Mengayak Dedak
Telah kujaga rindumu, supaya kau tetap tampak baka, tampak bahagia. Musim telah berubah. Bunga berganti buah, dan aku tak ingin kau jadi sampah, seperti daun yang terayun untuk kemudian terjun, melambai lembut ke ubun.
Mari sebentar tertegun. Biarlah pohon sukun ini menjadi saksi, bahwa matahari tak akan mengembalikan tai jadi nasi.
Maka, tak guna lagi kau bersembunyi. Keluarlah dari gerumbul mahoni, dan lihatlah
betapa sayap ini telah jadi rerumbai.
Kita sama tahu,
padi dan duli telah pergi. Juga sang Sri yang suka mengirim benih mimpi setengah tahun sekali.
Semalam aku terbangun. Seperti ada yang mengucap salam dalam tidurku. Suaranya mirip suaramu: sang geluduk yang sering menyeruduk tidurku. Tapi bukan. Ternyata, sepi telah pandai menirukanmu.
Atau, kau memang telah bersekutu dengan sepi, sebagaimana kata-kata ini, yang tak juga menemu beras putihmu walau separuh lidah-lalangku telah jadi debu. Sebagaimana pasangan kekunang itu, yang tak mungkin kembali bersarang di kedua kubu mataku.
(2008)
Timbangan Tumbang
Aku mengenalmu sebagai hujan. Di kedalaman tidurku, lentik jemarimu menjelma pelangi,
melambai, rinai, seperti kerlip mata kekasih. Menjelma telaga, ketika
dahagaku tak terkira.
Menjelma serumpun embun, jika sang surya merucut dari ubun. Menjelma daun?
Tidak.
Kurasa, akan enggan hujan menjelma daun, walau butiran hujan menyimpan bibit lumut nan tambun.
Daun sering iri pada sungai, pada pelangi, pun pada bayangannya sendiri.
Sedang hujan adalah rindu murni: oh, lebih murni dari kuncup mimpi, lebih damai
timbang jamur pagi, tempat duli-duli terbagi. Juga lebih lerai daripada airmataku ini,
sebab ia penawar gemuruh seluas laut, menghitam, membubung,
dalam selubung yang lalu kausebut mendung, di mana tenung-tenung terpalung.
(2008)
Kilas Keladi
Bisa jadi
cintakulah yang tak kau mengerti
keningmu bening
terlalu bening
hingga tak kuasa aku melihatmu
kemuning oleh seranai serbuk matahari:
serbuk yang mengaduk umbiku
dari dasar mimpi
sampai
di suatu pagi tinggi
kugelindingkan kau
dari pipiku hening
seperti airmata sang dewa
atau
malah mungkin airmataku sendiri
yang menitis dari sumsum Sepi.
(2008)
Rima Rumi
Sehelai mukena terkulai di lembar sepi, seperti hati yang sedih dan memutih.
Hanya senoktah darah nan mawar dan segar tergelar
Hanya seekor kelelawar yang hinggap dengan sayup sayap terbakar, seperti terbakarnya tangan dan kaki penari perawan, yang membuncah
di subuh buta,
di sekuntum purnama yang mulai ditinggal bubar kunang-kunang sorga.
(2008)
Siput Terlembut
Berjalan dengan pelan dan basah, aku mengerti indungnya cinta. Biarkan aku merambat, menghapus sisa jejak sang pongah dengan getah purba atau mengalun ringan bersama irama bunga-bunga. Aku tak mau seperti kuda,
apalagi meniru burung onta
yang bermimpi tentang terbang, sambil menyembunyikan kepala. Aku hanya berusaha sesabar kura-kura. Menunggu basah turun ke tanah, sembari menemani biji-biji yang lelah, tak berdaya.
(2008)
Keroncong Polong
Alangkah indah menjadi buta. Di mata dalamku
hanya gemerisik bunga-bunga. Dan tak perlu
aku meniru lelaku kupu untuk sampai padamu.
Sejak dulu aku hanya ulat beku. Sejak dulu.
Semenjak langit belum biru dan tuhan memulai
segala dengan batu. Lalu, rumpun rumput batu
tumbuh di antara bunga batu. Dan kau mulai
memanggilku buah batu: buah yang tumbuh
searah mimpi dan kukumu. Begitu sederhana.
Juga tak menggugah. Hingga kau lupa, mungkin
tak sampai kira, bahwa setiap malam aku
tengadah, merapal doa. Lalu, lewat pohon yang
sederhana, aku merambat ke langit coklat tua,
mencuri satu biji yang berdegup hijau, seperti
kembaran yang selalu dipanggili jantungmu.
Namun, pas selepas itu, bunga-bunga di langit
menangis. Hingga langit yang semula coklat tua
pelan-perlahan jadi bening. Ranting, cacing, dan
segala kesuburan yang terbaring di atas sana
pun malap menatapku. Begitulah. Dan begitu
saja mereka lalu kontan menipahku. Konon,
bersamanya jatuh juga pasangan pengantin baru.
Dan aku pun terkutuk, membeku, bersama
tumbuh dan sepentil hijau yang telah kucuri itu.
(2008)
A Muttaqin lahir 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Anggota Komunitas Rabo Sore, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar