Sajak Lalang Luntas
Hujan di Sabtu Pagi
Basah air hujan memburam jendela kamar
Satu lagi hari tergores biru pada kalender meja di sudut kamar,
Ada 425 garis biru di setiap angka
Garis-garis aku kehilanganmu.
Menggurat biru, satu satu hingga empat ratus dua puluh lima,
di hatiku.
Kapan berakhir?
Pena biru itu seperti tak berkesudahan tintanya.
Setiap gores birunya pada angka di kalender meja di sudut kamar,
Meninggalkan luka beku biru.
Hujan di Sabtu pagi, satu lagi gores tinta biru pada kalender meja di sudut kamarku, tandai kehilanganmu, seseorang dengan sepotong cinta penuh darah yang menyodoriku sepiring anggur merah manis.
Kuberharap, pena biru itu segera habis tintanya.
Cawang 022009
Ketika Yudhistira Mempertaruhkan Istrinya
Pada sebuah kenikmatan nirwana yang memabukkan, si sulung Pandawa tenggelam dalam derai tawa dan kemeriahan dewata.
"Sayangku..., saatnya kembali ke peraduan," kata Yudhistira
di sela merah jingga kuning biru hijau gempita.
Drupadi terdiam dalam penggal asa.
Meja kayu kotak hitam putih di hadapannya. Ada sepotong kecil dadu bernoktah merah tergeletak pasrah di sana.
Noktah merahnya bak tetesan darah.
"Sayangku..., mari berkasih di peraduan," rajuk Yudhistira
dengan senyum tipis dan mata merah dan muka pucat padam.
Drupadi bergeming kaku tak berdaya.
Dadu kecil noktah merah masih tergeletak di hadapannya, menangis darah di tengah gempita, ketika suaminya mempertaruhkan dirinya pada sepotong dadu bernoktah merah.
"Sayangku,..., aku cuma menggenapi takdirku," pelan Yudistira menutup sejarah.
Cawang 032009
Apa Itu Bahagia?
"Apa itu bahagia?"
Begitu tanyamu.
Lantas kujawab: bahagia adalah pilihan.
Tanyamu lagi:
"Mana tahu kapan kita memilih menjadi bahagia?"
jawabku: ketika kamu memutuskan bahagia di sebuah keadaan.
"Keadaan seperti apa?"
"Keadaan ketika materi tercukupi?"
"keadaan ketika semua yang kita butuhkan terpenuhi baik material dan spiritual tanpa ada satu pun yang tertinggal?" cecarmu.
Aku menghela napas.
Jawabku:
Bahagia adalah pilihan akan suatu keadaan.
Keadaan yang berupa perasaan senang tak berkesudahan dengan hati yang terasa lapang dan tubuh terasa segar dengan jiwa yang terasa dibarui.
Dan perasaan seperti itu baru pertama kali dirasa dalam balutan kegembiraan atas apa yang pernah dan sedang terjadi.
Sesuatu yang dicari tapi tak pernah tahu bentuknya seperti apa.
Seperti anak kecil mendamba mainan kesukaan
dan mendapatkannya.
Seperti pekerja mendapat kenaikan gaji.
Seperti seorang perantau mendamba pulang
ke rumah dan akhirnya pulang.
Dan seperti seseorang yang haus dan terpuasi dahaganya
dengan segelas air.
"Susah amat menjadi bahagia," katamu lagi.
Cawang 032009
Sayang, Aku Bukan Benci, Cuma Bosan
"Mengapa?"
kata itu meluncur cepat dari mulutmu.
Lengkap dengan wajah tak percaya.
Aku sendiri tak percaya dengan pemandangan di depanku.
Pria tinggi besar dengan wajah seperti bocah hendak menangis.
Aku bahkan tak percaya dengan kata-kata yang meluncur
dari mulutku.
Lebih tak percaya lagi ketika pria tinggi besar gagah di hadapanku ini, terus melontarkan kata tanya bertubi-tubi dan sama;" Mengapa?"
Entah percaya entah tidak, pria tinggi besar gagah berambut ikal
di depanku itu,
Memang harus menerima kalimat berikut:
"Sayang, aku bukan benci, cuma bosan, "
Untuk sebuah perjalanan bernama cinta kasih yang dalam hitungan kalender Masehi, telah berjalan empat tahun.
"Kata orang, empat memang angka sial. Angka untuk kematian!" sahutku lagi.
Ada selaput air menyelimuti bola matanya,
mengiringi kata "mengapa?"
Cawang 032009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar