Kamis, 26 Maret 2009

Sajak-sajak A Muttaqin

Sajak-sajak A Muttaqin

Kompas Minggu, 8 Februari 2009 | 00:50 WIB

Mengayak Dedak

Telah kujaga rindumu, supaya kau tetap tampak baka, tampak bahagia. Musim telah berubah. Bunga berganti buah, dan aku tak ingin kau jadi sampah, seperti daun yang terayun untuk kemudian terjun, melambai lembut ke ubun.

Mari sebentar tertegun. Biarlah pohon sukun ini menjadi saksi, bahwa matahari tak akan mengembalikan tai jadi nasi.

Maka, tak guna lagi kau bersembunyi. Keluarlah dari gerumbul mahoni, dan lihatlah

betapa sayap ini telah jadi rerumbai.

Kita sama tahu,

padi dan duli telah pergi. Juga sang Sri yang suka mengirim benih mimpi setengah tahun sekali.

Semalam aku terbangun. Seperti ada yang mengucap salam dalam tidurku. Suaranya mirip suaramu: sang geluduk yang sering menyeruduk tidurku. Tapi bukan. Ternyata, sepi telah pandai menirukanmu.

Atau, kau memang telah bersekutu dengan sepi, sebagaimana kata-kata ini, yang tak juga menemu beras putihmu walau separuh lidah-lalangku telah jadi debu. Sebagaimana pasangan kekunang itu, yang tak mungkin kembali bersarang di kedua kubu mataku.

(2008)

Timbangan Tumbang

Aku mengenalmu sebagai hujan. Di kedalaman tidurku, lentik jemarimu menjelma pelangi,

melambai, rinai, seperti kerlip mata kekasih. Menjelma telaga, ketika

dahagaku tak terkira.

Menjelma serumpun embun, jika sang surya merucut dari ubun. Menjelma daun?

Tidak.

Kurasa, akan enggan hujan menjelma daun, walau butiran hujan menyimpan bibit lumut nan tambun.

Daun sering iri pada sungai, pada pelangi, pun pada bayangannya sendiri.

Sedang hujan adalah rindu murni: oh, lebih murni dari kuncup mimpi, lebih damai

timbang jamur pagi, tempat duli-duli terbagi. Juga lebih lerai daripada airmataku ini,

sebab ia penawar gemuruh seluas laut, menghitam, membubung,

dalam selubung yang lalu kausebut mendung, di mana tenung-tenung terpalung.

(2008)

Kilas Keladi

Bisa jadi

cintakulah yang tak kau mengerti

keningmu bening

terlalu bening

hingga tak kuasa aku melihatmu

kemuning oleh seranai serbuk matahari:

serbuk yang mengaduk umbiku

dari dasar mimpi

sampai

di suatu pagi tinggi

kugelindingkan kau

dari pipiku hening

seperti airmata sang dewa

atau

malah mungkin airmataku sendiri

yang menitis dari sumsum Sepi.

(2008)

Rima Rumi

Sehelai mukena terkulai di lembar sepi, seperti hati yang sedih dan memutih.

Hanya senoktah darah nan mawar dan segar tergelar

Hanya seekor kelelawar yang hinggap dengan sayup sayap terbakar, seperti terbakarnya tangan dan kaki penari perawan, yang membuncah

di subuh buta,

di sekuntum purnama yang mulai ditinggal bubar kunang-kunang sorga.

(2008)

Siput Terlembut

Berjalan dengan pelan dan basah, aku mengerti indungnya cinta. Biarkan aku merambat, menghapus sisa jejak sang pongah dengan getah purba atau mengalun ringan bersama irama bunga-bunga. Aku tak mau seperti kuda,

apalagi meniru burung onta

yang bermimpi tentang terbang, sambil menyembunyikan kepala. Aku hanya berusaha sesabar kura-kura. Menunggu basah turun ke tanah, sembari menemani biji-biji yang lelah, tak berdaya.

(2008)

Keroncong Polong

Alangkah indah menjadi buta. Di mata dalamku

hanya gemerisik bunga-bunga. Dan tak perlu

aku meniru lelaku kupu untuk sampai padamu.

Sejak dulu aku hanya ulat beku. Sejak dulu.

Semenjak langit belum biru dan tuhan memulai

segala dengan batu. Lalu, rumpun rumput batu

tumbuh di antara bunga batu. Dan kau mulai

memanggilku buah batu: buah yang tumbuh

searah mimpi dan kukumu. Begitu sederhana.

Juga tak menggugah. Hingga kau lupa, mungkin

tak sampai kira, bahwa setiap malam aku

tengadah, merapal doa. Lalu, lewat pohon yang

sederhana, aku merambat ke langit coklat tua,

mencuri satu biji yang berdegup hijau, seperti

kembaran yang selalu dipanggili jantungmu.

Namun, pas selepas itu, bunga-bunga di langit

menangis. Hingga langit yang semula coklat tua

pelan-perlahan jadi bening. Ranting, cacing, dan

segala kesuburan yang terbaring di atas sana

pun malap menatapku. Begitulah. Dan begitu

saja mereka lalu kontan menipahku. Konon,

bersamanya jatuh juga pasangan pengantin baru.

Dan aku pun terkutuk, membeku, bersama

tumbuh dan sepentil hijau yang telah kucuri itu.

(2008)

A Muttaqin lahir 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Anggota Komunitas Rabo Sore, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar