Minggu, 29 Maret 2009

Sajak Sajak Ahda Imran

Sajak Sajak Ahda Imran
Kompas, Minggu, 29 Maret 2009 | 03:37 WIB

Angin Muara

Aku telah menaruhmu

dalam bahaya. Di senja remang

angin muara ketika air pasang

dan pulau-pulau menghilang

Kumasuki semenanjung

berjalan ke selat tak bernama. Orang-orang

menyeberang dan meninggalkan tubuhnya

berlabuh di punggungku. Membawa

kabut dan kapal-kapal hantu

Di kelopak mataku

tubuhmu bergetar. Pikiranku dirasuki

kegilaan yang aneh. Setiap hari aku melihat

cahaya tanpa ruang dan bayang. Seluruh ikatan

terurai, tapi setiap kepergian selalu menyimpan

kutukannya sendiri

Kedua tanganku memanjang

dengan jemari yang membusuk

Laut adalah kelambu yang terbuka

aku tidur dengan perempuan bersuara

kasar. Anak-anak kami lahir dengan lidah

bersisik. Mereka tak menyerupai siapapun

leluhur mereka adalah sungai

yang gelap

Aku telah menaruhmu

dalam bahaya. Di semenanjung yang jauh,

di tengah deru angin muara, di selat

yang tak bernama

Dan menjelang air pasang

di kelopak mataku tubuhmu

menjadi bayang

sebelum pulau-pulau menghilang

2009

Ahda Imran

Dalam Kota di Atas Pasir

Angin menghilang

di jalan dulu ada yang selalu menyerupai dirimu—

pohon yang meneteskan air, gerak bayang sepanjang trotoar,

atau suara handphone dalam tas. Dengan hati-hati kubenahi

setiap ingatan. Dan belum juga kutemukan perumpamaan

yang sesungguhnya dari kejahatan dan keindahan

Di kedai kopi yang dulu juga kutemukan

potongan-potongan kukumu di atas meja

Kota ini didirikan di atas pasir basah

rumah-rumah seolah terbuat dari kain tetoron. Jalanan

melayang dengan tiang-tiangnya yang bertumpu pada batu karang

dan aku menemukanmu jauh sebelum orang-orang memastikan

kota ini dengan sebuah nama. Kini, dan kini, menyebut

namamu adalah menjadi seseorang dalam adegan

di relief-relief candi ketika kejahatan

dan keindahan menjadi kutukan

Setiap malam aku terjaga. Ke dalam ingatanku

kau telah menjelma lorong-lorong rumah sakit

sejak itu di kota ini aku hidup bersama

seorang lelaki dengan telinganya

yang selalu berdenging

Angin menghilang

di pasir basah tengah malam kota ini

akan tenggelam. Di jalan dulu kubenahi

setiap ingatan. Pada semua yang menyerupai

dirimu kupulangkan kembali seluruh perumpamaan

dan nama-nama, setelah aku menghancurkannya

berulang kali

Dan lewat sepasang matamu selalu kutemukan

perumpamaan berikutnya dari kejahatan dan keindahan

yang menjadi kutukan. Sepasang mata yang mengawasiku

dari potongan-potongan kuku di atas meja

2009

Ahda Imran

Mengingatmu Sekali Lagi

Begitulah

aku mengingatmu sekali lagi

lewat hujan yang berlari ke arahku

lewat lukisan perempuan dengan bintik

cacar di punggung dan di perutnya

Langit tengah hari

angin sungai menghembuskan bau kamarmu

membawa burung-burung lenyap ke balik

gedung-gedung berwarna kelabu

Pelan kubiarkan pikiranku dipenuhi air

kedua mataku terapung-apung di atas kota yang menguning

aku melihat setiap bagian tubuhmu menjelma seorang

anak kecil yang terjebak dalam tubuh seorang ibu

berdiri gemetar sambil menerbangkan

balon-balon hitam. Sehingga hari

menjadi malam

Begitulah

aku mengingatmu sekali lagi

lewat tempias dan rokokku yang padam

lewat kawan-kawan sekaligus musuh-musuhku

dan seekor lintah di balik lidahnya

Langit sore setelah hujan

melengkung biru. Dan dengan tenang jatuh

lembut ke balik Burangrang dan Tangkubanparahu

angin menyentuh permukaan kopiku. Sambil menenangkan

kata-kata yang terus berlari ke arahku, sekali lagi kunyalakan

rokok. Tiba-tiba jalanan lengang dan orang-orang menghilang

angin sungai menghembuskan bau tubuhmu. Bintik cacar

di perut dan di punggungmu. Suaramu menggema

dalam paru-paruku

Lalu langit penuh balon-balon hitam

Begitulah

di lurus jalan menuju lembah jauh

di sebuah malam ketika seluruh nama toko

di kota itu berubah menjadi namamu

ketika hari dan angin terlepas

aku mengingatmu terakhir kalinya....

2009

Ahda Imran lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat; tinggal dan bekerja di Bandung. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Penunggang Kuda Negeri Malam (2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar