Minggu, 29 Maret 2009

Sajak sajak Inggit Putria Marga

Sajak sajak Inggit Putria Marga

kompas, Minggu, 29 Maret 2009 | 03:37 WIB

Pembawa Kincir

rambutmu meriap seperti garis-garis petir, ketika kemarin senja

kulihat kau melayang di atas tubuhku sambil membawa kincir

tapi mataku yang berbinar memandangmu saat itu, membuatmu tahu

lidi-lidi dupa yang kubakar tiap senja adalah mantra

yang akan menyihirmu jadi kuda

mungkin murka mungkin bangga

seiring putaran kincir yang tiada berawal-akhir, dari tatapanku kau menyingkir

lenyap sekejap peluh terserap pasir. aku menggigit bibir, terasa sisa putaran kincir

mengapung di angin sepoi semilir. di hatiku sesuatu berdesir, berkata:

pertemuan belum berakhir

pandanganku mencarimu di angkasa

ribuan burung gereja terhambur di bawah awan yang menyusun diri jadi tangga

menuju atap cakrawala. barangkali kau telah di sana, rebah sambil berpikir

mengapa aku hendak menyihirmu jadi kuda. di bumi, aku yang tak merasa dosa,

menutup mata. sisa senja telah mengubah planet ini jadi makam yang jarang

ditaburi bunga

hingga malam hilang hitam

kutunggu kau di padang mimpiku yang hijau, yang terhampar bagi domba-domba

beraroma kacau. namun kau tak lagi terjangkau, pergantian jam pun cuma persalinan

risau. apakah kau tersinggung dan berpikir aku tak serius menganggapmu agung?

sungguh, terlalu lama perjalananku terhenti. jutaan kilometer, padang api, laut duri,

hutan siluman sesak penghuni, membuatku getir meneruskan langkah mencapai asal

diri. sungguh, terlampau panjang waktu kau habiskan untuk memutar kincir

di ruang tersembunyi, menghindari para pencari, menghilang bahkan dari makna

terdalam sebuah puisi

senja ini kubakar lagi untukmu beberapa lidi dupa

datanglah. jika mantraku berhasil menyihirmu jadi kuda, kau akan lebih berguna

perjalananku mencapai asal diri yang lama terhenti pun

kembali bermula

2009


Bola Kristal

padahal sebelum sangkar hidup mengurungmu

aku telah menegurmu:

di telaga keruh, takkan membayang bulan meski separuh

bila genderang angin puyuh masih tertabuh

tiada mungkin tegak si gubuk rapuh

tapi umpama lampu penyepele kegelapan

betapa ringan kata-kataku kau silaukan

kau pergi sepergi asap meninggalkan api

di bara, aku sunyi pemeluk api

berwajah pucat terigu, setelah lima ribu malam bergerak

sepelan sayap debu, sore ini kau datang lagi padaku

kerut tangan, kabur pengelihatan, samar pendengaran

bukti sangkar hidup belum melepas statusmu sebagai tawanan

garis tubuh dan rambutmu mengaku

kini kau hantu labirin batu

labirin hasrat yang membuat anganmu terhempas

pada pemilik cinta yang sesempurna hawa dingin

pemilik cinta yang paling angin di antara semua angin

penujum, andai dulu kau bukan lampu penyepele kegelapan

maka kini di antara angin lebat pemutar roda musim

kujadikan kau selembar telaga jernih

tempat beragam bentuk bulan membayang

ratusan lotus mekar takzim menyarang

2009


Roda Sunyi

delapan butir telur embun

pecah di jalan batu

sembilan bulir air waktu

menitik ke kereta abu

di tanganku terbakar kamu:

cakram duri

roda sunyi

energi yang merebutku kembali

dari kurungan debu abadi:

hidup-mati

datang-pergi

membuat kepalaku

berdenyut dihutani ilusi

2008


Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.

1 komentar: