Potret Diri dengan Sebutir Apel
kau boleh menghabiskan biru untuk memanjangkan
rambutku hingga ke bahu (dan bahkan melebatkannya
seperti gelombang) agar tertutup luka yang sudah
mengendap di leher ini—
kau mesti membalurkan kuning di tengah bidang sampai
wajahku mampu bangkit sendiri membedakan diri dari
bukit-bukit yang terlalu lelah menahan hujan badai
sepanjang malam—
kau mesti mengelupas sisik-sisik putih yang tumbuh
menutup telingaku agar kau mendengar kelepak burung
undan yang dikirim ibu kita untuk meluaskan langitmu
di kamar ini—
kau ragu melingkupi hidungku dengan sebilah pisau tapi
teruskanlah belaka sebab niscaya aku segera menjangkau
lambungmu ke pusat warna merah dan mengasahmu
dengan sepasang alis khat hijau daun paku—
kau boleh mengabaikan mataku (yang teramat bosan
bertanya berapa banyak warna sudah kauhamburkan) tapi
segeralah tutupkan keduanya dengan sapuan kuasmu
yang tak kenal lagi mana atas atau bawah—
kau mesti menghanguskan mulutku sampai lidah kencana
yang tak terperi ini tertarik keluar tiba-tiba menjilati kabut
pada cermin yang tanpa kausadari selalu terbentang
angkuh di hadapanmu—
kau telah menutup jendela agar barisan cerobong dan
kilang nun di kota sana tak masuk ke mari menghalangi
sebatang sungai yang tumbuh perlahan di belakangmu
dan memurnikan suaraku—
kau hampir gugur ketika menjadi padananku—
kau hendak berdusta apakah sebutir apel bening di depan
cermin itu mesti kaumakan atau kaubiarkan saja kekal
bersama rupaku pagi ini—
Bakal Mempelai
barangkali lelaki itu bernama Ahmad
atau Yunus, sungguh aku tak peduli—
setiap kali ia bertandang ke rumahku
ibuku membersihkan senapannya, dan
ketika aku membuat teh untuknya
di dapur, sesungguhnya aku juga
mengasah terus si pisau, yang akan
kuselipkan di balik baju pengantinku—
wajahku bercadar, tapi betapa yakin ia
bahwa aku sungguh-sungguh betina—
dengarlah, aku nyaringkan bunyi air
mendidih, agar ia setia mengajari ibu
menembak potret ayah, seraya percaya
bahwa ia sendiri adalah bakal suamiku—
mungkin namaku Salma, yang esok pagi
akan menghimpun selongsong peluru
yang berserak di bawah koran terbaru
yang mengabarkan kelahiran ayahku
Sarapan Ketiga Ratus
hanya pisau yang bisa tumbuh di sela jari
hanya roti yang terasa seperti kabut pagi
hanya cincinmu yang berkilat ketika matamu
hampir buta oleh kopi Mandailing racikanku
hanya susuku malam tadi yang akan kaubawa
hanya rambutku yang bisa mengikat lehermu
hanya aku yang setelah merapikan seragammu
niscaya memandikan anjing kesayanganmu
Tulisan di Batu Nisan
datanglah, kekasihku, lekaslah
aku sudah selesai menggali
para pelayat itu tak sabar lagi
menanti mayatmu, dan hanya
mampu memandangi lubang
yang kini dipenuhi cahaya
tapi di luar pintu gerbang
kau masih juga berperang
kau menghambur ke arah Maut
dan berlaksa-laksa pasukan-Nya
yang tak mampu mengalahkanmu
dan hanya iri pada rupamu
di jantung mereka penamu terasah
membuat kami kian dekat padamu
sudah pula kutulis namamu
di batu malihan ini
nama yang tak pernah tertera
di lidah para penantangmu
terlalu cepat Maut datang padaku
tak kuasa membawamu hari ini
kususui para pelayat gandrung itu
agar mereka tak menghalangi Dia
untuk melukis wajah-Nya sendiri
pada batu nisan malihan di tanganku
penggali kubur aku
agar mampu mencintaimu
lekas kuhapus namamu
agar Dia bukan pecundang di sini
tapi pada tanah air yang kugali ini
mayat penyair tak pernah kembali
Terbang Malam
aku alpa apa
beda antara
langit dan laut
sampai ia, ia
melukis lekas
pohon cerlang
sempurna
yang daunnya
ternyata hanya
sepasang
sayapku
inilah halilintar
ia berkata
pohon seluas
alam raya
yang sirna
begitu saja
ketika aku
menghunjam
ke pelukan
gelombang
jangan cari
di mana
akarnya
sebab kau masih
terlalu muda
ia bernama hujan
dan mungkin aku
burung
buluku masih
juga seputih
awan pagi
yang betapa
ia musuhi
M FADJROEL RACHMAN
Palestina, Ketika Rintik Hujan
rintik hujan terseok-seok menyeret kaki yang luka parah dari kota tuhan yang
lokan dan kepiting merangkak ke tenggorokan jerusalem yang sepi. bila malam datang,
musa tersesat diburu firaun, menyeret kafilah tuhan yang hilang, suaranya mengaum
debu hitam kota gaza dan kristal garam laut merah di kusut rambut ikalmu perlahan
ah, surga yang jauh, mengapa fajar tak membawanya ke rumahmu menemani secangkir
Jakarta (2009)
Halima Puti Djamhari lahir pada 22 April 1980 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia kini bekerja di Santa Monica, California, AS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar