Kamis, 26 Maret 2009

Sajak Sajak Deny Tri Aryanti

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 28/1/05

Puisi Deny Tri Aryanti

Tono, JAKARTA

Tsunami Di Ujung Banda

Kutelusuri pohon-pohon tak berakar

menyusup di antara dedaunan basah oleh embun

memenggal setiap kata dan kehadiran semu

Bahkan darahku mulai menggantung

dari kabut merah

tercecer setiap detak nadi di ujung lembah tak bertuan

merangkai jari-jari lentik yang telah putus

Dalam oase keabadian,

kupenggal abjad-abjad melewati musim

hantu dalam kegelisahan

tanpa jeda kematian.

Resahku menari di ujung bukit semak belukar

menyesak gerak, menggapai-gapai setiap

dendam yang lahir

dari janin kerinduan yang membusuk

Aku tinggalkan perkampungan, dan menelan

butiran-butiran suci

saat lembah mulai gelap, tanpa kastil, istana

ataupun puri indah

Terjalku terpagut hantu di antara lentera tanpa asap

meraba kehadiran embun menembus sepatu bugil di leher legenda

Seperti dinasti seratus abad kesunyian

lembah ini semakin sempit oleh dingin

menembus kabut-kabut gelap

tercecer di antara celah ranting dan belukar

Asapku menguap seperti bangkai karang

tertindas buih-biuh putih di belahan lembah

tak bertuan

hingga malamku menjadi jantung kabut di perdu putih lentera

Surabaya,Desember 04

Sajak Pelayat

Setelah aku pagutkan sajakku di keningmu

kulihat warna rona di pipi dan dagumu

Bahkan matamu pun merona

menjatuhkan butiran bening seperti huruf-huruf kecil

yang kumuntahkan saat gerimis tiba

Kusaput beningmu dengan awan

meski sedikit menghitam namun aku yakin

deras dari langit tak akan turun

Setiap abjad yang kupagut memaknai darah

mengeja lembaran-lembaran yang penuh

dengan buih kata-kata

Barisan sajakku seperti kereta

yang meluncur dari Bolivia

menuju perkampungan kumuh

di sebuah kota tak bernama

Tapi di bibirmu tak pernah kutemukan

rentetan sajak merah

seperti pipi dan matamu

Ketika kulesatkan sebait gelisah dari bibirku

pipimu semakin biru oleh bayangan laut

meraba kesunyian yang kau pendam di sela rambutmu

meledakkan gemuruh kematian

di ubun-ubun pujangga

Coba kutorehkan kembali laguku pada bait-bait semu

mengeja detak demi detak jam dinding bom waktu

menuliskan lagi abjad kematian di keningmu

seperti saat kukirimkan sajak terakhirku

untuk kematian bunga-bunga yang telah membiru

Surabaya, Desemeber 04

Kematian Bulan Purnama

Kudekap gulita bersama lipatan-lipatan sunyi

menengadah melepas purnama

menepis ranting dari bersitan silau bulan

Jeruji kamar mengaburkan pandanganku

menggantungkan boneka-boneka kecil di sudut ruang

jengah menanti dinding ajal menorehkan tubuhnya

Seperti kota-kota kecil di kulit kepala

berjajar rapi mengusap pedih peluh temaram

penantian yang tiada pernah selesai

Sembab cuaca membangunkan mimpiku yang panjang

menggantung di bawah tikaman purnama

meneteskan darah dingin, memucat

mengepakkan sayapnya yang hampir patah

Kuingat kembali dinasti yang telah

di telan kemunafikan

menanggalkan sejarah di ujung tombak

menyilaukan kastil-kastil sunyi peradaban pualam

Keabadian telah memupuskan segala lelah

terseok di antara lipatan malam dan cemara

hingga memenggal seluruh kehidupan tanpa nyawa

Perkampungan kurcaci menunggu kehadiran bulan

meski surga telah mengakhirinya

membawa gelisah bersama penantian seribu kata

Kuabadikan mimpiku untuk sebuah upacara

penguburan

meletakkan sunyi di atas butiran terjal

purnama tanpa lentera

Surabaya, Desember 04


Last modified: 28/1/05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar