Puisi Deny Tri Aryanti
Tsunami Di Ujung Banda
Kutelusuri pohon-pohon tak berakar
menyusup di antara dedaunan basah oleh embun
memenggal setiap kata dan kehadiran semu
Bahkan darahku mulai menggantung
dari kabut merah
tercecer setiap detak nadi di ujung lembah tak bertuan
merangkai jari-jari lentik yang telah putus
Dalam oase keabadian,
kupenggal abjad-abjad melewati musim
hantu dalam kegelisahan
tanpa jeda kematian.
Resahku menari di ujung bukit semak belukar
menyesak gerak, menggapai-gapai setiap
dendam yang lahir
dari janin kerinduan yang membusuk
Aku tinggalkan perkampungan, dan menelan
butiran-butiran suci
saat lembah mulai gelap, tanpa kastil, istana
ataupun puri indah
Terjalku terpagut hantu di antara lentera tanpa asap
meraba kehadiran embun menembus sepatu bugil di leher legenda
Seperti dinasti seratus abad kesunyian
lembah ini semakin sempit oleh dingin
menembus kabut-kabut gelap
tercecer di antara celah ranting dan belukar
Asapku menguap seperti bangkai karang
tertindas buih-biuh putih di belahan lembah
tak bertuan
hingga malamku menjadi jantung kabut di perdu putih lentera
Surabaya,Desember 04
Sajak Pelayat
Setelah aku pagutkan sajakku di keningmu
kulihat warna rona di pipi dan dagumu
Bahkan matamu pun merona
menjatuhkan butiran bening seperti huruf-huruf kecil
yang kumuntahkan saat gerimis tiba
Kusaput beningmu dengan awan
meski sedikit menghitam namun aku yakin
deras dari langit tak akan turun
Setiap abjad yang kupagut memaknai darah
mengeja lembaran-lembaran yang penuh
dengan buih kata-kata
Barisan sajakku seperti kereta
yang meluncur dari Bolivia
menuju perkampungan kumuh
di sebuah kota tak bernama
Tapi di bibirmu tak pernah kutemukan
rentetan sajak merah
seperti pipi dan matamu
Ketika kulesatkan sebait gelisah dari bibirku
pipimu semakin biru oleh bayangan laut
meraba kesunyian yang kau pendam di sela rambutmu
meledakkan gemuruh kematian
di ubun-ubun pujangga
Coba kutorehkan kembali laguku pada bait-bait semu
mengeja detak demi detak jam dinding bom waktu
menuliskan lagi abjad kematian di keningmu
seperti saat kukirimkan sajak terakhirku
untuk kematian bunga-bunga yang telah membiru
Surabaya, Desemeber 04
Kematian Bulan Purnama
Kudekap gulita bersama lipatan-lipatan sunyi
menengadah melepas purnama
menepis ranting dari bersitan silau bulan
Jeruji kamar mengaburkan pandanganku
menggantungkan boneka-boneka kecil di sudut ruang
jengah menanti dinding ajal menorehkan tubuhnya
Seperti kota-kota kecil di kulit kepala
berjajar rapi mengusap pedih peluh temaram
penantian yang tiada pernah selesai
Sembab cuaca membangunkan mimpiku yang panjang
menggantung di bawah tikaman purnama
meneteskan darah dingin, memucat
mengepakkan sayapnya yang hampir patah
Kuingat kembali dinasti yang telah
di telan kemunafikan
menanggalkan sejarah di ujung tombak
menyilaukan kastil-kastil sunyi peradaban pualam
Keabadian telah memupuskan segala lelah
terseok di antara lipatan malam dan cemara
hingga memenggal seluruh kehidupan tanpa nyawa
Perkampungan kurcaci menunggu kehadiran bulan
meski surga telah mengakhirinya
membawa gelisah bersama penantian seribu kata
Kuabadikan mimpiku untuk sebuah upacara
penguburan
meletakkan sunyi di atas butiran terjal
purnama tanpa lentera
Surabaya, Desember 04
Last modified: 28/1/05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar