Angin Muara
Aku telah menaruhmu
dalam bahaya. Di senja remang
angin muara ketika air pasang
dan pulau-pulau menghilang
Kumasuki semenanjung
berjalan ke selat tak bernama. Orang-orang
menyeberang dan meninggalkan tubuhnya
berlabuh di punggungku. Membawa
kabut dan kapal-kapal hantu
Di kelopak mataku
tubuhmu bergetar. Pikiranku dirasuki
kegilaan yang aneh. Setiap hari aku melihat
cahaya tanpa ruang dan bayang. Seluruh ikatan
terurai, tapi setiap kepergian selalu menyimpan
kutukannya sendiri
Kedua tanganku memanjang
dengan jemari yang membusuk
Laut adalah kelambu yang terbuka
aku tidur dengan perempuan bersuara
kasar. Anak-anak kami lahir dengan lidah
bersisik. Mereka tak menyerupai siapapun
leluhur mereka adalah sungai
yang gelap
Aku telah menaruhmu
dalam bahaya. Di semenanjung yang jauh,
di tengah deru angin muara, di selat
yang tak bernama
Dan menjelang air pasang
di kelopak mataku tubuhmu
menjadi bayang
sebelum pulau-pulau menghilang
2009
Dalam Kota di Atas Pasir
Angin menghilang
di jalan dulu ada yang selalu menyerupai dirimu—
pohon yang meneteskan air, gerak bayang sepanjang trotoar,
atau suara handphone dalam tas. Dengan hati-hati kubenahi
setiap ingatan. Dan belum juga kutemukan perumpamaan
yang sesungguhnya dari kejahatan dan keindahan
Di kedai kopi yang dulu juga kutemukan
potongan-potongan kukumu di atas meja
Kota ini didirikan di atas pasir basah
rumah-rumah seolah terbuat dari kain tetoron. Jalanan
melayang dengan tiang-tiangnya yang bertumpu pada batu karang
dan aku menemukanmu jauh sebelum orang-orang memastikan
kota ini dengan sebuah nama. Kini, dan kini, menyebut
namamu adalah menjadi seseorang dalam adegan
di relief-relief candi ketika kejahatan
dan keindahan menjadi kutukan
Setiap malam aku terjaga. Ke dalam ingatanku
kau telah menjelma lorong-lorong rumah sakit
sejak itu di kota ini aku hidup bersama
seorang lelaki dengan telinganya
yang selalu berdenging
Angin menghilang
di pasir basah tengah malam kota ini
akan tenggelam. Di jalan dulu kubenahi
setiap ingatan. Pada semua yang menyerupai
dirimu kupulangkan kembali seluruh perumpamaan
dan nama-nama, setelah aku menghancurkannya
berulang kali
Dan lewat sepasang matamu selalu kutemukan
perumpamaan berikutnya dari kejahatan dan keindahan
yang menjadi kutukan. Sepasang mata yang mengawasiku
dari potongan-potongan kuku di atas meja
2009
Mengingatmu Sekali Lagi
Begitulah
aku mengingatmu sekali lagi
lewat hujan yang berlari ke arahku
lewat lukisan perempuan dengan bintik
cacar di punggung dan di perutnya
Langit tengah hari
angin sungai menghembuskan bau kamarmu
membawa burung-burung lenyap ke balik
gedung-gedung berwarna kelabu
Pelan kubiarkan pikiranku dipenuhi air
kedua mataku terapung-apung di atas kota yang menguning
aku melihat setiap bagian tubuhmu menjelma seorang
anak kecil yang terjebak dalam tubuh seorang ibu
berdiri gemetar sambil menerbangkan
balon-balon hitam. Sehingga hari
menjadi malam
Begitulah
aku mengingatmu sekali lagi
lewat tempias dan rokokku yang padam
lewat kawan-kawan sekaligus musuh-musuhku
dan seekor lintah di balik lidahnya
Langit sore setelah hujan
melengkung biru. Dan dengan tenang jatuh
lembut ke balik Burangrang dan Tangkubanparahu
angin menyentuh permukaan kopiku. Sambil menenangkan
kata-kata yang terus berlari ke arahku, sekali lagi kunyalakan
rokok. Tiba-tiba jalanan lengang dan orang-orang menghilang
angin sungai menghembuskan bau tubuhmu. Bintik cacar
di perut dan di punggungmu. Suaramu menggema
dalam paru-paruku
Lalu langit penuh balon-balon hitam
Begitulah
di lurus jalan menuju lembah jauh
di sebuah malam ketika seluruh nama toko
di kota itu berubah menjadi namamu
ketika hari dan angin terlepas
aku mengingatmu terakhir kalinya....
2009
Ahda Imran lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat; tinggal dan bekerja di Bandung. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Kumpulan puisinya yang telah terbit adalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar