Kamis, 26 Maret 2009

Sajak Sajak Frans Nadjira

Sajak Sajak Frans Nadjira

Kompas Minggu, 15 Februari 2009 | 01:24 WIB


Membaca Nama-nama

Berlatar marmer hitam

nama-nama dicat warna emas

Seperti topeng cahaya

bergerak dalam kegelapan.

Tanpa suara

melangkah ringan di tanah perbatasan

Menatap hampa

Debu bergayut berat di matanya.

Nama-nama membagi

kartu duka tak terbaca

Luka-luka pucat

meraba dalam gelap. Usia muda

Pohon-pohon hening

menyanyikan lagu sendu.

Semua sudah berakhir.

Rasa haus dan tetes embun

Jalan-jalan berumput

Berbercak darah dan serpihan

daging hangus

berpencaran dalam kelam malam.

Aku mencari namaku

di antara tiga ratus nama-nama bisu

Di antara topeng-topeng pelangi

di langit yang melepuh.

Pelangi di langit malam

Pelangi di ujung kelam

Menarikan tarian lebah

dan kucing jantan yang berahi.

Di sekeliling jembatan rapuh

kunang-kunang membawa

aroma hutan sehabis hujan

Terbang bergetar

menyebut nama-nama berwarna emas.

Dan mawar melangkah diam

Di deretan nama-nama itu.


Sepotong Roti

Tak ada yang bermimpi

Tak ada yang menggeser pintu

Sepotong roti tanpa bayang-bayang

Seperti air membeku

batu mengeras

Termenung di atas meja

Detak jam di kamar sunyi.

Senja kembali dari perjalanan

yang melelahkan

Daun-daun gugur di halaman

Senyap dengan sayap peraknya

Mengambang bergerak lamban

Tak ada yang melangkah dalam mimpi

Hanya sepotong roti di atas meja.

Dan diriku serta malam dingin yang lain

Datang dengan langkah berat yang diseret

“Besok anak-anak akan lahir

pejamkan matamu

Bunga-bunga embun dan kupu-kupu kabut

Menari menyanyi kemudian berlari takut

Sebuah api kecil di taman, pejamkan matamu”

Kupejamkan mataku, tampak sepotong roti

Mendaki bukit suara... Suara riuh anak-anak

Kepak sayap di langit yang merintih kesepian

Kepak sayap bintang-bintang

Kepak sayap anak-anak bermain

Ringan seperti langkah awan musim kering.

Tak ada yang bermimpi

Tak ada aku tak ada kalian

Tak ada yang menemukan atau kehilangan

Matamu melekat pada pejam

Laparmu melekat pada nyeri

Pada sepotong roti yang mengeras di meja.


Sepasang Mata di Jendela

Di kaca jendela basah

Sepasang mata dingin

Menatap ke dalam kamar

Melihatku terbaring di lantai.

Jika aku tak bangun karena tidur kekal

Basuh tubuhku dengan wangi lelap

Dan bunga-bunga yang melayang ringan

Dalam suram kamarku yang senyap.

Sepasang mata tanpa kedip

Menjadi embun kelabu musim hujan

Jemari bulan Desember yang basah

Derit jendela yang catnya terkelupas.

Ternyata dalam maut

Kita tidak menemukan siapapun.

Tak ada malaikat atau bulan

Hanya hening ngarai yang dalam

Tanpa rasa ... Tanpa sapa

Hanya nyenyak yang tak kuinginkan berakhir.

Datanglah ke pestaku, pisau-pisau

Datanglah dengan pakaian berkilatmu

Kedua tanganku akan merangkulmu

Di bawah tatapan sepasang mata di jendela.

Ayo, menari ...Ayo, menyanyi

Masuk kalian ke senyap gairahku

Ke rongga tanpa dengungku...Ayo ...Ayo

Tatap maut itu, tak hirau janji-janji manis

Atau ancaman mengerikan.

Kantong empedu yang pahit dan bernanah

Bikin aku senang ...Bikin aku bergairah

Menggoyangkan seluruh tubuhku

Dalam irama liang kuburku.


Frans Nadjira lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 3 September 1942. Bukunya yang telah terbit antara lain Jendela (1980) dan Bercakap-cakap di Bawah Guguran Daun-daun (2004).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar