewat sudah!
(Gresik, 2008)


Ular-Tangga

merah-mudanya lan fang

Kau pergi ke bulan. Dengan gairah dan bualan yang pernah mengawetkan jalur sulur air matamu. Sebab di inangmu, kau telah bosan menunggu dia. Dia yang akan turun dengan langkah-langkahnya yang berjingkat. Berjingkat dengan seluruh kegemetaran di rahangnya. Yang akan mengunyah tiap inci tubuhmu. Kunyahan yang selalu kembali dimuntahkannya kecil-kecil. Untuk kemudian dibentuknya lagi. Ketika pagi tiba. Dan ketika encikmu, si penghafal Yasin itu, menceritakan hidupnya: Hidup yang ingin jadi pengiman. Sebab tak ingin sekedar berdagang beras dan kelontong kiloan. Tapi runtukmu: “Mengapa, mengapa dia cuma mau mengunyahku. Mengapa tidak sekalian melahapnya?” Dan matamu yang sipit seakan terjepit itu pun terus saja mengarah ke langit. Mengarah ke setiap titik angkasa. Titik yang begitu lenggang. Seperti lenggangnya gaun satin Kwan Im. Saat dijadikan pembungkus potongan dua belah lengannya sendiri. Ketika dipinta si raja. Sebagai obat penawar (yang akan dikeringkan dan ditumbuk) bagi sebuah pagebluk yang telah digariskan oleh siasat. Oleh semacam permainan ular-tangga yang berhasrat menjungkirkan isyarat mandala istana. Tapi ketika bulan sudah tampak, mengapa tiba-tiba gairahmu buyar? Buyar menjadi biji-biji warna yang berlesatan. Membuat angkasa benderang. Benderang seperti sirip bianglala yang terbuka. Oh, di antara bukaan-bukaannya itu, kau pun lagi-lagi kembali cuma mendengar suara encikmu, si penghafal Yasin itu. Si penghafal tentang hari akhir dan perkaliannya. Serta sebuah penghalang, yang seandainya dipasang, tentu akan membuatmu tak akan bisa ke atas dan ke bawah. Diam di tempat. Seperti diamnya sebentang papan ular-tangga yang tergeletak. Ditinggalkan teka-teki kejelian dan keraguan dadunya!
(Gresik, 2008)


Mardi Luhung tinggal di Gresik, Jawa Timur.
Salah satu buku puisinya berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007). Ia bermukim di kota kelahirannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar