Minggu, 29 Maret 2009

Sajak-Sajak Goenawan Mohamad

Sajak-Sajak Goenawan Mohamad

Koran Tempo, MInggu, 22 Februari 2009

HOLOGRAM

Dari berkas cahaya
yang mungkin tak ada,
kulihat kau:
sebuah hologram,

srimpi tak berjejak,
dari laser yang lelah
dan lantai
separuh ilusi.

Di lorong itu dinding-dinding
kuning gading,
kebun basah hijau,
dan kautaburkan biru

dari kainmu. Bangsal kraton memelukmu.
Waktu itu sore jadi sedikit dingin
karena tak putih lagi
matahari.

Aku tahu kau tak akan
menatapku. Mimpi tiga dimensi
akan cepat hilang,
juga sebaris kalimat yang kulihat

di almari yang gelap:
"Aku tari terakhir yang diberikan,
aku déjà vu
sebelum malam dari Selatan."

Aku tahu kau tak akan
menyentuhku.
Seperti pakis purba di taman itu
kau tawarkan teduh,

juga sedih. Tapi aku merasa
kaupegang tanganku,
seperti dalam kehidupan kita dahulu,
sebelum kau ingatkan

bahwa aku juga
mungkin pergi.
"Bukankah itu yang selamanya terjadi.
Aku seperti waktu, karunia itu."

2009

DI MEJA ITU

Jangan-jangan hijau teh
telah meyakinkan aku: aku melihatmu
di sebuah adegan remeh
di kafe kosong itu.

Rambutmu hitam terlepas,
dan karet gelang itu kaupasangkan
untuk kacamataku.
Dan aku pun baca huruf itu,

"Lihat, hari bisa juga jadi.
di kota yang mustahil ini."
Mungkin aku telah lama menunggumu
dan tak percaya diri. Karena

pada tiap jeda hujan,
ketika kamar dan kakilangit segaris,
yang mencinta bersembunyi
dan Maut seperti Saat: tak pernah ingin kembali.

2009
SEBENARNYA

Sebenarnya apa yang terjadi:
telah kautuliskan
sajakku dalam sajakmu
sajakmu dalam sajakku?

Atau kata-kata kita
saling selingkuh,
sejak zaman
yang tak kita tahu?

Mungkin Ritme itu pernah satu
melahirkan aku melahirkan kamu
melahirkan nasib, melahirkan apa
yang tak pernah tentu.

2008

PADA LAPTOP ITU

Di sebuah kamar yang hambar
mereka tatap laptop
yang nyaris kosong
dengan hanya satu gambar:

Sebuah desain hari
dengan sudut terpotong.
Sebatang mistar
dengan sentimeter yang samar.

Dan ketika kulit mereka
bersentuhan,
mereka arahkan kursor
ke angka jam.

Tapi yang terhapus hanya malam.
Dan mereka pun tetap diam
di kamar yang hambar
layar yang hanya sebentar.

2008

DI SETASIUN SENTRAL

Sekian ratus gram remah roti pikan
terbang dari gerbong kereta
Amsterdam. Rel lurus
dan lapar. Tak ada waktu.

Hanya 12 sinyal.
Seseorang pun pergi dengan hitam kopi
yang tumpah. Seseorang pun lekas,
seseorang lelah:

ini hari putih terakhir,
hari seorang migran,
ketika dingin jadi pelan
dan salju mungkin palsu.

2009

PADA SEBUAH PANGGUNG

Mukjizat adalah air kanal
yang bangkit
mengusung sajak yang terjebak,
tak terbaca.

Sebab sore ini, teater tak menerima kata lagi.
Tak menerima kita lagi. Hanya ada sebuah mimbar,
sepasang kursi hitam, lampu-lampu
yang ingin menjelaskan,

tapi kau tolak, "Terima kasih, terima kasih.
Sajak adalah lorong yang rentan."
Dan tiap fonem adalah liang
di mana harap tak jadi ada

Aku ingin memelukmu. Persis di pentas itu
--tapi ragu. Sajakmu pun lepas
lewat tingkap. Di luar pintu
tampak jembatan,

palang-palang logam yang memanggilnya
menyeberang, ke utara kanal...
Kubayangkan
trotoar itu kekal.

2008

15 TAHUN LAGI

15 tahun lagi ia tak akan di kamar ini.
Seperti warna biru pada gordin
yang dihisap
matahari

Tapi ia mungkin akan bisa menyisakan
merah meja
dengan bekas nikotin
pada amplop terakhir

jam yang bersembunyi
dari Tuhan
yang tak membuat
ia yakin.

Salahkah ia,
yang tak begitu percaya
pada salam, atau sekedar suara
di atap kamar itu,

kalimat pelan-pelan
yang akhirnya
hanya hujan?
Mungkin hujan?

Apa yang diharapkannya?
Tentu bukan hujan!
Ia hanya tak ingin terpisah
dari nyanyi murung

sebuah lagu Brazil,
pada cello
yang setengah serak
yang terapung-apung, sentimentil,

di luar, pada pucuk pohon
dan gerak awal
sejumlah mendung:
Sem voce, sem voce.

Mungkin ia kangen, sebenarnya,
tapi "Aku malu," katanya, pesimistis
pada telegram
yang mungkin mengetuk

dari luar itu, dari gerimis
yang berkata: 15 tahun lagi
akan ada seseorang
di kamar ini.
2008-9

Goenawan Mohamad kini giat di Komunitas Salihara, sebuah kantong kesenian di Jakarta Selatan. Buku-buku puisinya adalah, antara lain, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (2001) dan Selected Poems (2004).

Puisi Puisi Isbedy Stiawan ZS

Puisi Puisi Isbedy Stiawan ZS
Jurnal Nasional, Jakarta | Minggu, 22 Feb 2009




Tentang Setangkai Bunga

ia bawakan untukmu serangkai bunga, tapi saat kau terima duri bunga itu
melukai telapak tanganmu. “Aku luka, ini darahnya,” katamu sambil menahan
perih. kau biarkan darah di tanganmu hingga mengering: warnanya tak merah tapi
kecoklatan. apakah ada darah berwarna lain? tak ada pertikaian soal
darah. seperti para pasien yang tak pernah berteriak ketika ingin membeli darah
beharga mahal, atau para pendonor akan ikhlas jika diganti uang: “bagaimana mungkin
gratis, aku perlu sate kambing dan vitamin?” kata para pendonor, setelah sepakat harga ia pun memberi darahnya.

“bahkan untuk sepetak kematian, kau harus bayar…”


05.10.2008




Tentang Kabar Rindu

aku makin mencintaimu. kau yang imut makin menggodaku saat cemberut. setiap
hari kaukabarkan rindu hingga ingin selalu temu. menulis getar waktu. mengukur
luas sepi yang dititipmu jika aku pergi. “esok bawa kembali apa yang kutitip
padamu agar tak layu,” katamu saat aku pamit pulang. kemudian bibirmu melambai,
dan hatiku jadi helai demi helai

1028




Tentang Setahun Pertemuan

setahun usia pertemuan ini, sayang, sudah berapa waktu kita lepas rindu? aku datangi
hari-hari sendirimu. kugambar pantai karena kau meminta. kutulis setiap gerak
ombak sebab rindumu pada laut. kukisahkan padamu indahnya pegunungan dan
mekarnya bakau agar kau setia datang ke tepi pantai

jika aku lupa—tapi aku tak akan pernah alpa—kau akan ingatkan dengan suara
dari mulutmu serupa gemuruh ombak. aku akan datang dan membawamu untuk
menikmati pantai: mengenang ketika pertama kali angin pantai membelai
rambutmu, pipimu, bibirmu…

“aku mau hidup layaknya anak pantai, bersamamu,” bisikmu

tapi prahara dan bencana, tak bisa ikhlas aku mengabulkan mimpimu
hidup di tepi pantai

2007-2008





Tentang Perkawinan

segudang sudah cintaku, tapi belum juga aku dipindahkan ke pelaminan. tinggal
sepi mengiris raguku.

jika setiap pertemuan tak pernah ada akhir, apakah cintaku tak akan beralamat
pada pelaminan?

kau selalu janji, aku terus-terusan menanti!


2008




Tentang Perjamuan

alasan apa aku akan melupakanmu lalu buru persinggahan lain; rumah-rumah
baru, bedeng-bedeng biru. alasan apa aku dapat meninggalkanmu, dan cari lain
paling rindu; tempat-tempat persinggahan yang haru

perjamuan demi perjamuan membuatku tak mampu melupakanmu. setiap yang
tersaji akan selalu membayang wajahmu. telah kucecap lidahmu, tubuhmu yang
daging sudah kugulai sebagai sarden, sate, sop, ataupun gule. “paling tak kusuka
rendang, jadi jangan tanya padaku cara memasaknya,” tukasmu.

lalu alasan apa aku akan meninggalkanmu? kau sudah saji mimpi-mimpiku
pada setiap perjamuan. lalu apa alasanku bisa melupakanmu?

- kau tersaji di setiap perjamuan—pagi, siang, senja, dan malam—yang
kusantap sepenuh lapar


08.10.२००८



by : Arie MP Tamba

Sajak-sajak A. Muttaqin

Puisi Puisi A. Muttaqin

Jurnal Nasional, Jakarta | Minggu, 01 Mar 2009



Sepuluh Lanturan Tentang Hutan


i
Malam adalah telur yang menetas,
dan aku ingin kau tak menetaskanku.

Begitu berwarni perangai mimpi,
sedang pagi tinggal kuning tai

dan kau tak akan kembali.
Tapi, aku tetap memimpikanmu,

keluar dari kuntum bunga dan
berkata, larilah, kejarlah…

ii
Darahku membeku.
Sepasang kakiku jadi batu.
Dan, jika ada yang terbang dari ubunku,
itulah yang menumbuhi malam-
malamku.

Kau tahu?

Duh, bagaimana aku tanya itu padamu,
sementara tak ada angin puyuh
yang sanggup menerbangkan kunang-
kunang dari matamu?

iii
Rusukku pun berbulu.
Malam bergemuruh.
dan aku ingin angan jadi ungu,
setenang subuh.

Biar kuda-kuda merah meringkik.
Biar langit yang masih punya banyak kerdip itu
memekik.

Aku tak ingin seperti kumbang
dan singgah dari kembang ke tembang.
Aku tak ingin jadi jalang dan mengerang
di padang panjang.

Sayangku, datanglah kau bagai subuh.
Beri aku pagi dan kupu-kupu

iv
Aku sebut namamu,
tapi separuh lidahku jadi batu.

Menyebut namamu dengan batu?
Ah, bukankah dengan lidah dan seluruh pun
aku hanya gagu?

v
Rambutku mengeras
dan mataku terlepas,
seperti kelereng menggelindingi sepi.

Sepinya basah. Oh,
apa mataku sedang menangis sendiri?
Seperti dulu, ketika ia sering
kupakai mencuci bajuku.

Ketika
tanganku masih bisa
rasakan air dan dingin.
Ketika
masih ada ledakan-ledakan kecil
di balik dadaku.
Ketika
kuku belum merambat
ke sekujur dagingku

vi
Kau tak usah jadi ibu dan mengutukku.
Kini, aku telah sempurna jadi batu,
lebih hening dari spinx
menghikmati sepasang mawar
yang memekari dagingmu.

Dan aku pun tak mungkin lagi menikammu,
seperti bayi ranum yang mengasah
segenap taring dan purbaku?

Tubuhmu lebih luas timbang waktu.
Dadamu lebih bebas timbang kupu-kupu.
Dan farjimu seganas giras sungai
yang menabrak dan melemparku
ke gunung,
ke kembaranku yang setia
menunggu terjun

vii
Kau tahu,
sungai dan batu tak pernah bersekutu?

Maksudku, aku tak mungkin
mencumbumu. Aku selalu gagal
mencecap getah perdumu, seperti dulu,
ketika mula belajar tidur.

Sebagaimana keinginan kembali
ke gua gaib, di mana tuhan pernah mengintip,

membisikkan tiga suku kata
yang memekarkan jantungku:

tiga suku kata yang mirip panggilanmu.

Hingga,
rusukku yang berbulu itu terbang,
layaknya kupu-kupu lugu yang hinggap
di lengkung alismu,
di kelopak matamu
yang dungu

viii
Tapi dungu bukanlah milikmu.
Kau lebih beku dari batu.
Kau lebih ungu timbang masa lalu.
Kau juga melebihi keruh ibuku.

Hingga,
aku tak bisa menemukan perutmu.
menyusup ke rahim,
atau mengalir
di arus nadimu.
Menjadi terumbu di laut darahmu,
dan bukan jadi batu yang sendiri,

di sini,
di bugil pagi yang menggigil
di bawah kuntum matahari

ix
Ini tentu sudah ngelantur, bukan?
tapi tidak. Tidak, Sayangku.
Prihal cinta memang sering tampak ganjil.
Dan mungkin, 1001 pangkur,
1001 mazmur tak akan manjur bertutur.


Sebelum kita benar tidur,
baiklah, kulengkapkan cerita ini:

Kamu tahu, apa yang diminta Hawa
ketika Adam mulai tergoda?

Waktu itu, sorga serupa bunga raksasa
dengan bulu dan sepasang-pasang
penuh warna.

Dia meminta itu. Maksudku,
lubang itu. Dan seperti Adam yang merajuk
ceruk hitam, aku terkenang
lubang batang kayu yang
persis milikmu.
Milikmu.
Dan milikmu.

Di lubang itu, bersembunyi
ular bermahkota mawar yang membuat
jantung keduanya jadi nanar.
Hingga tanpa sadar
mereka bareng berujar,

ajari kami, ajari kami terbang
menuju hulu dan kupu-kupu…

Dan mereka pun diajar.
Mula-mula mereka dianjur menjuluri tidur.
Dan tidur mereka jadi ular yang saling membelit,
seperti sepasang kutuk yang melingkari pohon.

Pohon yang di tengahnya,
lubang yang tak pernah habis terbakar itu,
tiba-tiba menyala dan menjatuhkan mereka
ke kedalaman panas dan bergetah.

Sebutir apel pun pecah.
Sepuluh kupu di pucuk tangan adam terbang,
seperti luput pertama yang berteriak dan meminta:
Bapa! Bapa!

:sejak itu, manusia punya kuku
untuk mencakar dan berdoa.

x
Pagi jadi bangka.
Waktu seperti lelaki tua
yang diam tak bersuara.

Dan, seperti Adam yang kembali terjaga,
aku hanya duka yang menatapmu,

menatap dedaun yang tumbuh dan gugur
di wajahmu, seperti jari-jari gaib, melambai
hari-hari yang pucat pergi, tanpa berahi...

(2008)




Bunga Batu

Duh, bunga batu yang tumbuh di badanku,
aku ingin mencucupmu sekeras batu:
batu yang melahir dan mengutukku.
Lalu, kita sama pergi,
seperti mimpimu,
seperti mimpi batu yang tak mati-mati
dan berkedipan
sepanjang pantai.
Aku tahu,
(seperti yang juga kau tahu),
pantai hanya pantai.
Pantai bukan ibu yang membuat kau dan aku
lebih batu.
Dan aku juga tak mencintaimu seperti cinta batu.
Ketahuilah,
cintaku bukan gelang atau cincin,
cintaku hanya pasang saat aku bimbang
dan tuhan menghilang.
Jangan katakan cintaku bulan, sebab
cintaku hanya bunga api yang menyala pergi.
Jamur-jamur di tubuhku meninggi,
lebih tinggi dari mulutmu,
mulut batu
juga mulut nujum
yang tak pandai
menyebut mati.
Lalu,
aku pun mencucupmu
seperti menciumi selingkar batu
dalam kitaran pantai,
seperti mengitari hari-hari
yang pulang-
pergi
dengan ciuman batu
yang membunuh sang ibu
dan melubangi perahuku…


(2008)



A। Muttaqin, dilahirkan di Gresik, Jawa Timur, 11 Maret 1983. Lulusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya. Giat di Komunitas Rabo Sore. Puisinya merambah berbagai media, lokal pun nasional, seperti: majalah sastra Horison, Kompas, Koran Tempo, Surya, Suara Merdeka, Suara Indonesia, dan Surabaya Post॥ Selain itu, terhimpun juga dalam beberapa antologi bersama, yakni: Album Tanah Logam 2006, Pelayaran Bunga (Festival Cak Durasim 2007), Rumah Pasir (Festival Seni Surabaya 2008), dan 100 Puisi Indonesia Terbaik (Anugerah Sastra Pena Kencana) 2008. Kini bekerja sebagai editor.


by : Arie MP Tamba

sajak-sajak Esha Tegar Putra

sajak-sajak Esha Tegar पुत्र

Koran Tempo, 15 Maret 2009

MENGUKUR JARAK

Esha Tegar Putra

akhirnya aku tahu, antara singgalang dan buahbatu
ada yang terentang serupa benang, yakni matamu; mata perdu

meski sesekali aku tersesat di jalan panjang dan tubuh jalang
bayangmu tumbang di antara serak bunyi puput batang padi

kiranya siapa yang lebih mengerti selain sunyi yang kian mati
matamu menyiratkan lubuk dalam, bayangan di dasarnya terkurung

terbenam juga angan, pantai panjang dikulum pasir bergaram
matamu menyiratkan sesuatu yang padam, sesuatu yang geram

antara singgalang dan buahbatu adalah rindu, begitulah seruku
teramat lapang ini langit, teramat sulit buat digigit

aku kian bergairah; di sini lembu, kuda, tempua, kecebong
segala binatang ikut berseru dari hunianku, ikut berseru sepi

jarak tak merupa benang pintalan biasa (bukan pintalan si tua yang
dengan gemetar menenun kenangan lama di helaian kain satin)

bilamana rindu ini padu menjadi bau gaharu, siapa yang bakal
sanggup menenun makna cinta yang berubah jadi perca?

isyarat mata perdumu, sekumparan kabut lembut penggenap kalut
tapi siapa yang sanggup menelungkupkan tanjungku ke arah lautmu?

kali saja pasir susut, singgalang merupa gundukan tanah biasa
tak bersuara tak berseru, dan buahbatu menghela itu rindu

di ini tahun pucuk cinta menumbuh baru, sesuatu yang padu
digenapkan tubuhmu, dengan bau lokan rebus dan amis susu lembu

akhirnya sajak jadi himpunan bahasa yang tak perlu diberi tahu
dan aku akan berucap mengenai jalang malam menjelma tubuhmu

kiranya kau tak mengerti, sajak tumbuh di dagumu, punggungmu
dadamu, di segala yang ada padamu menumbuhkan gairah sajak

Kandangpadati, 2008

SEPINGGAN SAJAK SEPI

tentunya kita tak bakal saling melupa, sekarang aku sepinggan
sajak sepi, sedangkan kau sebentuk kata hati

tentunya kau tak akan pernah mengira bahwasanya aku akan
mempunyai sepasang mata berbahaya, mata yang bisa memandang
tembus lewat sesela angin (maka dari jauh, dari jarak yang tak bisa
kau tebak, pastinya aku akan menatapmu dengan penuh malu)

aku juga seorang penujum yang tahu di tempat mana kau
sembunyikan rasa sakit, ke sudut mana kau benamkan kenangan geli
yang selalu ingin kau nikmati sendiri

pastinya aku tak akan banyak berucap dan bergumam lagi
tapi piuhan mantra dan jimat penghela akan kudedahkan
(bagi siapa saja yang menyembunyikan kenangan
ke pucuk paling rahasia)

aku juga akan mengobati kau, jika dalam sakit
aku akan menyajikan sepunggung tulang
agar kau kuat dalam mengingat dan sigap berucap

tetap saja aku akan kau maknai sepinggan sajak sepi
sebab kau sebentuk kata hati
dan kita pastinya akan cepat bertemu jika sakit melibatkan diri

Jalantunggang, 2008/09


Esha Tegar Putra sedang belajar di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas, Padang.

Sajak-Sajak Budhi Setyawan

Puisi Puisi Budhi Setyawan
Jurnal Nasional Jakarta | Minggu, 08 Mar 2009



Ada Yang Tertinggal Oleh Larimu
: sumantri

tak kau dengarkah roman rona masa silam
dengan teriak parau memanggilmu:
”pulanglah sebentar, aku mau cerita. tapi riuh kemilau
gerak zaman menindih sepimu bertubi tubi.”

tak pernahkah terlintas di kanvas jalanmu
waktu lalu yang dulu pernah dekatmu
kautinggalkan sendirian di sebuah halaman
meradang merana ditimpa kepanasan kehujanan

dirinya kian asing
memanggil dan terus memanggil:
”temui aku sebentar, sebentar saja, sungguh aku mau cerita.”

memang dirimu telah lesat jauh
dari langkah kecil yang merunut setapak
berganti jalanan lebar berpacu bising

jendela kamar tak lagi terbuka setengah
seperti dulu menangkap rembulan keperakan
kini rapat katup takut lembab malam

sumantri tak lagi lugu bocah dusun
telah menjelma punggawa kerajaan
yang bermain main di pendar dunia awang awang

menggebu menderu genggam putaran dunia
menegak menjelajah panggilan satria
ada selangkah yang belum tergapai nuju ksatria

sukasrana tak boleh terlihat
dan kemunculannya terhapus hunjam runcing
panah jumawa terpisah damai cinta

sukasrana
masa silam

menemanimu dalam membuka pintu
oleh ketukan terakhir pada nafasmu

Jakarta, 2008



Dedaun Yang Akan Terbakar

di ruang ini
mesin mesin menggeletar mencuri sunyi dan menggantikannya dengan riuh gemuruh
meniti rute yang telah disediakan oleh cuaca
sambung menyambung seperti membariskan kampung
yang mengirimkan tampias tanya di ringkih jendela

jalanan dan pipa pipa menarikan gerak aroma tembakau dengan irama musim panen
wajah berselimut kibaran asap tersembur
dari bibir yang galau mengeja samar
hunjaman waktu
tiada letih
tiada jemu
tlah dibuang segala keluh
di lembah yang jauh

meski ada yang menyelinap
seperti bayangan kucing yang lewat
sesak pengap
atau semacam perangkap yang menyimpan jawab
meski begitu lambat keong merayap

Cirebon, 2008


Kejap Lesat

ah waktu mengapa kau bergegas terburu
menyerobot kuntum puisi berembun
yang lagi kukunyah, belum juga sebait
tidak bisakah sejenak bersama
kita mengurai riwayat rasa
di kedalaman lubuk lubuk lengang
lepaskan segala hitungan dan angka angka
lukis sepenggal sejarah
tentang makna yang kian terbenam
di alunan gersang peradaban

ah waktu mengapa kau bergegas terburu
seperti dikejar kejar seribu hantu
yang menjelma sosok tuhan
sedang gores gores luka masih basah
mengucurkan ratap di anyaman malam
bentang layar yang memendam letih

ah waktu mengapa kau bergegas terburu
masih menghampar duri tanya meruncing
di lantai dinding dan langit kamar percakapan
menunggu rapat jawaban yang suka sembunyi
di sebalik dedaun redup perjalanan

ah waktu
kau kaku!

Jakarta, 2008


Malam Tanpa Sapa

senja membimbing patung patung itu
kembali ke alamnya sendiri
tanpa merdu lagu dan simponi syahdu

setelah berkelana jauh diajak terbang angin
bersua wajah wajah berdebu
kian didekati kian menjauh
kian diamati kian asing

terbirit menuju samar
mengais sisa purnama
yang dulu bersarang di pucuk kelapa

waktu gagap menatap warna
tak ada beda di tiap ruas
lepas genggam jejak cerita

keliaran kelam menyimpan bayang
sapa kawan lama
menyergap mendadak asing

gamang menyeruak menyerang
menerjang dengan senjata garang
kelam menempel rapat di serpih ruang

meraba raba relief langit
mencari tali cakrawala
yang tergerai di bilah doa

segala ucap terendap di letihnya
semua teriak terkurung di kamarnya
tak ada celah seberangkan kata

malam begitu batu

Bekasi, 2008


Pahatkan Waktu Pada Pencarian

kepakkan segenap tarianmu
kecup segala pucuk gelombang
di antara bayang perdu wajah merindang
desau angin berebutan
pada celah kisah yang masih saja merayapi
ceruk desa panjang kota
yang menyimpan kumparan kumparan cahaya

ragu yang bertingkat tingkat
muram yang berpangkat pangkat
desingan permintaan dan dinding kesanggupan
tawar menawar dalam degup gemetar lirih nyanyian

malam adalah selimut tebal yang penuh rayuan, juga
tirai yang terpasang di gerbang perpindahan usia
siapa siapa yang cerdik memainkan kitab rahasia

suara musim meringkas segala sadarku
sejarah perburuan usahlah usai

Bekasi, 2008



Di Sini Kucari Atlas Kenangan

mendung membuat langit miring dan limbung
aku ikut terhuyung mengingat ada yang tak tertampung
dari sebuah gaung igauan yang memanggil kursi taman
juga pepohonan bercabang rendah yang begitu mengerti
sediakan tubuhnya buat teduhkan kata kata yang nyeri

hujan yang tersimpan di pojok pojok kota
kadang begitu beringas memprotes cuaca dan suasana
memainkan lagu yang sarat improvisasi nada
engkau dan aku tertegun di semenanjung jeda
pintu pintu membentur di hidung dan kening kita

ada kalanya mesti diletakkan
keranjang penuh muatan di punggung zaman

kupanggil puisi puisimu yang kelebat bercuap di depan kaca
terus saja bersuara tanpa menolehku
berjingkat akan kutangkapi untai elok kata itu
namun ia begitu lihai menghindar
lalu bersekutu dengan tarianmu
bersama mulut angin menekuni tengkukku
mengirimkan gigil yang meluruhkan hijab mimpi
rontaku mengalir di bawah tawanya
yang memecahkan bentang dinding kamar, tawar

jarum jam merayu gedung gedung tinggi berbaring
melemaskan otot otot setelah bekerja seharian
kepenatan yang mengisi pembuluh peradaban
juga endapkan debu debu yang tadi beterbangan
tiang tiang lampu jalan saling pagut berpelukan
mengisi ruang ruang kemuraman
yang saling berkelindan menafsir beku percakapan
suara gamelan yang semakin lirih dan rintih
belum sempat kita perbincangkan dan terjemahkan

ada kalanya nyeri ditahan
simpan di balik jeruji kesah dan teriakan

ketika pucuk malam mulai melelapkan gang dan jalanan
masih saja kausimpan misteri keindahan tak tergantikan

Semarang, 2008


Di Sarang Urban

di sarang urban
kata kata tiarap
sembunyi takut ada razia
keluar bila ada teman
aroma senja
kelam malam
temaram bulan
girang bintang
meliuk dalam jinaknya

di sarang urban
percakapan kian diam
tak mudah untuk mendapat jeda
nyaman masa disekap gaduh
mesin bernyanyi
beton menari
sepi terusik
asing terpetik
nurani terisak menyesak

di sarang urban
waktu melesat kilat
tak sempat mengangkut jerit
panggilan yang datang terlambat
rintih ratap
kelam musim
pekat mimpi
tatap duri
guratan jawab menguap

Jakarta, 2008


Kerajinan Jiwa

karena hujan memanggilmu pulang
ada atap yang bocor serambut
meneteskan elegi di sebuah kamar di rumah kenangan
diiring badai kata kata menyodorkan kecamuk
menghunus hiruk pikuk
terburu segera menemu peluk
puisi yang lama tersimpan di lambaian pantai
memerah jingga diperam senja
ada yang mesti diurai lagi
lalu dirajut kembali
juga diberi sulaman warna yang lebih berani
karena percakapan dengan hening kedalaman
memberikan titik runcing cahaya
dan sayapnya mengepakkan damai
ke dalam setiap rindu yang tercipta

Jakarta, 2008




by : Arie MP Tamba

Sajak-sajak Bernando J. Sujibto

Puisi Puisi Bernando J. Sujibto
Koran Tempo Jakarta | Minggu, 15 Mar 2009




Katedral Batu 1

sebuah kitab di tanganku
menuliskan salju baris putih
kepingannya akan pecah
di kotamu
sebagai hujan
yang mengetuk

dan pintu-pintu akan terbuka....

(2008-2009)


Katedral Batu 2

1/
tersepuhlah tuah
bagi masa silamnya
yang hilang
yang mengingatnya
luka-luka akan gemeretap
tiap dinding tergurat
sepanjang ruas baca
musim-musim payau
luruh ke geraian

ingatakan!
yang retak tak kan terberai
demi selembar daun
yang tumbuh dari akarnya
akar-akar yang menyulamnya
menjadi tembaga senja
di lembaran doa

ia akan menyapamu
selekas kedipan petir
yang telah merubuhkannya

2/
setiap mengingatnya
aku akan meniupkan pasir
dari sesap keminyan ke wajahmu
hingga bersekutulah waktu
menjadi sumbu
getar yang biru

biarlah tumbuh
untuk rubuh
bangunkan mereka
di atas tatal yang beda


(2008)


Nokturna Hujan
Atawa Batu Ajaib?
-(sms dari Cak Rushdie Anwar)-

”dalam hujan
kurasakan tuhan begitu dingin
dan menyurukku menggigil”

”dalam hujan
tak ada yang kepanasan
saat tubuh mereka terbakar”

”dalam hujan
lahir batu
menjadi riuh yang aneh
bagi kota dan orang-orangnya”

”ada yang menusuk ke dalam ingatanku. Menyaksikan mereka kembali kepada sunyi muasal dan keminyan yang terkubur di sebuah pusara menghantarkan mereka tersilap dalam kepingan senja yang tembaga. Di sana tubuh mereka telah menjadi rel kereta bagi perburuan yang hilang, bagi pencarian yang tenggelam”

”dalam hujan kini aku beku
dalam batu kini mereka menggigil”

(2009)


Jalan Sungai
ke payakumbuh

setiap ujung daun
selalu mengucur air
seperti kesetiaan sungai
kepada setiap jalan di sini
sungai untuk semua, bisikmu
menerbangkan mimpi ke awan
mengembalikan hujan ke tanah
dan
mereka pun lahir
dari jantung tanjung
dari kelokan maninjau
dari tepian sungai-sungai
menjadi kilap batu di langit
menjadi tuah pusaka semesta
dari bukit
langit begitu dekat
merapat ke segenap sudut
jalan-jalan seperti berlepasan
menuju tubuh yang siap dilahirkan
menuliskan seribu peta keberangkatan
matahari dari balik kedipan siap bersambut
merajam sangsai sungai di laut, kisah masalalu ditenggelamkan
aku datang seperti sepasang insan bertemu dalam pelukan tuan
leluhur kata-kata yang telah merajut pelangi dari semua musim
merangkumnya di sini, di jalan sungai yang terus mengucur air


Ihwal Serpihan Musim

hujan

ia mendiamkan ombak di lorong mataku
menuju tujuh lapis kepada satu langit
kelak ia akan menjejak di pipimu
menjadi peta anak-anakku

kemarau

ke tepi bukit, ke sawah bawah sana
petani menaksir buah simalakama

kabut

engkau lebih awal menghapus ingatan
adalah bayang-bayang di balik hujan

jejak

yang dihapus akan acap datang
lantaran angin menyeka beranda


(2008)




Setelah dari Rumah Atas Bukit
Kepada Bang Raudal Tanjung Banua

jika ke pesisir selatan, terbayanglah ombak
menjahit langit dengan tungkai bukit taratak
ada kuda yang berkelebat di balik saga senja
“tabik bagi orang-orang rantau!” kata mereka

dari atas bukit itu, si koto, mengurai kisah
jarak pandang antara laut dan beranda rumah
tergerai pelangi, bersambut warna-warna sisik
ikan di langit, sketsa kapal-kapal perantauan
yang tak pernah bisa ditambatkan

laut, di sini, lebih setia menyimpannya
sebagai rahasia yang tak tersebut namanya

di ujung april sebelum ke payakumbuh
kelahiran itu kutemukan seperti selendang subuh
mengakrabi daun yang uratnya kini menjadi pohon
dan di tengah pagi ia akan pecah menjadi awan
terbanglah ke semua sudut langit, yang begitu dekat
dari atas bukit bekas rumah dan rehat kisah kesah

dan, jalan ke bukit itu setiap hari berubah
sukma tertusuk duri hingga berkali-kali
seperti tak sanggup melayat kembali

setelah dari rumah atas bukit itu
jarak bukit dan laut begitu dekat

jika orang memanggul rotan, ia
pasti baru saja berlayar di laut
jika mereka membakar ikan, ia
pasti baru saja berburu di bukit

(Padang, April 2008)

by : Arie MP Tamba

Sajak-Sajak Tia Setiadi

Puisi Puisi Tia Setiadi
Jurnal Nasional, Jakarta | Minggu, 22 Mar 2009



JEMBATAN BAMBU KE ARAH HATIMU


i
Jembatan bambu ke arah hatimu,
air kali dibawahnya, mengilau.
Ada wajah langit disitu,
juga wajahmu
wajahku
memecah menyatu
memecah menyatu
dalam riak dan arus yang khusuk.


ii
Seruntun lagu
terulur
dari ufuk
kalb.

terulur
dari ufuk
murung.

terulur
dari ufuk
jauh

terulur…




iii
Hanya kelopak-kelopak bunga baobab
yang tahu kenapa tiba-tiba mataku sembab.


iv
Tapi burung-burung rengganis
kerap singgah dan berhinggapan
di dahan-dahan albasiyah
menggusah gundah
bersiul tentang hidup
yang nikmat dan khidmat
nikmat dan khidmat
bagai senyumanmu.


v
Mendadak buah-buah campedak berjatuhan
suaranya berdeburan, berdebaran seperti mimpiku.


vi
Aku ingin menjadi tupai
yang lincah berloncatan
di gerai-gerai rambutmu
yang hitam bergelombang
bersibakan kerna angin.

Lalu istirah
di kebun anggrek yang bergerumbul
dan semerbak dikeningmu
sembari mengeja harapan
yang berbaris geulis di lengkung alismu

atau terbaring saja
di bulu-bulu halus leher kencanamu
yang gemetaran.


vii
Sepasang bukit
yang padat melancip
adalah keindahan lain lagi
mendakinya mesti dengan kesabaran.
Dan kelak, ‘pabila sampai ditikungan itu
akan kupanjati ramping pohon pinang
dari atasnya bakal nampak tamasya:
parit kecil yang ditepi-tepinya
merimbun semak dan rumpun
gelagah dan perdu

Hm, bolehkah aku mandi disitu?


viii
Seseorang memetik kecapi
setelah melepas capingnya
awan-awan datang lalu hilang
cahya lembayung hibar dikejauhan
ilalang bergoyangan:

Ah! Ah! Ah!

Berapakah jarak
antara bimbang
dan harapan?
antara mimpi
dan kehadiran?

antara kau antara ku?



ix
Nanti, ke dangau ini
bakal ada yang datang
menjemputku.
Barangkali gairah
atau
mungkin maut.
Tapi
di dinding kayu itu
telah kupahat nama
dan lekuk bibirmu
biar kekal
seperti kesepian.


x
Sebab sudah saatnya
aku takjub
pada setandan pisang
yang kuning mengkilap
seperti emas.

Sudah saatnya
aku takjub
pada unggas-unggas
yang girang berenang
di luas telaga.


Sudah saatnya
aku takjub
pada tangan
yang melambai-lambai
sederhana.

Sudah saatnya
aku takluk.


xi
Jembatan bambu ke arah hatimu
akan kusebrangi walau
akankah sampai kesana
akhirnya?
Aku tak tahu.
Aku tak tahu.



: yogya, 2005-२००९



by : Arie MP Tamba

Sajak-Sajak Gus tf

Sajak-Sajak Gus टफ

Koran Tempo, 29 Maret 2009

LUBUK KABUT

Gus tf

kaukatakan engkau mampu, memangkas rimbun kabut

di matamu. Cuaca berubah-ubah tak menentu. Segala

bisa tumbuh atau ranggas di dadamu. Segala bisa

hijau atau kemarau di ladangmu. Diam-diam

diam-diam, kukenali ia, sang kabut, yang saban waktu

datang menjumput. Kulihat engkau, entah kapan, riang

menyambut. Seperti tubuh di dasar malam menggigil

butuh selimut. Selimut kabut? Ah, kaukatakan

kaukatakan engkau mampu, melepas jubah kabut dari

tubuhmu. Cuaca berubah-ubah tak menentu. Gerimis

di lain ladang bisa jadi hujan di dadamu. Panas hari

ini bisa jadi kemarau di lain waktu. Diam-diam

diam-diam, kukenali ia, sang kabut, yang saban waktu

datang menjumput. Kulihat engkau, entah kapan, lekas

tengadah. Meninggikan pundak, menaikkan wajah

seperti kubah. Kubah kabut? Ah, kaukatakan

kaukatakan aku mampu, menggantang kabut dari lubukku.

Surabaya, 2006

PETANI

Jika kautanya mauku kini, kujawab: jadi petani. Membalik,

menggembur, mencangkul tanah dalam diri. Kata-kata sudah usai,

rindu dendam telah lerai. Tinggal kini umur, yang ingin kulumur

dengan hijau sayur. Anakku bilang, “Klorofil, Papi. Serat yang

kaya zat antiradang, antioksidan, dan antibakteri.” Hmm,

anakku suka aku jadi petani. Apa lagi? Di kekendoran urat,

sering kurasakan geliat ulat. Di kedalaman daging, acap kudengar

dengkuran cacing. Maka urat-urat harus dibikin liat. Dan daging,

kukira, harus sedikit lebih hening. “Jangan cuma tanam bayam,

Papi, tapi juga alfalfa, brokoli, selada, dan seledri.” Hmm,

anakku kenal banyak jenis sayur. Namun, tahukah ia sayur

yang paling sayur? Sayur yang kumau, anakku, yang bikin doyan

primata dalam diriku, yang bikin tenang serigala dalam lolongku.

“Dan, asam folat, Papi, sangat dibutuhkan buat mencegah cacat

pada susunan syaraf pusat.” Eh, cacat? Hmm, tahu apa

anakku tentang cacat? Dan, asam folat, zat apa pulakah itu

asam folat? Anakku, agaknya, memang lebih tahu ketimbang aku.

“Selain cacat, asam folat juga menekan risiko kanker, mencegah

anemia, penyakit kardiovaskuler. Dan, yang juga penting, Papi,

klorofil membantu fungsi hati. Ha, hati? Cukup, cukup,

kukira, memang, tak penting bagiku yang lain--kecuali hati.

Payakumbuh, 2007

HASRAT

Tubuhmu ditumbuhi ilalang, usia menyibak dan memanjang.

Matamu mencangkul malam, gundah gemilat menolak padam.

Kenanganmu jeruk melisut, lebat pertemuan menyemaki sahut.

Himbaumu sesal tertahan, sayup samar suara menunggu kapan.

Lenganmu menjulur belum, peluk bergelayutan menahan cium.

Igaumu debar meronta, bibir berdenyut ke ujung gemigil kata.

Langkahmu merahang batu, jejak tertumpu tempurung ragu.

Ingatanmu naik gerincing, silam merinding di buluh daging.

Lepas. Lepas saja. Hasratmu lepas hanya bila dahaga.

Yogyakarta, 2007

EMPAT SEJARAH ORDE LUPA

1

Kami orang-orang alpa, berkali-kali lupa, di mana kami berada. Kami juga tak tahu ada benda bernama peta dan tempat tinggal kami bisa dikenali dengan semacam tanda. Tentu kami punya nama, tentu juga punya bahasa, tetapi Anda tahu, nama atau bahasa, kini, satu sama lain cenderung serupa, dan cara mengejanya kadang mirip belaka. Apa yang Anda andalkan bila Anda tak punya cukup ingatan?

2

“Belajarlah membuat catatan,” kaubilang. Tetapi kami juga telah tak paham cara mencatat. Seorang dari kami pernah mencatat, tapi yang ia catat hanya tempat-tempat, alamat-alamat, yang ia salin dari sampul sejumlah surat. Surat yang, Anda tahu, hampir seluruhnya salah alamat. Dan jika pun ada yang benar, selalu kami tak yakin, dan buru-buru berpikir jangan-jangan surat kesasar. Apa yang bisa Anda andalkan, bila Anda, pada kenyataan, tak lagi punya keyakinan?

3

“Soal keyakinan,” kaubilang, “mari kukatakan: justru itu bukanlah soal. Keyakinan tak tumbuh dari kenyataan.” Lalu kau bawa pikiran kami ke gua-gua, undur, surut kembali ke liang-liang purba. Saat kami bilang, Kelam, cepat engkau menukas, Tak semua yang kelam adalah malam. Saat kami bilang, Terang, cepat engkau menukas, Tak semua yang terang adalah siang. Saat kami bilang, Biru, cepat engkau menukas, Tak semua yang biru adalah langit. Tak semua yang kuning adalah kunyit. Tak semua yang warna adalah nama, bukan?

4

Baik. Kami paham kini. Soalnya cuma nama. Dan kami pun memberi nama-nama baru untuk segala yang alpa, segala yang lupa. Dan ya, Anda tahu, dari sinilah kami mulai mencatat, dan sebenarnya, mulai melihat. Betapa benda dan barang-barang lama, setelah dicatat, jadi tampak persis seperti yang kami lihat. Betapa masalah dan halhal lama, setelah betul-betul dilihat, kadang tak lagi perlu dicatat. Betapa kini, Anda bisa ingat, cukup hanya dari cara melihat? Alangkah ganjil, juga sederhana, sejarah lupa menjadi ada. Sejarah yang, beratus-ratus tahun kemudian, seperti hari ini, cucu-cucu kami kembali alpa, kembali lupa.

Payakumbuh, 2007

Gus tf lahir 13 Agustus 1965 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Buku puisinya adalah Sangkar Daging (1997) dan Daging Akar (2005).

Sajak-Sajak Endang Supriadi

Puisi Endang Supriadi

Jurnal Nasional, Minggu 29 Maret 2009




AKU SATU DI ANTARA

berlapis-lapis kata bertumpuk
di meja seminar. berlapis-lapis kabut
menumpuk jadi kalimat di benak
para penyair. berlapis-lapis kalut
membalut di hati para pemabuk

akulah satu diantara pemabuk itu, tuhan
mabuk oleh rasa asing ini, mabuk oleh
peradaban bumi, mabuk oleh moleknya
luka, mabuk oleh anyir belerang kawah
mabuk oleh waktu yang berpohon empedu

berlapis-lapis angin merangsek
ke dalam kamar. berlapis-lapis ingin
mendesak batin. berlapis-lapis angan
berpegangan di kerongkongan jalan
berlapis-lapis tepis, gagal membatas deras

akulah satu diantara yang engkau beri gigil itu
meringkuk di dalam kalimat pucat
kata-kata tak tuntas selesaikan makna
dingin ini terus membekukan sendi-sendi
pikiran, aku terhuyung di negeri bualan!


Lembang, November 2008



KALUT YANG BERKABUT

jalan meliuk seperti rambutmu yang
diporak angin. garis lidah lahar
mengurai tebing ke titik paling dalam
itu kabut menyerupai kalut hatimu
yang memar oleh lilitan akar soal

engkau lempar rasa pedih ke dasar kawah
siapa peduli dirimu jadi kabut di gunung ini
sebab setiap kaki punya langkah sendiri
setiap hati punya rumah pribadi

batu cadas yang kaududuki
tak lebih sebagai tonggak peradaban
yang rapuh. ia akan surut oleh waktu
seperti kita yang menganggungkan kata
sebentar saja dibuat jadi si perkasa

si lelaki tua itu berharap dirimu jadi kupu-kupu
di kamarnya. membawa pulang sepotong hatinya
yang patah di tikungan jalan. ia meminta kau
melekatkan kembali patahan hatinya itu dengan
liur kerindungannya yang tak henti menetes
dan kau harus pasrah ketika tempat peraduan
jadi medan pertempuran!


G.T. Parahu, November 2008


SEORANG PENARI YANG BERNYANYI

di sini, laskar dingin menguasaimu
namun letupan api di matamu tak terjangkau
oleh gigilnya. kau menari di atas lapisan kabut
mengurai kehangatan ke pucuk-pucuk cemara

lelaki adalah seekor buaya berlidah mawar,
katamu. tumbuh dari selangkangan bumi
dia tak sadar sudah kalah sebelum fajar
dan jadi undur-undur dibalik punggungnya sendiri

di sini, purnama hanya sekeping kancing
di kerah baju. jarang keluar dari peradabannya
namun seribu matahari telah engkau gantungkan
disudut-sudut malam, di rimbun kegelapan

kau bernyanyi dan tertawa
menangis dalam dahaga. lalu kau berteriak,
“kalian kenal aku? aku adalah sebuah kegelapan
yang kalian ciptakan di setiap malam!”

Lembang, November 2008


GADIS LEMBANG

bernyanyilah irene bagi kegundahan pagi
dimana bunyi gelas yang beradu telah
membuat kian jauhnya angin ke dingin

bernyanyilah irene sebelum meja peradaban
digerakan oleh otak yang liar, dicabik-cabik
oleh keheningan gerimis yang menenun sunyi
jadi gelang-gelang sepi

leher ini telah dililit oleh rasa jenuh yang
amat dahsyat. kabut telah merangkai lembar
kegelapan sampai ke tiang iman
jiwa lebam dalam kelam

embun tak jadi api, namun kilaunya
telah menyileti rasa gugup ini. penyair
bukan penyihir, irene. ia tercipta dari kata-kata
jika kau suka, kata-katanya akan jadi legenda
jika kau tak suka, kata-katanya akan cepat binasa

bernyanyilah irene bagi kegundahan hati
bebukit tak lekang oleh kabut, tapi sirip embun
telah memasang sayap dinginnya diseluruh tubuhku

bernyanyilah irene, agar udara yang keluar dari
napasmu dapat menghangatkan seluruh isi
peradaban ini. aku; orang pertama yang akan
menguak kabut bagi kegelapan langkahmu.

Lembang, November 2008



DI BALIK CADAS

dibalik cadas kau simpan kelembutan. namun
lelaki yang menanam mawar di tangkai melati
tak tahu kalau hatimu ikut tergores. angin sejuk,
bersisik belerang. kau tetap tersenyum tatkala
hujan menanam kembang paku di kakimu

lembang telah mengalunkan tembang kerinduan
pohon-pohon cemara luruh di setiap pagi
tapi bukan engkau irene. bukan engkau

engkau adalah segumpal kapas yang terapung
di ujung mendung. dan lelaki itulah yang telah
jadi lumut disela batu kali yang terbelah. ia kalah
tatkala engkau mengelak di saat ia hendak menapak

baiklah irene. jakarta takkan kubawa ke dalam
pikiranmu. biarlah kota itu hanya akan jadi bayang-bayang
di kolam, atau menjelma seekor kunang-kunang
yang melintas di malam-malammu. bukan sebuah kota
yang harus kaupercayai seperti kasih ibu

aku akan berkata bahwa jakarta,
sebentar akan jadi pacuan kuda. dimana para
penunggangnya akan berpacu dengan polusi dan polisi
dan semuanya akan jerah dan kalah.

Lembang, Nopember 2008


ANAK ANAK YANG BERJARAK

anak-anak yang berjarak dengan asap
perlu tahu dimana rumah bunga, juga
taman bermain yang kerap menjelma
busa sabun mandi di dalam mimpinya
bukan dibawa ke sarang api atau ke
rumah debu bagi kebutuhan hidupnya

anak-anak adalah pemilik keindahan
keceriaan dan gelak tawa. anak-anak
yang berjarak dengan batu, wajar masuk
ke dalam wilayah pelangi. bukan berada
di simpang jalan, menghitung panjang
trotoar, dan berlama-lama jadi sapi perah
dijalanan

anak-anak adalah sumber energi sehat
roda yang menggerakan kaki kita
ia kelewang bagi kejenuhan. mereka
pion yang seharusnya ada dibelakang kita
sebagai pendorong semangat. mereka
bukan tameng bagi kelemahan kita
mereka adalah air di dalam api kita

anak-anak yang berjarak dengan pengalaman
dunianya adalah bermain. bukan pengumpul
kulit kacang, bukan pula pelebar sesak jalan
mereka adalah pencipta simfoni hidup kita
tembang-tembang indah saat kita lelah.


Citayam, November २००८


by : Arie MP Tamba

Sajak-Sajak Wilson Nadeak

Sajak Wilson Nadeak


SUARA PEMBARUAN DAILY
Last modified: 27/3/09

Malam Menjelang Paskah

percik-percik darah di ambang pintu

pelita pada malam gelap

jejak kaki malaikat sunyi

kepak sayap malaikat maut

berhenti

pergi mengusung mimpi

detak jantung anak sulung

terhenti

ambang tanpa darah

domba yang terbantai

ratap tangis

gerimis tanpa henti

Firaun yang geram

larut malam yang muram

lagu duka kehilangan

genta kematian

Bandung, 11 Maret 2009

Wajah

bukan wajah tampan

atau keceriaan seorang bintang

tepuk tangan

panggung kehormatan

bagi dia

penjelajah waktu

kehidupan dalam debu

deru

luka sepanjang zaman

demi kehidupan

orang-orang yang terlupakan

bukan wajah tampan

di bayang luka yang memulihkan

mahkota duri

"Eloi, Eloi, Sabakhtani!"

wajah

dalam benam nista

langkah-langkah

salib Golgota

seruan:

"Ampunilah mereka

para pembawa bencana".

"Beri Aku Minum"

siang yang gersang

lewat selubung malam

yang panjang

khianati sesudah nyanyi subuh

ayam jantan

pagi dera tubuh

tangan-tangan garang

jalan pendakian

langit pun berduka dalam kelam

siang tiba-tiba menjadi malam

terdengar rintihan:

"Beri Aku Minum"

cuka asam disodorkan

di ujung tombak sebuah cawan

ketika tiba-tiba bumi berguncang

serdadu-serdadu ketakutan

tirai di Bait Suci terbelah

teriakan menggema:

"Usai sudah!"

tubuh terkulai

dalam lengang bumi

Ketika Fajar Subuh

silau mendera serdadu

dalam subuh

gempa bertalu-talu

langit di taman

fajar dalam kepak sayap malaikat

yang mati dibangkitkan

kubur kosong

para imam mereka-reka bohong

para wanita

menyapa Dia

yang bangkit hari ketiga

para pria

dalam sukacita

menjadi pemberita

telah bangkit Dia

Fajar pengharapan

umat manusia

Bandung, 11 Maret 2009


Last modified: 27/3/09

Sajak Sajak Ahda Imran

Sajak Sajak Ahda Imran
Kompas, Minggu, 29 Maret 2009 | 03:37 WIB

Angin Muara

Aku telah menaruhmu

dalam bahaya. Di senja remang

angin muara ketika air pasang

dan pulau-pulau menghilang

Kumasuki semenanjung

berjalan ke selat tak bernama. Orang-orang

menyeberang dan meninggalkan tubuhnya

berlabuh di punggungku. Membawa

kabut dan kapal-kapal hantu

Di kelopak mataku

tubuhmu bergetar. Pikiranku dirasuki

kegilaan yang aneh. Setiap hari aku melihat

cahaya tanpa ruang dan bayang. Seluruh ikatan

terurai, tapi setiap kepergian selalu menyimpan

kutukannya sendiri

Kedua tanganku memanjang

dengan jemari yang membusuk

Laut adalah kelambu yang terbuka

aku tidur dengan perempuan bersuara

kasar. Anak-anak kami lahir dengan lidah

bersisik. Mereka tak menyerupai siapapun

leluhur mereka adalah sungai

yang gelap

Aku telah menaruhmu

dalam bahaya. Di semenanjung yang jauh,

di tengah deru angin muara, di selat

yang tak bernama

Dan menjelang air pasang

di kelopak mataku tubuhmu

menjadi bayang

sebelum pulau-pulau menghilang

2009

Ahda Imran

Dalam Kota di Atas Pasir

Angin menghilang

di jalan dulu ada yang selalu menyerupai dirimu—

pohon yang meneteskan air, gerak bayang sepanjang trotoar,

atau suara handphone dalam tas. Dengan hati-hati kubenahi

setiap ingatan. Dan belum juga kutemukan perumpamaan

yang sesungguhnya dari kejahatan dan keindahan

Di kedai kopi yang dulu juga kutemukan

potongan-potongan kukumu di atas meja

Kota ini didirikan di atas pasir basah

rumah-rumah seolah terbuat dari kain tetoron. Jalanan

melayang dengan tiang-tiangnya yang bertumpu pada batu karang

dan aku menemukanmu jauh sebelum orang-orang memastikan

kota ini dengan sebuah nama. Kini, dan kini, menyebut

namamu adalah menjadi seseorang dalam adegan

di relief-relief candi ketika kejahatan

dan keindahan menjadi kutukan

Setiap malam aku terjaga. Ke dalam ingatanku

kau telah menjelma lorong-lorong rumah sakit

sejak itu di kota ini aku hidup bersama

seorang lelaki dengan telinganya

yang selalu berdenging

Angin menghilang

di pasir basah tengah malam kota ini

akan tenggelam. Di jalan dulu kubenahi

setiap ingatan. Pada semua yang menyerupai

dirimu kupulangkan kembali seluruh perumpamaan

dan nama-nama, setelah aku menghancurkannya

berulang kali

Dan lewat sepasang matamu selalu kutemukan

perumpamaan berikutnya dari kejahatan dan keindahan

yang menjadi kutukan. Sepasang mata yang mengawasiku

dari potongan-potongan kuku di atas meja

2009

Ahda Imran

Mengingatmu Sekali Lagi

Begitulah

aku mengingatmu sekali lagi

lewat hujan yang berlari ke arahku

lewat lukisan perempuan dengan bintik

cacar di punggung dan di perutnya

Langit tengah hari

angin sungai menghembuskan bau kamarmu

membawa burung-burung lenyap ke balik

gedung-gedung berwarna kelabu

Pelan kubiarkan pikiranku dipenuhi air

kedua mataku terapung-apung di atas kota yang menguning

aku melihat setiap bagian tubuhmu menjelma seorang

anak kecil yang terjebak dalam tubuh seorang ibu

berdiri gemetar sambil menerbangkan

balon-balon hitam. Sehingga hari

menjadi malam

Begitulah

aku mengingatmu sekali lagi

lewat tempias dan rokokku yang padam

lewat kawan-kawan sekaligus musuh-musuhku

dan seekor lintah di balik lidahnya

Langit sore setelah hujan

melengkung biru. Dan dengan tenang jatuh

lembut ke balik Burangrang dan Tangkubanparahu

angin menyentuh permukaan kopiku. Sambil menenangkan

kata-kata yang terus berlari ke arahku, sekali lagi kunyalakan

rokok. Tiba-tiba jalanan lengang dan orang-orang menghilang

angin sungai menghembuskan bau tubuhmu. Bintik cacar

di perut dan di punggungmu. Suaramu menggema

dalam paru-paruku

Lalu langit penuh balon-balon hitam

Begitulah

di lurus jalan menuju lembah jauh

di sebuah malam ketika seluruh nama toko

di kota itu berubah menjadi namamu

ketika hari dan angin terlepas

aku mengingatmu terakhir kalinya....

2009

Ahda Imran lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat; tinggal dan bekerja di Bandung. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Penunggang Kuda Negeri Malam (2008).

Sajak sajak Inggit Putria Marga

Sajak sajak Inggit Putria Marga

kompas, Minggu, 29 Maret 2009 | 03:37 WIB

Pembawa Kincir

rambutmu meriap seperti garis-garis petir, ketika kemarin senja

kulihat kau melayang di atas tubuhku sambil membawa kincir

tapi mataku yang berbinar memandangmu saat itu, membuatmu tahu

lidi-lidi dupa yang kubakar tiap senja adalah mantra

yang akan menyihirmu jadi kuda

mungkin murka mungkin bangga

seiring putaran kincir yang tiada berawal-akhir, dari tatapanku kau menyingkir

lenyap sekejap peluh terserap pasir. aku menggigit bibir, terasa sisa putaran kincir

mengapung di angin sepoi semilir. di hatiku sesuatu berdesir, berkata:

pertemuan belum berakhir

pandanganku mencarimu di angkasa

ribuan burung gereja terhambur di bawah awan yang menyusun diri jadi tangga

menuju atap cakrawala. barangkali kau telah di sana, rebah sambil berpikir

mengapa aku hendak menyihirmu jadi kuda. di bumi, aku yang tak merasa dosa,

menutup mata. sisa senja telah mengubah planet ini jadi makam yang jarang

ditaburi bunga

hingga malam hilang hitam

kutunggu kau di padang mimpiku yang hijau, yang terhampar bagi domba-domba

beraroma kacau. namun kau tak lagi terjangkau, pergantian jam pun cuma persalinan

risau. apakah kau tersinggung dan berpikir aku tak serius menganggapmu agung?

sungguh, terlalu lama perjalananku terhenti. jutaan kilometer, padang api, laut duri,

hutan siluman sesak penghuni, membuatku getir meneruskan langkah mencapai asal

diri. sungguh, terlampau panjang waktu kau habiskan untuk memutar kincir

di ruang tersembunyi, menghindari para pencari, menghilang bahkan dari makna

terdalam sebuah puisi

senja ini kubakar lagi untukmu beberapa lidi dupa

datanglah. jika mantraku berhasil menyihirmu jadi kuda, kau akan lebih berguna

perjalananku mencapai asal diri yang lama terhenti pun

kembali bermula

2009


Bola Kristal

padahal sebelum sangkar hidup mengurungmu

aku telah menegurmu:

di telaga keruh, takkan membayang bulan meski separuh

bila genderang angin puyuh masih tertabuh

tiada mungkin tegak si gubuk rapuh

tapi umpama lampu penyepele kegelapan

betapa ringan kata-kataku kau silaukan

kau pergi sepergi asap meninggalkan api

di bara, aku sunyi pemeluk api

berwajah pucat terigu, setelah lima ribu malam bergerak

sepelan sayap debu, sore ini kau datang lagi padaku

kerut tangan, kabur pengelihatan, samar pendengaran

bukti sangkar hidup belum melepas statusmu sebagai tawanan

garis tubuh dan rambutmu mengaku

kini kau hantu labirin batu

labirin hasrat yang membuat anganmu terhempas

pada pemilik cinta yang sesempurna hawa dingin

pemilik cinta yang paling angin di antara semua angin

penujum, andai dulu kau bukan lampu penyepele kegelapan

maka kini di antara angin lebat pemutar roda musim

kujadikan kau selembar telaga jernih

tempat beragam bentuk bulan membayang

ratusan lotus mekar takzim menyarang

2009


Roda Sunyi

delapan butir telur embun

pecah di jalan batu

sembilan bulir air waktu

menitik ke kereta abu

di tanganku terbakar kamu:

cakram duri

roda sunyi

energi yang merebutku kembali

dari kurungan debu abadi:

hidup-mati

datang-pergi

membuat kepalaku

berdenyut dihutani ilusi

2008


Inggit Putria Marga lahir di Tanjungkarang, 25 Agustus 1981. Ia aktif di Komunitas Berkat Yakin, Bandar Lampung.

Kamis, 26 Maret 2009

Sajak Sajak Deny Tri Aryanti

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 28/1/05

Puisi Deny Tri Aryanti

Tono, JAKARTA

Tsunami Di Ujung Banda

Kutelusuri pohon-pohon tak berakar

menyusup di antara dedaunan basah oleh embun

memenggal setiap kata dan kehadiran semu

Bahkan darahku mulai menggantung

dari kabut merah

tercecer setiap detak nadi di ujung lembah tak bertuan

merangkai jari-jari lentik yang telah putus

Dalam oase keabadian,

kupenggal abjad-abjad melewati musim

hantu dalam kegelisahan

tanpa jeda kematian.

Resahku menari di ujung bukit semak belukar

menyesak gerak, menggapai-gapai setiap

dendam yang lahir

dari janin kerinduan yang membusuk

Aku tinggalkan perkampungan, dan menelan

butiran-butiran suci

saat lembah mulai gelap, tanpa kastil, istana

ataupun puri indah

Terjalku terpagut hantu di antara lentera tanpa asap

meraba kehadiran embun menembus sepatu bugil di leher legenda

Seperti dinasti seratus abad kesunyian

lembah ini semakin sempit oleh dingin

menembus kabut-kabut gelap

tercecer di antara celah ranting dan belukar

Asapku menguap seperti bangkai karang

tertindas buih-biuh putih di belahan lembah

tak bertuan

hingga malamku menjadi jantung kabut di perdu putih lentera

Surabaya,Desember 04

Sajak Pelayat

Setelah aku pagutkan sajakku di keningmu

kulihat warna rona di pipi dan dagumu

Bahkan matamu pun merona

menjatuhkan butiran bening seperti huruf-huruf kecil

yang kumuntahkan saat gerimis tiba

Kusaput beningmu dengan awan

meski sedikit menghitam namun aku yakin

deras dari langit tak akan turun

Setiap abjad yang kupagut memaknai darah

mengeja lembaran-lembaran yang penuh

dengan buih kata-kata

Barisan sajakku seperti kereta

yang meluncur dari Bolivia

menuju perkampungan kumuh

di sebuah kota tak bernama

Tapi di bibirmu tak pernah kutemukan

rentetan sajak merah

seperti pipi dan matamu

Ketika kulesatkan sebait gelisah dari bibirku

pipimu semakin biru oleh bayangan laut

meraba kesunyian yang kau pendam di sela rambutmu

meledakkan gemuruh kematian

di ubun-ubun pujangga

Coba kutorehkan kembali laguku pada bait-bait semu

mengeja detak demi detak jam dinding bom waktu

menuliskan lagi abjad kematian di keningmu

seperti saat kukirimkan sajak terakhirku

untuk kematian bunga-bunga yang telah membiru

Surabaya, Desemeber 04

Kematian Bulan Purnama

Kudekap gulita bersama lipatan-lipatan sunyi

menengadah melepas purnama

menepis ranting dari bersitan silau bulan

Jeruji kamar mengaburkan pandanganku

menggantungkan boneka-boneka kecil di sudut ruang

jengah menanti dinding ajal menorehkan tubuhnya

Seperti kota-kota kecil di kulit kepala

berjajar rapi mengusap pedih peluh temaram

penantian yang tiada pernah selesai

Sembab cuaca membangunkan mimpiku yang panjang

menggantung di bawah tikaman purnama

meneteskan darah dingin, memucat

mengepakkan sayapnya yang hampir patah

Kuingat kembali dinasti yang telah

di telan kemunafikan

menanggalkan sejarah di ujung tombak

menyilaukan kastil-kastil sunyi peradaban pualam

Keabadian telah memupuskan segala lelah

terseok di antara lipatan malam dan cemara

hingga memenggal seluruh kehidupan tanpa nyawa

Perkampungan kurcaci menunggu kehadiran bulan

meski surga telah mengakhirinya

membawa gelisah bersama penantian seribu kata

Kuabadikan mimpiku untuk sebuah upacara

penguburan

meletakkan sunyi di atas butiran terjal

purnama tanpa lentera

Surabaya, Desember 04


Last modified: 28/1/05

Sajak Sajak Nanang Suryadi

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 14/1/05

Puisi Nanang Suryadi



Tono, JAKARTA

Inilah Airmata


:aceh

inilah airmata. airmata yang membuncah. menerjang
ke dalam dadaku. hingga remuk redam. segala mimpi

inilah airmata. airmata yang merahasia. menghempas
dinding-dinding. reruntuhan gempa. jiwa-jiwa

inilah airmata. inilah airmata. membanjir. di dalam jiwaku
menderas. menguyup. di semesta jiwaku

Peluklah Jiwa


peluklah jiwa-jiwa yang semburat memekik ke langit cinta-Mu
di deras airmata yang Kau hempaskan
demikian gemuruh

peluklah jiwa-jiwa yang merindukan keadilan-Mu
di deras airmata yang Kau curahkan
demikian menderu

peluklah jiwa-jiwa yang menyimpan pedih
di deras airmata yang Kau titikkan
demikian cinta

Di Sepanjang Jalan Itu



di sepanjang jalan itu kau temukan bayang-bayang
yang kerap menghantu ke dalam mimpimu

di sepanjang jalan itu kau deraskan airmata
menatap langit mencari pijar cahaya mata

di sepanjang jalan itu kau tertatih
menapaki rahasia cinta-Nya

di sepanjang jalan itu kau tak henti memilih
jejalur nasib hidup mati surga neraka

di sepanjang jalan itu kau merindukan jawab-Nya
jejalur takdir kehendak-Nya semata

"inikah jalan sesungguhnya
menemu Cintanya?"

Pendar Kristal Kembara Airmata

sebutir airmata memendar
serupa kristal tertimpa cahaya

sebutir airmata mengembara
ke dalam jiwa-jiwa

sebutir airmata menelusup
ke dalam cinta

sebutir airmata di dalam cinta
memendar serupa kristal

memantulkancahaya
cinta

Sajak Yang Lesu


:dodi

seperti kau lihat sajak-sajak mulai lesu dan layu
dedaunnya yang kering luruh jatuh

terbang melayang
tertiup angin

seperti anganmu yang melayang-layang
tak tentu tuju

ada hikmah di balik segala
tapi apa yang tampak

dari sajak-sajak yang lesu
dan layu

seperti diriku?

mitologi aku

dan kesunyian hujan


borges dan h.a

di labirin impianmu
pernahkah kau temukan aku?
mungkin tak, karena...

aku adalah mimpimu yang karam
tak terekam dalam ingatan dinihari

aku adalah jutaan tahun kesunyian
yang merungkup wajah gundahmu

setelah kau susun huruf demi huruf anganmu

bacalah wajahku
pada langit muram

di penghujung tahun
di deras kesedihan

demikian putih
dan senyap

Sajak Sajak Isbedy Stiawan ZS

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 6/1/05

Puisi Isbedy Stiawan ZS



Tono, JAKARTA

Aku Sudah Lupa

aku sudah lupa

pada pertemuan pertama

sehabis gerimis,

awan hitam berlapis

apakah aku menggamit tanganmu

atau kau yang menuntunku

melampaui gordin

menuju mimbar itu?

aku sudah lupa

saat pertamakali

jelmaan ular itu

merangkul waktuku

aku sudah lupa

pada pertemuan pertama

lalu kita mulai pertikaian

hingga aku luka

berahiku layu

aku, sungguh, sudah lupa

juga pada wajahmu!

Lampung, 8 September 2004

u

Kaukirim Airmata

kau tersenyum

setelah itu

kaukirim airmata

sampai ke akar-akar

jadi amunisi

yang meledak siang itu

selagi nyala matahari

basuh tubuh jalanan

dan kaca gedung pecah

tubuh-tubuh melepuh

bagai pohon tumbang

menjelma arang

lalu orang tua itu

kembali kecewa

menanti cerca

(ia selalu jadi boneka

di antara ledakan-ledakan)

Lampung, 09-10/09/04

Kucapai Bukitmu

setelah kucapai bukitmu

aku tak merasakan lagi angin

matahari parak,

tanganku memeluk puncakmu

menarikan jemariku

bagai di atas dawai

kulupakan kembang lalang

yang tumbuh di tubuhmu

kini aku telah terbang

melepaskan lelah

bukit dan ilalangmu

telah kukenyut

bersama maut

aku pun lenyap

di dalam asap!

Lampung, 2004

Sebelum Jadi Kisah

akankah kaupinjam lagi langkahku?

orang-orang masih lalulang

sepagi ini matahari tersenyum

kulihat kau masih mengulum

entah kabut, entah embun

dan masih bukit itu juga

kau akan tuju,

aku akan capai

berbasuh angin

rindu yang amat ingin

kau bersemayam di puncak itu

sedang aku menggeliat,

sambil menuruni lereng

kembali selepas lengking

akan kaupinjam lagikah langkahku?

kunaiki puncak itu,

bukit yang kaucipta semalaman

dengan beribu mimpi

sebelum jadi kisah

sebagai silam

Lampung, 12 September 2004


Sajak Sajak Diah Hadaning

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 30/12/04

Puisi Diah Hadaning



Tono, JAKARTA

Kelanjutan Sebuah Narasi I

Kota-kota mencipta sejarahnya sendiri

lepas dari urutan waktu

manusia tua apung senyum di awang-awang

lukis keindahan tercipta dari bayang-bayang

dan kerakusan jadi balada lepasnya nyawa-nyawa

sementara bumi terus benihkan dosa-dosa

langit siram hujan tuba cipta keangkuhan jiwa

Belah akal jadi bekal sambut dajal

kuras daya jadi bara sambut duraka

bermain dengan nasib antar zaman anyir

berhala tertawa dalam jiwa

dajal bersarang di kepala

terdengar tabuhan gara-gara

perempuan kerudung hitam tangisi tanah merdeka

Cimanggis, September 2004.

Kelanjutan Sebuah Narasi II

Seseorang angkat pedang

Tumbal berjatuhan di seberang jalan kenangan

Sebuah fragmen terenggut dari tabirnya

Rembulan gerhana dan purnama bergantian

Matahari mencari narasi sendiri

Narasi baru telah diambil bocah-bocah masa depan

Dilipat-lipat jadi perahu impian

Diapungkan di sungai air mata

Mereka terus bermain dalam gelar semesta

Meraih-raih mega menghela-hela rasa

Sampai akhirnya matahari padam

Hilang terang hilang bayang

Yang tersisa hanya gema selawatan

Dalam hitam

Cimanggis, September 2004

Membaca Bahasa Transmisi 04

Setumpuk bara senyala unggun

Adalah lambang orang-orang pejalan kurun

Seruas langit sepotong doa

Adalah gurit jiwa orang-orang tanah utara

Tembang eratkan genggam

Orang-orang saling bungakan masa depan

Jepara pulangkan yang pergi

Jepara ramaikan yang sunyi

Sementara orang Sampit datang malam kelelahan

Tak lagi perang selain tembang

Kubawa cinta dan bunga se-Kalimantan

Didekapnya orang-orang unggun rembulan

Ikan laut gelapar dalam bara

Bara percikkan bunga di udara

Orang-orang masih berbincang

Anak Ki Suto Kluthuk merenung panjang

Suara siapa usung berontak jiwa

Di antara deram genderang dan kibas bendera

Jepara nyala dalam bara

Jepara bangun dalam unggun

Serasa andika bersaksi malam ini

Wahai Shima, Kalinyamat dan Kartini

Anak cucu menandak dan menembang

Kusimak orang-orang akar rimang

Jepara, Agustus 2004

Membaca Bahasa Kota

: Orang-orang Blank Blenk

Kebun Raja membiarkan pohon-pohonnya

bersaksi sambil menjaring angin malam

ketika orang-orang baju hitam

memasang lilin menata kendang

dan kata-kata meluncur dari lidah-lidah

dan doa-doa meluncur dari jiwa-jiwa

kota wartawan saksi zaman masih tersimpan

kebenaran sejarah tak terungkap

sang penerus tak juga meluruskan

selagi masih ada bahasa kemungkinan

simpan cemas seseorang nembang bahasa ibu

ingin Blitar buka lembar manuskrip tua

ingin Blitar saksi sembah raga sembah jiwa

ingin Blitar tumpahkan kejujuran air mata

saat makna merdeka punya sisi seribu dua

sementara badai melipat musim

orang-orang utamakan serigala dalam perut

riah-riuh dudukkan serigala di kursi kehormatan

seniman gelar tikar di Kebun raja

Agustus bergulir dalam kata-kata

Dari Gunung, ngarai sampai pentura

bapa, kulihat serigala di mana-mana

Serigala dalam dada

Serigala dalam kepala

Kebun raja disergap malam

Blitar, Agustus 2004


Sajak Sajak Frans Ekodhanto Purba

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 20/3/09

Sajak Frans Ekodhanto Purba.



Sebidang Langkah

pada sebidang langkah

aku menitipkan sejuta cerita

tentang kita yang tak pernah renta ditelat rasa

tapi, kenapa tak bisa miliki waktumu

dan airmata terus memanggil dengan luka

kereta subuh, Desember 2007

Menebar Isyarat

adakah mawar menebar isyarat

pada akar yang tumbuh menjadi cakrawala

adakah istirah

saat kau larung dalam kesepian purnama

bukankah kita pernah bercakap-cakap

tentang rentanya malam

kini tanah telah basah

angin lirih dan kita redup bersama waktu

kereta subuh, Desember 2007

Petualang Musim

kita adalah seorang petualang musim

yang retak pada hitungan rencana

menghadirkan percakapan percakapan tak bernyawa

kereta subuh, Desember 2007

Terjebak dalam Selimut Hujan

aku terjebak dalam selimut hujan yang gigil

sedangkan waktu memaksa bertahan

meskipun terkadang menjadi teman bermain dalam tidur

tapi, aku kan menjadi pagi bagi setiap mimpi

dan takkan terjebak lagi

pada segernya rintik yang menetes dari kaki langitmu

kereta subuh, Desember 2007

Tujuan

aku adalah angin yang menari ditubuhmu

panas yang mendidihkan langkah

menancapkan mimpi pada perjalanan

tapi, ragu selalu hinggap pada persimpangan

padahal hatimu telah lama kusita

tak tahu siapa yang menyapa pikiran

melahirkan ketidak pastian

tujuan

kereta subuh, Desember 2007

Mengenangmu

aku mengenangmu lewat kata dan lagu

kata yang kerap memanjakanku

lagu yang terus menimangku

aku mengenangmu lewat pristiwa dan rasa

pristiwa yang penuh istirah

rasa yang melahirkan cinta

tapi, kini semuanya telah musnah

bersama cerita

kereta subuh, Desember 2007

Telah Kugoret Senyummu

telah kugoret senyummu

yang tak terpetakan mata

ketika malam semakin tuntas

di telat bumi

dan kita minggat pada arloji yang beku

musnah seperti leleh lilin yang hampa

dilalap ketidak pastian

kereta subuh, Desember 2007

Pintu Sejarah

kuketuk pintu sejarah yang menunggu di tepian waktu

kusambut lalu lalang musim dari jendela cuaca

kucabut bisu yang melayang

seperti sepongah mimpi

ditelat subuh

tapi, masih saja kau hilang

langkah akan segera diberangkatkan

bergegaslah sayang

kereta subuh, Desember 2007

Terimakasih

terimakasih kau mau mau singgah di halteku

meski terkadang kau mengabaikan rambu rambu

harapan yang pernah kita sepakati

ketika hendak melaju

tapi kau kan tetap jadi kenangan yang nyata

dari sejuta rasa

kereta subuh, Desember 2007


Sajak Sajak Matroni el-Moezany

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 13/3/09

Sajak Matroni el-Moezany



Menangislah Sempuasmu

menangislah sesukamu

biar pagi berawan ini tak menjadi hujan

karena air matamu

banjir-banjir di mana

adalah hasil karya matamu yang seringkali

mengaduh dan menangis karena tak dihiraukan

hingga luka bukanlah luka, tapi

kelembutan yang tertuang dalam jiwa penyair

bukan, itu adalah kata-kata

yang mungkin belum sempat kau lahirkan

sebagai anak kedua dari kelukaanmu

Yogya, 2009

Akankah

akankah malam nanti

kata-kata itu akan lahir kembali

mengisi ruang-ruang kosong dalam benak semesta

di waktu lapar menyakitkan

kekosongan lahir kembali

mengusik malam-malam

entah karena engkau kuiyakan diam dalam diri

atau karena memang manja dan sensual hingga menyibukkan

mata enggan tertidur

mungkin malam itu

terlalu indah kulewatkan

maka, bicaralah padaku

agar senja yang datang nanti

tidak lagi susah melihat langkah di atas rel

dan mata yang tak mau lelap

perkembangan senja

sudah tak lagi cerah

jiwa kita lapar

tingkah kita lapar

rasa kita lapar

kata-kata pun lapar

semuanya lapar

akibat ketidaksejukan ruang-ruang

Yogya, 2009

Ketidakjelasan

engkau bilang siang ini adalah jelas, tapi

mengapa engkau masih ciptakan lubang-lubang pada daun

pergi tanpa ada rasa, tak peduli, padahal kau tahu aku

mengelu tak apa, selain adanya itu sendiri

dimana kau letakkan perasaanmu

hingga jiwamu mati, tanpa rasa

aku pun sadar bahwa

banyak kata kau berkurang dalam merasakan rasa

yang ada hanya ketawa pada luka

Yogya, 2009

Kemungkinan Lain

selalu ada aras hujan memeluk batu

merobek lurusnya daun

ini mungkin

selalu ada arus balik merasakan sedih

melukai malam

ini mungkin

selalu ada kata tumbang

merajai semesta

ini mungkin

selalu ada matahari terbit

memberi makan pada bunga

ini mungkin

selalu ada kita yang luka

tak ada yang memberi rasa

ini kemungkinan lain

selalu ada luka

yang tak sembuh

karena kita

ini kemungkinan lain

selalu ada kata-kata kosong

yang selalu ada di negeri ini

ini kemungkinan nyata

Yogya, 2009


Sajak Sajak Lalang Luntas

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 6/3/09

Sajak Lalang Luntas



Hujan di Sabtu Pagi

Basah air hujan memburam jendela kamar

Satu lagi hari tergores biru pada kalender meja di sudut kamar,

Ada 425 garis biru di setiap angka

Garis-garis aku kehilanganmu.

Menggurat biru, satu satu hingga empat ratus dua puluh lima,

di hatiku.

Kapan berakhir?

Pena biru itu seperti tak berkesudahan tintanya.

Setiap gores birunya pada angka di kalender meja di sudut kamar,

Meninggalkan luka beku biru.

Hujan di Sabtu pagi, satu lagi gores tinta biru pada kalender meja di sudut kamarku, tandai kehilanganmu, seseorang dengan sepotong cinta penuh darah yang menyodoriku sepiring anggur merah manis.

Kuberharap, pena biru itu segera habis tintanya.

Cawang 022009

Ketika Yudhistira Mempertaruhkan Istrinya

Pada sebuah kenikmatan nirwana yang memabukkan, si sulung Pandawa tenggelam dalam derai tawa dan kemeriahan dewata.

"Sayangku..., saatnya kembali ke peraduan," kata Yudhistira

di sela merah jingga kuning biru hijau gempita.

Drupadi terdiam dalam penggal asa.

Meja kayu kotak hitam putih di hadapannya. Ada sepotong kecil dadu bernoktah merah tergeletak pasrah di sana.

Noktah merahnya bak tetesan darah.

"Sayangku..., mari berkasih di peraduan," rajuk Yudhistira

dengan senyum tipis dan mata merah dan muka pucat padam.

Drupadi bergeming kaku tak berdaya.

Dadu kecil noktah merah masih tergeletak di hadapannya, menangis darah di tengah gempita, ketika suaminya mempertaruhkan dirinya pada sepotong dadu bernoktah merah.

"Sayangku,..., aku cuma menggenapi takdirku," pelan Yudistira menutup sejarah.

Cawang 032009

Apa Itu Bahagia?

"Apa itu bahagia?"

Begitu tanyamu.

Lantas kujawab: bahagia adalah pilihan.

Tanyamu lagi:

"Mana tahu kapan kita memilih menjadi bahagia?"

jawabku: ketika kamu memutuskan bahagia di sebuah keadaan.

"Keadaan seperti apa?"

"Keadaan ketika materi tercukupi?"

"keadaan ketika semua yang kita butuhkan terpenuhi baik material dan spiritual tanpa ada satu pun yang tertinggal?" cecarmu.

Aku menghela napas.

Jawabku:

Bahagia adalah pilihan akan suatu keadaan.

Keadaan yang berupa perasaan senang tak berkesudahan dengan hati yang terasa lapang dan tubuh terasa segar dengan jiwa yang terasa dibarui.

Dan perasaan seperti itu baru pertama kali dirasa dalam balutan kegembiraan atas apa yang pernah dan sedang terjadi.

Sesuatu yang dicari tapi tak pernah tahu bentuknya seperti apa.

Seperti anak kecil mendamba mainan kesukaan

dan mendapatkannya.

Seperti pekerja mendapat kenaikan gaji.

Seperti seorang perantau mendamba pulang

ke rumah dan akhirnya pulang.

Dan seperti seseorang yang haus dan terpuasi dahaganya

dengan segelas air.

"Susah amat menjadi bahagia," katamu lagi.

Cawang 032009

Sayang, Aku Bukan Benci, Cuma Bosan

"Mengapa?"

kata itu meluncur cepat dari mulutmu.

Lengkap dengan wajah tak percaya.

Aku sendiri tak percaya dengan pemandangan di depanku.

Pria tinggi besar dengan wajah seperti bocah hendak menangis.

Aku bahkan tak percaya dengan kata-kata yang meluncur

dari mulutku.

Lebih tak percaya lagi ketika pria tinggi besar gagah di hadapanku ini, terus melontarkan kata tanya bertubi-tubi dan sama;" Mengapa?"

Entah percaya entah tidak, pria tinggi besar gagah berambut ikal

di depanku itu,

Memang harus menerima kalimat berikut:

"Sayang, aku bukan benci, cuma bosan, "

Untuk sebuah perjalanan bernama cinta kasih yang dalam hitungan kalender Masehi, telah berjalan empat tahun.

"Kata orang, empat memang angka sial. Angka untuk kematian!" sahutku lagi.

Ada selaput air menyelimuti bola matanya,

mengiringi kata "mengapa?"

Cawang 032009


Sajak Sajak Anam Khoirul Anam

SUARA PEMBARUAN DAILY Last modified: 27/2/09

Sajak Anam Khoirul Anam



Kosong

Belum singgah dalam alur ceritamu sepagi itu, kawan!

Kau hanya duduk termenung mengeja warna dan rupa

Dalam hening, laju pikirmu beku pada satu titik absurd

Dalam diam kau hanya berjibaku dengan kebisuan panjang

Sedangkan waktu terus bergulir dalam kepastian rotasinya

Kau pun semakin karam pada alpha dalam mengeja batinmu

Apa yang sedang terjadi padamu sepagi itu, kawan!

Apakah engkau masih membawa risalah getir kemarin itu

Hingga sepagi ini kau masih tampak lesu seolah punah harapan?

Akan kau bawa ke mana kemuraman itu wahai jiwa yang kalut

Apakah kau akan membawa rona sendu itu sepanjang waktu?

Berhentilah mengeluh dan meratapi segala duka lukamu

Sebab itu takkan merubah segala yang kau rasakan

Begegaslah menuju matahari yang akan memberimu cahaya terang

Duduklah kau di hadapannya,

dan kau akan diajari bagaimana memahami hidup

Kelabu pada Dini Hari

Dini hari yang bersepuh kelabu

Bersamaan embun yang berderai

Dedaunan berguguran di atas tanah

Terjilat bias sang surya dari ufuk jauh

Diiringgi suara alam yang enggan naik

Nuansa dini hari itu berupa pucat pasi

Serupa imajiku yang berlumur muram

Dan, wajahku telah sarat dengan kabut

Ku Tulis Pagi Ini dengan Muram

Belum usai segala getir pahit itu

Masih terlalu panjang alur cerita

Yang ingin kutuang dalam romansa

Tentang segala kisah yang terlewati

Sebab luap rasa itu terus berkecamuk

Seolah merajam tiap detak jantungku

Di antara laju napas lelap terjagaku

Belum usai segala kisah itu tereja

Pada lembaran elegi yang dilematis

Aku jatuh bagun tiap pusaran waktu

Secerca harap muram di ambang alpha

Dan, aku limbung pada samar penantian

Yogyakarta, 10 Februari 2009

Aku Dengar Suaramu seperti Angin

Aku dengar suaramu berembus seperti angin berbisik

Sesekali terdengar pula intonasi suaramu teralun merdu

Dan, sesekali terpacu dalam laju gejolak memburu nafsu

Aku dengar suaramu diantara gemerisik suara alam

Sesekali terdengar bercampur dentuman debur ombok

Dan, sesekali terdengar rintihan suaramu di kesunyian

Aku dengar suaramu histeris diantara tangis nan pilu

Sesekali ku dengar gelak suaramu dalam riang canda

Dan, sesekali pula terdengar suaramu merintih mengiba

Aku dengar suaramu seperti angin ketika pagi hantarkan dingin

Sesekali terdengar suaramu lantang diantara terik siang meradang

Dan, sesekali suaramu tercekat diantara gerimis air mata nan sembab

Aku dengar suaramu diam teredam dalam tidur malammu yang sunyat

Sesekali terdengar suaramu dalam igauan tak terjemahkan lewat bahasa

Dan, sesekali suaramu tertuang dalam abjad-abjad bisu sepanjang waktu

Yogyakarta, 31 Januari 2009

Sebuah Pesan Singkat

Kali ini kau kirimkan sebuah pesan untukku yang dirundung pancaroba

Berulang kali pesanmu hanya terbawa angin dan tak menuai balas dariku

Sedangkan kita dalam persoalan yang sama dan kita harus melampauinya

Pesanmu makin membuatku larut dalam kecamuk kebisuan yang panjang

Kini, seluruh rasaku bergemuruh laiknya ombak membentur ngarai karang

Pesanmu hanya terngiang dalam benakku yang kian berat memikul beban

Yogyakarta, 31 Januari 2009

Pagi yang Muram

Pagi ini gerimis datang membawa sekawanan dingin

Cuaca remang susutkan segala percik gairah yang nyala

Segalanya melaju dalam keseluan rupa dan warnawarna

Satu demi satu titik air jatuh dari hamparan langit biru

Kabut tipis hantarkan embun diantara tanah yang basah

Sedangkan angin hilir balik tawarkan aroma kemalasan

Terdengar ayam jantan nyaring berkokok dengan tubuh kuyup

Nun jauh kicau burung mengajak jiwa menari dalam hening

Pagi ini gairah telah menyusut diantara asa yang tumbuh lesu

Yogyakarta, 31 Januari 2009


Last modified: 27/2/09

Sajak Sajak Abdul Khafi Syatra

SUARA PEMBARUAN DAILY, Last modified: 20/2/09

Sajak Abdul Khafi Syatra



karena dirimu adalah sepi

salahkah ketika bayang-bayang itu datang

kubiarkan liar?

kemudian kuhempaskan pada karang

mengakar

karena dirimu adalah malam

sunyi aku

karena dirimu adalah sepi

tak kuasa aku

dan kubiarkan melebur bersama debur ombak

2008

hujan telah tiba

musim hujan telah tiba

pohon-pohon kembali meranggas memadati dunia pikiranku

bau tanah menjadi parfum alami

pada mereka yang di bawah jembatan

atau mereka yang di lantai keramik

bahkan angin membuat dunia terlelap

kita tinggalkan bersama sampai tak tersisa bau

kemarau

hanya mungkin bekas luka memar

pada lapat-lapat hujan yang bisa kita tangkap

sebagai kenangan

kita tinggalkan tandus di atas cangkul

dan timba kita kembalikan ke barak

apa yang hendak kita nanti di musim ini?

sebuah musim yang basah

hari yang becek

alam selalu gelap

dan cucian-cucian kita berbau amis

apa yang kita banggakan dengan musim ini?

musim yang sudah biasa

rumah-rumah tenggelam

ribuan jiwa terlantar

apa yang bisa kita kembalikan?

alam telah mampet dengan sampah

rumah-rumah berbau busuk

mungkinkah semuanya kita tusukkan pada langit yang diam

pada kemungkinan yang patah

atau kita biarkan saja tenggelam dengan nasifnya sendiri?

2008

kau telanjang di balik kata-kata

- Andes

suara desir lirih kau menangis

kian keras menghantam dadaku

sesak- begitu sesak aku merasakan

hadirnya

gemericik air matamu

terasa begitu keras menekan denyut nadiku

tak sampai tanganku berirama

di kedua matamu

karena kau terlalu jauh

kabar yang kutanya

tak mampu kau jawab sempurna

hanya patahan napasmu kuberi makna

angin lewat dari jenjela

berdengung memecahkan kacamata masa laluku

kemudian kepalaku terbenam

pada tumpukan persoalan yang nyata-nyata

membuatmu sakit

kata-kata itu mengelupas dari dinding kamarku

hingga aku hanya bisa mengantarkanmu

sampai dipersimpangan

lalu kubiarkan kau liar

menjadi gelandangan kesakitan

2008

catatan hari

di hari pertama;

dengan kalimat sunyi kau tusuk aku

hingga dinding hatiku retak

berdarah

menyumbat pikiran hingga tersesat

di hari kedua;

kau hanya diam

dengan seribu kebisuan

aku masih tersesat

dan tak menyangka dapat menemuimu

berpangku kata

di hari ketiga;

wajahmu tak lagi tampak

namun bekasnya masih membayangiku

kemudian kutulis kembali kalimat sunyi itu

pada jarum jam

untuk menggilingnya menjadi kenangan

di hari keempat;

detik paling sempurna aku sendiri

tak kusangka

kalimat sunyi itu menikamku lebih keras

2008


Sajak-sajak Gus tf

Sajak-sajak Gus tf

Kompas, Minggu, 8 Maret 2009 | 08:23 WIB

Seruling Daging

Sudah. Jangan kaubicara lagi tentang lubang. Semua ruang semua rongga di tubuhmu telah jadi jurang. Semua urat semua serat di dagingmu telah jadi tambang. Kaulihat, di tambang itu mereka turun, terayun-ayun, meluncur jauh ke dasar tak berdasar. Kaudengar, suara serulingkah yang mengalun, meriap, seolah mengapung dan menjalar?

“Tak ada seruling dalam daging,” katamu. Tapi alun suara itu serasa kaukenal, serasa kautahu. Gemerincing, dari suatu lubang di nun jauh masa lalumu. Siapa tahu, di dinding lubang itu, mereka telah lama membuat lubang-lubang nada, belajar meniup menciptakan irama. Irama yang juga serasa nun jauh dulu pernah kaudengar, antara lena dan sadar?

Tapi, suara lain, nun jauh dari kedalaman jurang, dari dasar tak berdasar, naik memanjat tambang, menggemakan “Tak ada” berulang-ulang. Ya, tak ada, tak ada seruling dalam daging. Tak ada, tak ada setiup pun nada pernah mereka dengar. Tetapi ah, kenapa, kenapa kau merasa lubang ini, geronggang ini, tiba tiba berguncang, seolah menggigil seperti gemetar?

Sudah. Jangan kaupikir lagi tentang lubang. Tentang rongga di tubuhmu menjelma jurang. Tentang urat, tentang serat yang menjulur-julai seperti tambang. Karena, nun jauh di dasar tak berdasar, di akar tak berakar, setiap waktu setiap ngilu, setiap pedih setiap pilu, nada-nada itu menggali, menciptakan lubang sendiri: menakik rima, memahat irama—tak peduli apa tetap hanya buluh daging, atau justru menjelma seruling.

Payakumbuh, 2006

Lima Sebutan dalam Lima Bait Perpisahan

Kausebut ia “kekal ingatan”, jarak yang mempertemukan dua tubuh, di sebuah jembatan, di dua simpang yang jauh, ketika dengan yakin kau pilih pulang ke arah selatan.

Ah, kausebut ia “gema tubuh”, debar yang memantul, tertahan, di dua tapal kenangan, di mata yang micara, lenguh cahaya, angin, kelopak atau tampukkah sang penggugur suka. Ah,

kausebut ia “rintih salam”, riang kalimat yang terlontar dari dua mulut, di sebuah jamuan, bibir gelas berdenting, kata-kata gemerincing, berkilauan bagai cucur hujan. Ah,

kausebut ia “jari pucat”, tangan yang melambai, ketukan di dua ronggang, dada berkopongan, gaung memanjang, melejang, di tempat ia bakal lenyap dan tenggelam. Ah,

kausebut ia “sisa lamunan”, ingatan yang naik, berlesatan dari dasar kenangan, dari dua tubuh, di jembatan berlainan, dua-duanya di selatan. Ah, di simpang manakah itu, Tuan?

Jakarta, 2006

Tiga Kata Suci

aku kini tahu, kenapa “menguap” kata sucimu. Bila kaubiar getir mendidih, meletup hilang si gugu sedih.

aku kini tahu, kenapa “mengendap” kata sucimu. Bila kaubakar sekam dendam, tinggal lepah jerami diam.

aku kini tahu, kenapa “meresap” kata sucimu. Bila kautapis tepuk tepis, menyesak naik si ceguk tangis.

Jakarta, 2006

Burung Kuntum

Aku masuk ke dalam kuntummu. Membayangkan kelopak itu seperti kepak. Di ujung daun, matahari melengkung, angin seperti suwung. Cahaya menjelma susu, meleleh, terus meleleh dalam pikiranku.

Aku masuk ke dalam pikiranmu. Mencicip susu (ah tidak, ini madu) yang menjelma burung di bibirku. Kutangkap kepak itu, sayap kemilat seperti sirip yang mengingatkanku kembali pada cahaya. Malam urung, malam meraung dalam igauku.

Aku masuk ke dalam igaumu. Susu cahaya, burung itu terbang pulang ke lumbung cemara. Cemara yang dalam igaumu menolak jadi lumbung (hanya mau jadi kayu) kembali meronta, berontak, meninggalkan derak, menjelma gaung dalam sayapku.

Aku masuk ke dalam sayapmu. Sayap yang dulu kemilat dalam igauku yang hanya angan dalam pikiranmu, menerbangkanku melambung jauh ke kota itu. Kota yang bagai melendung, bengkak, ruam menggembung, gelembung beton dalam batuku.

Aku masuk ke dalam batumu. Gagal membayangkan kuntum, sayap, kepak, bahkan walau bayanganku undur ke kelopak. Angin juga surut, undur ke gua-gua. Matahari (kuingatkan engkau, susu cahaya) garang, mengerang pulang ke dalam gelapku.

Aku masuk ke dalam gelapmu. Meraba-raba dengan pikiran kosong, hampa, dan sia-sia. Dan sungguh, wahai, sungguh tak bakal engkau percaya. Dalam kosong, dalam hampa, dalam sia-sia, kuntum itu rekah, menjelma sayap, kepak,

dan seekor burung berkoak, terbang, cegak lesat menuju cahaya.

Banjarmasin-Payakumbuh, 2007

Tungku

“Aku tungku,” ia bilang. Hitam terang, padas arang. Letup decis gemeretak tulang. “Aku tungku,” ia bilang. Hangus lengking dada terpanggang. Dari periuknya dari kualinya menggelegak ubun, benak mengerang. “Aku tungku,” ia bilang. Setiap hari, setiap siang saat anak-anak pulang. “Aku tungku,” ia bilang. Setiap hari, setiap malam saat urat daging meregang. “Aku tungku,” ia bilang. “Aku tungku,” ia bilang. Ah, kalian berdua tungku, Sayang... baik buruk, peluk amuk,

terus—tak henti kalian merendang.

Payakumbuh, 2006

Sepuluh Dialog Tubuh

1

“Tak ada yang salah pada lupa.”
“Daging mengucap pada dirinya.”

2

“Kaugali-gali, lubang dalam lambung.”
“Tak henti-henti, riang sembur belatung.”

3

“Setiap serat minta dituliskan.”
“Mahadaging pucat kehilangan.”

4

“Hanya lambai dan kenang.”
“Tiang usia mengupas tulang.”

5

“Musuh-musuh dalam dirimu.”
“Merebut dengkur dari tidurku”

6

“Kaupahat dendam rindu pada.”
“Darah mendidih auman luka.”

7

“Rumah siput di pangkal pahamu.”
“Daging mengerang dibakar nafsu.”

8

“Dalam matamu, hujan tak pernah teduh.”
“Di pelupukku, matahari sesal mengaduh.”

9

“Tangis tertahan melunas bayang.”
“Rintih meluap di jalan pulang.”

10

“Hausku sudah dalam tubuhmu.”
“Ruang meleleh di tangan waktu.”

Payakumbuh, 2006

* Gus tf lahir 13 Agustus 1965 di Payakumbuh, Sumatera Barat. Setelah Sangkar Daging (1997) dan Daging Akar (2005), ia kini tengah menyiapkan buku puisinya yang ketiga, Akar Berpilin.