Kamis, 26 Maret 2009

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono

Kompas, Minggu, 22 Maret 2009 | 02:40 WIB

Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja


yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul

Berkeliling di Kompleks, yang Selalu Berjalan

Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan

Dagangannya dengan Suara yang Kadang

Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya

Berapa Harganya Pasti Dikatakannya,

“Terserah Situ Saja…”

/1/

takdir pun dimulai

di pintu pagar

sehabis kaubayar

kita perlu sebilah

pengganti si patah

kau telah memilih pisau

berasal dari rantau

matanya yang redup

tiba-tiba hidup

/2/

bahasanya tak kaukenal

tentu saja

tapi dengan cermat

dipelajarinya bahasamu

yang berurusan

dengan mengiris

dan menyayat

yang tak lepas dari tata cara

meletakkan sayur berjajar

di talenan untuk dirajang

sebelum dimasukkan

ke panci yang mendidih airnya

dan dengan cepat

dikuasainya bahasamu

yang memiliki kosa kata lengkap

untuk mengurus bangkai ayam

membersihkan usus

memotong-motongnya

dan merajang hatinya

/3/

ia tulus dan ikhlas belajar

menerima kehadirannya

di antara barang-barang

yang telungkup

yang telentang

yang bergelantungan

yang kotor

yang retak

yang bau sabun

yang berminyak

di seantero dapur

/4/

segumpal daging merah

sedikit darah

di meja dapur

di sebelah cabe

berhimpit dengan bawang

yang menyebabkan

matanya berlinang

teringat akan mangga

yang tempo hari dikupasnya

teringat akan apel

yang kemarin dibelahnya

di meja makan

/5/

kau sangat hati-hati

memperlakukannya

waswas akan tatapannya

sangat sopan menghadapinya

meski kau yakin

seyakin-yakinnya

ia bukan keris pusaka

kau sangat hati-hati

setiap kali menaruhnya

di pinggir tempat cuci piring

takut melukai matanya

/6/

kau merasa punya tugas

untuk teratur mengasahnya

dinantinya saat-saat

yang selalu menimbulkan

rasa bahagia itu

inderanya jadi lebih jernih

jadi lebih awas

jadi lebih tegas

memilah yang manis

dari yang pedas

meraba yang lunak

di antara yang keras

/7/

apa gerangan yang dibisikkannya

kepada batu pengasah itu

/8/

ia suka berkejap-kejap

padaku, kata cucumu

kau buru-buru menyeretnya

menjauh dari dapur

yang tiba-tiba terasa gerah

/9/

ia kenal hanya selarik doa

yang selalu kauucapkan

sebelum memotong ikan

yang masih berkelejotan

kalau tanganmu gemetar

memegang tangkainya

ia pejamkan mata

mengucapkan doa

/10/

kenangannya pada api

yang dulu melahirkannya

menyusut ketika tatapannya

semakin tajam

oleh batu asah

kenangannya pada landasan

dan palu yang dulu menempanya

kenangannya pada jari-jari kasar

yang pertama kali mengelusnya

kenangannya

pada kata pertama

si pandai besi

ketika lelaki itu

melemparkannya ke air

yang mengeluarkan suara aneh

begitu tubuhnya

yang masih membara

tenggelam dan mendingin

kenangannya pada benda-benda

yang telah melahirkannya

semakin redup

ketika saat ini ia merasa

sepenuhnya tajam

seutuhnya hidup

/11/

dua sisi matanya

tak pernah terpejam

sebelah menatapmu

sebelah berkedip padaku

jangan pernah tanyakan

makna tatapan

yang melepaskan isyarat

seperti bintik-bintik cahaya

yang timbul-tenggelam

di sela-sela gema

di sela-sela larik-larik

Kitab yang menjanjikan

sorga bagi kita

/12/

ujungnya menunjuk ke Sana?

diam-diam terucap

pertanyaanmu itu

menjelang subuh

:

matanya tampak berlinang

dari sudut-sudutnya muncul

gelembung-gelembung darah

satu demi satu pecah

:

satu demi satu pecah

:

satu demi satu pecah

:

lantunan azan

Bayangkan Seandainya

Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu- bulunya;

bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik dari bulu-bulunya;

bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini bukan wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu yang menggoda burung itu untuk hinggap di lengannya;

bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini wajahmu sendiri yang itu juga, yang tak kunjung habis meski telah kaukupas dengan ganas selembar demi selembar setiap hari.

Laki-laki yang Pekerjaannya Mengorek Tempat Sampah

/1/

Ibuku masih perawan, begitu katanya selalu setiap kali kau menanyakan asal-usulnya. Lelaki itu tidak pernah menatap langit, tentu bukan karena ia tak tahu bahwa langit benar- benar ada di atas sana. Pemulung memang menelusuri tempat sampah demi tempat sampah dengan sebatang tongkat berkait yang membantunya memilah-milah jenis barang buangan, membantunya mengait kaleng kosong, plastik bekas, dan kadang-kadang bungkus makanan yang sudah kadaluwarsa tetapi yang mungkin isinya masih bisa dimakannya, atau diberikan kepada kucing-kucingnya yang di rumah menunggu setia. Suaminya konon ada lima, tanpa sanggama. Beberapa orang ibu di kompleks kita suka curiga padanya, beberapa yang lain suka memberikan barang bekas atau sisa makanan. Kau pernah bilang bahwa apa yang dikatakannya pertanda ada masalah dengan dirinya.

/2/

Tapi ibuku masih perawan, tanpa sanggama. Setiap kali kautanya kenapa selalu menunduk, ia hanya diam. Mungkin ingin dikatakannya bahwa di langit sana tidak ada tempat sampah yang sudah dianggapnya sebagai hakikat hidupnya, tidak ada yang bisa dikais-kais dan dikait dengan tongkat kesayangannya. Ia tak begitu suka bicara. Wajahnya yang tampan seperti wayang membuat ibu-ibu dan pembantu rumah tangga suka menggodanya dan ia merasa cukup menjawab dengan selamat pagi atau selamat sore atau hanya dengan senyum yang masih juga menyembunyikan jajaran gigi yang rapi di balik bibirnya. Kau pernah mencurigainya sebagai ksatria yang sedang menyamar untuk mencari kekasihnya. Aku tertawa – tapi mungkin benar juga. Please, jangan sekali-kali membayangkan dirimu sebagai putri yang mungkin sedang dicarinya itu, aku membayangkan suatu bencana seperti yang pernah kita baca dalam sebuah buku tua. Ksatria yang menyandang kantong besar di punggungnya itu selalu cepat-cepat lenyap di kelokan ketika sorot mata perempuan-perempuan itu dengan gemas mengikuti gerak- geriknya. Kenapa ia tak pernah mau tengadah ke Langit, rumah para Batara?

/3/

Kau ini bicara apa?

Sapardi Djoko Damono adalah penyair dan pensiunan guru besar sastra. Ia akan meluncurkan buku puisinya yang terbaru, Kolam, dalam waktu dekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar