Kamis, 26 Maret 2009

Sajak-sajak Nirwan Dewanto

Sajak-sajak Nirwan Dewanto

Kompas, Minggu, 22 Februari 2009 | 01:24 WIB

Roti

—untuk Gregorius Sidharta Soegijo

Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia ibarat dua bintang jauh-berjauhan, dua kerdip yang berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung: wajahnya tertutup gelap, gelap yang hampir sempurna. Tapi ia seperti tumbuh mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya, tapi kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-angkuh, hanya bisa menebak nama satu sama lain, dan saling mencurigai siapa di antara kami akan berkhianat lebih dulu.

Ia memandang ke segala penjuru, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di bawah sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Jadilah aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.

Kudengar ia berkata di puncak lapar kami, (semoga aku tak keliru menirukannya), ”Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh tergesa-gesa piring dan cawan dengan tangan yang tetap saja mengandung tilas darah dan nanah dan getah, noda yang telah mengerak hingga ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.

Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia menggambarkan dirinya sebagai pendosa belaka. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan larut dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian—lelubang tusukan di kedua telapak tangan dan lambung kanannya). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa bersemayam di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), ”Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”

Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara ke dunia sana, mencari bebisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mengindahkan pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit beburung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu berkelindan dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti tampuk daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan menghadiahkan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami semua seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), ”Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”

Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal- kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya jingga-kencana fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.

Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, dan kurasa kami pernah bertarung di tepi selengkung sungai atau di bawah sepucuk tiang kayu palang—berseru, ”Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”

(2008)

Penunggang Kuda Hitam

—untuk Ugo Untoro

Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba-tiba sampai di depan rumah jagal di mana kuda-kuda bertaji mengantri untuk melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar.

Gurunya, yang biasa mengajari ia menggubah sosok lelaki penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, ”Para pengantri itu sedang berbahagia. Dan hari ini engkau sudah dewasa. Marilah,” dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang mirip ruang kelasnya sendiri,

di mana ia disudutkan oleh—entahlah, ia sungguh ragu siapa— bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, ”Berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah gambarkan rupa para kekasih yang telanjur punah itu. Agar kami mampu memercayaimu.”

Maka di layar raksasa yang dibentangkan untuknya di ruang terang-benderang itu ia melukis karung tinju, sedan Impala, boneka kain bekas, satria wayang kulit, daun anturium, sepatu hak tinggi, ular Warhol, benteng batako, sepeda Raleigh, sangkar burung balam, kolam renang, penyair mata pisau, penggemar ikan asin, sepur Mutiara, sapu ijuk Yu Sri—

sampai ia terjaga oleh pukulan di perutnya, yang tersusul teriakan sekerumun umat, ”Wahai lelaki penunggang kuda, kenapa engkau hanya membawa kami berpacu dengan lautan benda belaka? Di mana kudamu, jantung hatimu, yang akan menghela kami menuju khazanah penuh hikmat kebijaksanaan dari kumpulan orang mati?”

Ia pun sadar bahwa ternyata tangannya sudah berlumur darah sejak pagi tadi, ketika ia mampu menyelamatkan hanya seekor kuda hitam, yang terpaksa disembunyikannya ke balik baju saat ia harus bergegas mengejar langkah gurunya ke arah matahari terbenam. Segera ia mendengar reringkik teramat akrab mendekat ke arahnya.

Maka dengan jemarinya belaka, hanya dengan warna darah yang mulai kusam-garing itu, ia menggoreskan seekor kuda terpantas, terpanas, terganas, kuda hitam, kuda andan, kuda Troya, kuda Kroya, kuda kepang, kuda dremolen, kuda bendi, kuda sembrani, kuda bertaji, kuda Larasati, kuda Kandinsky, atau kuda Umbu, dan ia berkata kepada kaum pemirsa yang kian dahaga itu, ”Naikilah ia, wahai pemuja keindahan. Pergilah dalam damai, sebab kau sekalian sudah terlalu lama memeramku di tangsi serdadu atau klinik psikiatri ini.”

Di lebuh menuju sekolah fantasi, di mana mereka yang merampas kudanya menghilang ke balik seribu raut rekaannya, ia mulai belajar menyimak suaranya sendiri, yang sepintas terdengar hanya seperti jerit lemah si guru ketika tenggelam di rumah jagal itu.

(2008)

Nirwan Dewanto adalah penyair dan pengesai. Buku puisinya adalah Jantung Lebah Ratu (2008). Ia kini membagi waktunya antara Jakarta dan Wisconsin, Amerika Serikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar