Sajak Abdul Khafi Syatra
karena dirimu adalah sepi
salahkah ketika bayang-bayang itu datang
kubiarkan liar?
kemudian kuhempaskan pada karang
mengakar
karena dirimu adalah malam
sunyi aku
karena dirimu adalah sepi
tak kuasa aku
dan kubiarkan melebur bersama debur ombak
2008
hujan telah tiba
musim hujan telah tiba
pohon-pohon kembali meranggas memadati dunia pikiranku
bau tanah menjadi parfum alami
pada mereka yang di bawah jembatan
atau mereka yang di lantai keramik
bahkan angin membuat dunia terlelap
kita tinggalkan bersama sampai tak tersisa bau
kemarau
hanya mungkin bekas luka memar
pada lapat-lapat hujan yang bisa kita tangkap
sebagai kenangan
kita tinggalkan tandus di atas cangkul
dan timba kita kembalikan ke barak
apa yang hendak kita nanti di musim ini?
sebuah musim yang basah
hari yang becek
alam selalu gelap
dan cucian-cucian kita berbau amis
apa yang kita banggakan dengan musim ini?
musim yang sudah biasa
rumah-rumah tenggelam
ribuan jiwa terlantar
apa yang bisa kita kembalikan?
alam telah mampet dengan sampah
rumah-rumah berbau busuk
mungkinkah semuanya kita tusukkan pada langit yang diam
pada kemungkinan yang patah
atau kita biarkan saja tenggelam dengan nasifnya sendiri?
2008
kau telanjang di balik kata-kata
- Andes
suara desir lirih kau menangis
kian keras menghantam dadaku
sesak- begitu sesak aku merasakan
hadirnya
gemericik air matamu
terasa begitu keras menekan denyut nadiku
tak sampai tanganku berirama
di kedua matamu
karena kau terlalu jauh
kabar yang kutanya
tak mampu kau jawab sempurna
hanya patahan napasmu kuberi makna
angin lewat dari jenjela
berdengung memecahkan kacamata masa laluku
kemudian kepalaku terbenam
pada tumpukan persoalan yang nyata-nyata
membuatmu sakit
kata-kata itu mengelupas dari dinding kamarku
hingga aku hanya bisa mengantarkanmu
sampai dipersimpangan
lalu kubiarkan kau liar
menjadi gelandangan kesakitan
2008
catatan hari
di hari pertama;
dengan kalimat sunyi kau tusuk aku
hingga dinding hatiku retak
berdarah
menyumbat pikiran hingga tersesat
di hari kedua;
kau hanya diam
dengan seribu kebisuan
aku masih tersesat
dan tak menyangka dapat menemuimu
berpangku kata
di hari ketiga;
wajahmu tak lagi tampak
namun bekasnya masih membayangiku
kemudian kutulis kembali kalimat sunyi itu
pada jarum jam
untuk menggilingnya menjadi kenangan
di hari keempat;
detik paling sempurna aku sendiri
tak kusangka
kalimat sunyi itu menikamku lebih keras
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar