Kakiku, Kaki Puisi
kakiku, kaki kembara
kakiku waktu yang baka
puisi di ujung duri, jariku merindu luka
(2008)
Solilokui Puisi
benarkah tak ada halaman kosong bagi puisi yang ingin ditulis dengan rasa gembira?
apakah puisi yang lahir dari jari yang luka saja yang bisa diterima?
lalu bagaimana dengan puisi yang lahir dari jari yang luka tapi ditulis dengan rasa gembira?
apa pula yang terjadi dengan puisi gembira yang lahir dari jiwa yang luka?
bagaimana menilai puisi itu puisi luka atau puisi gembira?
yakinkah seseorang, ia sedang benar-benar terluka saat menulis puisi agar puisi ia diterima?
siapa yang pantas menerima puisi?
siapa yang pantas diterima puisi?
(2008)
Mol
rendah, rendahkan o belahan jari, pagi
sudah tak tahan bermimpi, embun, o
biarkan dia yang melanjutkan nada
berikutnya, sebab bunyi pada waktu ini
sudah tak sama, bapa ada
di surga, kenapa tak kita juga?
rendah, o rendahkan lagi bunyi ini, di
beranda rumah sepasang kursi, hai sangkar
burung yang telah ditinggal pergi, biarkan,
biarkan mereka yang melanjutkan mencari,
sebab luka pada waktu ini sudah tak lagi,
kenapa tak kita Mati?
(2009)
Kres
waktu telah memainkan luka, hingga ke nada
yang lebih tinggi, dawai menyimpan mimpi,
denting menanam rindu entah di petik yang
mana, ah, langit telah menyala..
suara tak lagi, ada bisik yang lebih
lengking, napas begitu kering, apa yang
bunyi terdengar begitu api, di sini
jemari membakar, ah, teriak telah berkobar!
(2009)
Bar
betapa kita hanyalah tubuh yang runtuh, o ruang
yang mengarung nada-nada, tanda-tanda, o
duka yang terselip di setiap jeda, o tuah
yang mengalir di belahan lagu, romansa
bunyi masa lalu, aroma sedap malam dari laut
mati dalam simfonimu membawa maut, o jemari
yang lihai melantun luka, menatah luka,
menyusun luka, o tubuh yang runtuh,
betapa kita hanya ruang yang rubuh, ruang yang rubuh..
(2009)
Fret
ini, gurat jariku di lehermu, begitu panjang
dari ujung yang lebar hingga pangkal
yang sempit, berbekas, o, sekali lagi
kusentuh ya, maaf, lagu ini belum juga
selesai, o, petak nada yang serak, sampaikan
pesan paling lengking ke gendang telinga
beliau, biar dia mendengarnya sebagai
desing peluru, jangan menikung, petak
nada yang serak, o, berikan aku satu-dua
bunyi yang paling pekik, sampaikan pula
pada beliau, biar dia mendengarnya sebagai
jerit ibu
(2009)
Bernard SY Batubara lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 9 Juli 1989. Kuliah di Jurusan Teknik Informatika, Universitas Islam Indonesia. Bergiat sebagai staf redaksi di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Profesi. Sajak-sajaknya dimuat di sejumlah situs internet sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar