Kamis, 26 Maret 2009

Sajak Sajak Halima Puti Djamhari

Sajak Sajak Halima Puti Djamhari

Kompas, Minggu, 15 Maret 2009 | 05:22 WIB


Potret Diri dengan Sebutir Apel

kau boleh menghabiskan biru untuk memanjangkan

rambutku hingga ke bahu (dan bahkan melebatkannya

seperti gelombang) agar tertutup luka yang sudah

mengendap di leher ini—

kau mesti membalurkan kuning di tengah bidang sampai

wajahku mampu bangkit sendiri membedakan diri dari

bukit-bukit yang terlalu lelah menahan hujan badai

sepanjang malam—

kau mesti mengelupas sisik-sisik putih yang tumbuh

menutup telingaku agar kau mendengar kelepak burung

undan yang dikirim ibu kita untuk meluaskan langitmu

di kamar ini—

kau ragu melingkupi hidungku dengan sebilah pisau tapi

teruskanlah belaka sebab niscaya aku segera menjangkau

lambungmu ke pusat warna merah dan mengasahmu

dengan sepasang alis khat hijau daun paku—

kau boleh mengabaikan mataku (yang teramat bosan

bertanya berapa banyak warna sudah kauhamburkan) tapi

segeralah tutupkan keduanya dengan sapuan kuasmu

yang tak kenal lagi mana atas atau bawah—

kau mesti menghanguskan mulutku sampai lidah kencana

yang tak terperi ini tertarik keluar tiba-tiba menjilati kabut

pada cermin yang tanpa kausadari selalu terbentang

angkuh di hadapanmu—

kau telah menutup jendela agar barisan cerobong dan

kilang nun di kota sana tak masuk ke mari menghalangi

sebatang sungai yang tumbuh perlahan di belakangmu

dan memurnikan suaraku—

kau hampir gugur ketika menjadi padananku—

kau hendak berdusta apakah sebutir apel bening di depan

cermin itu mesti kaumakan atau kaubiarkan saja kekal

bersama rupaku pagi ini—


Bakal Mempelai

barangkali lelaki itu bernama Ahmad

atau Yunus, sungguh aku tak peduli—

setiap kali ia bertandang ke rumahku

ibuku membersihkan senapannya, dan

ketika aku membuat teh untuknya

di dapur, sesungguhnya aku juga

mengasah terus si pisau, yang akan

kuselipkan di balik baju pengantinku—

wajahku bercadar, tapi betapa yakin ia

bahwa aku sungguh-sungguh betina—

dengarlah, aku nyaringkan bunyi air

mendidih, agar ia setia mengajari ibu

menembak potret ayah, seraya percaya

bahwa ia sendiri adalah bakal suamiku—

mungkin namaku Salma, yang esok pagi

akan menghimpun selongsong peluru

yang berserak di bawah koran terbaru

yang mengabarkan kelahiran ayahku


Sarapan Ketiga Ratus

hanya pisau yang bisa tumbuh di sela jari

hanya roti yang terasa seperti kabut pagi

hanya cincinmu yang berkilat ketika matamu

hampir buta oleh kopi Mandailing racikanku

hanya susuku malam tadi yang akan kaubawa

hanya rambutku yang bisa mengikat lehermu

hanya aku yang setelah merapikan seragammu

niscaya memandikan anjing kesayanganmu


Tulisan di Batu Nisan

datanglah, kekasihku, lekaslah

aku sudah selesai menggali

para pelayat itu tak sabar lagi

menanti mayatmu, dan hanya

mampu memandangi lubang

yang kini dipenuhi cahaya

tapi di luar pintu gerbang

kau masih juga berperang

kau menghambur ke arah Maut

dan berlaksa-laksa pasukan-Nya

yang tak mampu mengalahkanmu

dan hanya iri pada rupamu

di jantung mereka penamu terasah

membuat kami kian dekat padamu

sudah pula kutulis namamu

di batu malihan ini

nama yang tak pernah tertera

di lidah para penantangmu

terlalu cepat Maut datang padaku

tak kuasa membawamu hari ini

kususui para pelayat gandrung itu

agar mereka tak menghalangi Dia

untuk melukis wajah-Nya sendiri

pada batu nisan malihan di tanganku

penggali kubur aku

agar mampu mencintaimu

lekas kuhapus namamu

agar Dia bukan pecundang di sini

tapi pada tanah air yang kugali ini

mayat penyair tak pernah kembali


Terbang Malam

aku alpa apa

beda antara

langit dan laut

sampai ia, ia

melukis lekas

pohon cerlang

sempurna

yang daunnya

ternyata hanya

sepasang

sayapku

inilah halilintar

ia berkata

pohon seluas

alam raya

yang sirna

begitu saja

ketika aku

menghunjam

ke pelukan

gelombang

jangan cari

di mana

akarnya

sebab kau masih

terlalu muda

ia bernama hujan

dan mungkin aku

burung

buluku masih

juga seputih

awan pagi

yang betapa

ia musuhi

M FADJROEL RACHMAN

Palestina, Ketika Rintik Hujan

rintik hujan terseok-seok menyeret kaki yang luka parah dari kota tuhan yang ditinggalkan para pemuja untuk berperang, “terlalu dinginkah dunia untuk disapa?”

lokan dan kepiting merangkak ke tenggorokan jerusalem yang sepi. bila malam datang, siapa berjanji fajar akan datang membawa sepotong tuhan dari kematian.

musa tersesat diburu firaun, menyeret kafilah tuhan yang hilang, suaranya mengaum “kenapa lelaki tua itu hanya menunggu di kornea mata anak-anak membeku mati?”

debu hitam kota gaza dan kristal garam laut merah di kusut rambut ikalmu perlahan melayang ke ranting zaitun, menunggu tangan mungilmu melambai dari pintu surga.

ah, surga yang jauh, mengapa fajar tak membawanya ke rumahmu menemani secangkir susu dan sepotong roti terakhir sebelum maut menjemputmu tergesa-gesa.

Jakarta (2009)

Halima Puti Djamhari lahir pada 22 April 1980 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia kini bekerja di Santa Monica, California, AS.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar