Membaca Nama-nama
Berlatar marmer hitam
nama-nama dicat warna emas
Seperti topeng cahaya
bergerak dalam kegelapan.
Tanpa suara
melangkah ringan di tanah perbatasan
Menatap hampa
Debu bergayut berat di matanya.
Nama-nama membagi
kartu duka tak terbaca
Luka-luka pucat
meraba dalam gelap. Usia muda
Pohon-pohon hening
menyanyikan lagu sendu.
Semua sudah berakhir.
Rasa haus dan tetes embun
Jalan-jalan berumput
Berbercak darah dan serpihan
daging hangus
berpencaran dalam kelam malam.
Aku mencari namaku
di antara tiga ratus nama-nama bisu
Di antara topeng-topeng pelangi
di langit yang melepuh.
Pelangi di langit malam
Pelangi di ujung kelam
Menarikan tarian lebah
dan kucing jantan yang berahi.
Di sekeliling jembatan rapuh
kunang-kunang membawa
aroma hutan sehabis hujan
Terbang bergetar
menyebut nama-nama berwarna emas.
Dan mawar melangkah diam
Di deretan nama-nama itu.
Sepotong Roti
Tak ada yang bermimpi
Tak ada yang menggeser pintu
Sepotong roti tanpa bayang-bayang
Seperti air membeku
batu mengeras
Termenung di atas meja
Detak jam di kamar sunyi.
Senja kembali dari perjalanan
yang melelahkan
Daun-daun gugur di halaman
Senyap dengan sayap peraknya
Mengambang bergerak lamban
Tak ada yang melangkah dalam mimpi
Hanya sepotong roti di atas meja.
Dan diriku serta malam dingin yang lain
Datang dengan langkah berat yang diseret
“Besok anak-anak akan lahir
pejamkan matamu
Bunga-bunga embun dan kupu-kupu kabut
Menari menyanyi kemudian berlari takut
Sebuah api kecil di taman, pejamkan matamu”
Kupejamkan mataku, tampak sepotong roti
Mendaki bukit suara... Suara riuh anak-anak
Kepak sayap di langit yang merintih kesepian
Kepak sayap bintang-bintang
Kepak sayap anak-anak bermain
Ringan seperti langkah awan musim kering.
Tak ada yang bermimpi
Tak ada aku tak ada kalian
Tak ada yang menemukan atau kehilangan
Matamu melekat pada pejam
Laparmu melekat pada nyeri
Pada sepotong roti yang mengeras di meja.
Sepasang Mata di Jendela
Di kaca jendela basah
Sepasang mata dingin
Menatap ke dalam kamar
Melihatku terbaring di lantai.
Jika aku tak bangun karena tidur kekal
Basuh tubuhku dengan wangi lelap
Dan bunga-bunga yang melayang ringan
Dalam suram kamarku yang senyap.
Sepasang mata tanpa kedip
Menjadi embun kelabu musim hujan
Jemari bulan Desember yang basah
Derit jendela yang catnya terkelupas.
Ternyata dalam maut
Kita tidak menemukan siapapun.
Tak ada malaikat atau bulan
Hanya hening ngarai yang dalam
Tanpa rasa ... Tanpa sapa
Hanya nyenyak yang tak kuinginkan berakhir.
Datanglah ke pestaku, pisau-pisau
Datanglah dengan pakaian berkilatmu
Kedua tanganku akan merangkulmu
Di bawah tatapan sepasang mata di jendela.
Ayo, menari ...Ayo, menyanyi
Masuk kalian ke senyap gairahku
Ke rongga tanpa dengungku...Ayo ...Ayo
Tatap maut itu, tak hirau janji-janji manis
Atau ancaman mengerikan.
Kantong empedu yang pahit dan bernanah
Bikin aku senang ...Bikin aku bergairah
Menggoyangkan seluruh tubuhku
Dalam irama liang kuburku.
Frans Nadjira lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 3 September 1942. Bukunya yang telah terbit antara lain Jendela (1980) dan Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun (2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar